Selasa, 20 Oktober 2009
Aku merasakan perasaan yang tidak dapat bisa kukatakan dengan bahasa apapun. Andai terjadi sesuatu yang membuatku kehilangan nyawaku di dalam pesawat itu, aku pun mungkin tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa diam didalam pesawat, gak mikir apapun.
Mp3 Playerku kembali kunyalakan setelah lampu peringatan untuk boleh menyalakan alat – alat elektronik kecuali HP mati.
All alone.. somewhere far away from home
In a lonely place where no one knows your name
Lost inside a corner of your mind
Looking for a place to hide and none to find
Back in the days when you were just a child
The sun rays dance eternally
And when you least expect it
You hear a voice inside
Telling you to begin the life of your dream
You have the power to believe
Take a look inside your heart
A road is waiting for you
The truth is written in the stars
No matter who you are
You feel the force of love
Like a wind, blowing high above the cloud
You were moving fast but couldn’t touch the ground
Think of the days when you were just a child
You felt a joy so tenderly
And if you stop to listen to what you feel inside
You can be everything you wanted to be
You have the power to achieve
If you reach inside your heart
Your wish is waiting for you
The truth is written in the stars
No matter where you are
All the pain and tears and broken dreams,
Flowing like a river
It’s never easy to see
Trust what you feel
And just keep your spirit free
You can be all the things you wanted to be
In your dreams
You have the power to believe
Make a promise in your heart
Your future’s waiting for you
The secret in the sky above
Like a shooting star
It’s written in the stars
( LIA – The Force of Love )
Lagu ini kuputar berulang – ulang sampai tak terasa kalau pesawat yang kunaiki akan segera Landing di Bandara Soekarno – Hatta. Lagu ini mengingatkan semuanya, Masa Kecilku, Keluargaku, Aji, Teman – temanku dan sesosok makhluk yang skrg berdiam di rahimku.
Pesawatku Landing dengan mulus. Aku segera bersiap – siap untuk turun. Memakai kacamata hitamku, menyembunyikan raut wajahku yang dapat kupastikan pasti dah kaya mayat idup a.k.a zombie.
Kuambil Helm VOG hitamku dan kubawa menyusuri lorong keluar dari pesawat itu.
Huuffttt…akhirnya…JAKARTA…
Aku melihat pemandangan yang waktu itu aku lihat sebelum aku pergi ke Samarinda. Pada saat itu, hatiku masih berwarna. MEJIKUHIBINIU…Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu. Tapi sekarang yang ada Cuma hitam pekat bercampur dengan coklat sebahai bentuk kerisauanku.
Aku mengikuti arus manusia di depanku karena I have no clue, jalannya kemana. Ini pertama dan terakhir ( I hope…. ) aku pergi kemana – mana sendiri. Aku berjalan seakan – akan aku sudah tau aku akan menuju kemana, walaupun sebenarnya aku hanya mengikuti arus yang ada.
Akhirnya aku tau kemana arus manusia ini berjalan, ke area bagasi. Aku lalu mencari telpon genggamku, menyalakannya dan memberitahu teman – teman Scorpie ku kalau aku sudah sampai Jakarta.
‘Delivered’, hatiku membaca tulisan dilayar telpon genggamku.
Aku menunggu bagasiku keluar, berharap – harap cemas tapi tetap tak bisa berpikir apapun. Tiba – tiba ada sms masuk ke HPku. Aini.
‘Kak, sudah sampai kah? Aini minta maaf karena ceritakan semuanya ke Abang – abang Aini. Mereka nggak mau Kakak pergi ke Jakarta. Kakak jangan marah sama Aini ya..’
Sms dari Aini tak kubalas. Aku mulai berpikir, aku mau tinggal dimana. Aku mulai memikirkan untuk pulang kerumah, mengecek semua simpanan di bunkerku. Aku mau mulai membuka diri kepada keluargaku. Aku membuka flip HPku dan mengetik nomor telpon rumahku. Kutekan tombol Call di Hpku..
“Halooo”, sapa suara diujung sana.
“Mas, ini Hanna”, jawabku.
“Hanna??!!!...kamu dimana??!!!”, tanya suara disana yang kutau adalah suara Mas Yuli ku.
“Bandara”, jawabku yang sudah mulai menangis karena rasa kangen.
“Ngapain? Mau kemana??”, tanya kakakku.
“Baru pulang dari Samarinda. Nanti Hanna pulang kerumah. Ya?”, jawabku.
“Bener??? Mas tunggu!!”, jawab kakakku antusias.
“Ya dah, skrg Hanna cari kendaraan dulu kesana”, jawabku.
“Mas jemput…Mas Jemput”, jawab kakakku.
“Ga usah, Hanna naik taksi aja atau bis. Ya?”, jawabku.
“Kamu berubah. Dulu kamu selalu minta dijemput”, ujar kakakku.
“Hanna dah gede Mas. Dah ga pantes minta dijemput kalo bisa pulang sendiri”, jawabku.
Dalam hatiku, aku mau dijemput kakakku, Cuma aku mau tunjukkin kalau aku bukan anak kecil lagi. Lucu memang tapi entah, pengalaman yang baru saja kulewati membuat hatiku seperti beku, seakan – akan aku ingin belajar jadi wanita yang tegar. Aku ga tau kalau kakak – kakakku sudah tau keadaanku yang sebenarnya. Mungkin aku ga akan dianggap adik lagi.
Aku ga perduli. Aku Cuma mau cek amanat dari Ibuku.
Kemudian aku melihat tas hitamku keluar dari bagasi, aku menunggunya berjalan kearahku. Kuambil, lalu kubergegas keluar dari ruangan itu. Aku tak berharap teman- teman Scorpie ku akan benar – benar menjemputku, tapi aku tiba – tiba melihat sebuah kertas besar bertuliskan sesuatu yang membuat airmataku berjatuhan lagi dibalik kacamata hitamku.
“WELCOME ABOARD VIEANKACHU”…..
Aku terpaku. Melihat semua teman – temanku dihadapanku. Mereka menghampiriku yang hanya terpaku dan kemudian memelukku.
“Ras……jangan nangis dunk”, ujar Satria yang memelukku.
“Huuh”, hanya itu yang keluar dari bibirku.
Aku lihat wajah mereka satu persatu, mereka masih sama. Mereka berusaha menenangkanku. Mungkin, orang – orang disana heran melihatku dikerubungi cowok – cowok..hehehe…maklum, aku wanita satu – satunya di Guild ku….
Mungkin buat orang – orang baru di Guild ku, mereka ga tau siapa aku. Tapi buat orang – orang lama, yang pernah berjuang sama – sama, aku bukan orang asing lagi.
“Ras, kamu mau kemana skrg?”, tanya Panca.
“Pulang kerumah trus mau cari kost, Nca”, jawabku.
“Rumah mana?”, tanya Jho.
“Tangerang, pada ikut yuk. Trus temenin cari kost. Tapi nanti Ras mau minta tolong sama Mas Andi aja buat cariin kost di depok”, jawabku.
“Ya, dah…kita temenin. Tapi ada makanan kan drumah lo?”, tanya Satria.
“Ada”, jawabku sambil senyum – senyum.
Semuanya tertawa. Aku senang kembali ke Jakarta. Mereka tau semua kesulitanku, tapi mereka seakan – akan tidak mau memperlihatkannya kepadaku.
Sepanjang perjalanan ke rumahku, mereka mempertanyakan keadaanku dan semua hal yang sudah terjadi di Samarinda. Jho kembali meledak – ledak sementara yang lain berusaha menenangkan.
“Ras, keluarga lo dah tau masalah ini?” tanya Panca.
“Blom. Nanti mau dikasih tau”, jawabku.
“Kenapa lo ga tinggal dirumah aja?”, tanya Satria.
“Kalau mereka tau keadaan gwe, apa mereka masih mau gwe tinggal dirumah?”, tanyaku.
Semua terdiam.
Sesampainya aku dirumah, aku kebingungan. Semua keluarga besarku ada disana. Begitu aku menampakkan diri di depan pintu rumah, Mas Yuliku langsung berteriak..
“Hanna dah sampe tuh…..”, ujarnya.
Sontak semua isi rumah keluar menghampiriku. Teman – temanku sampai terkagum – kagum melihatnya. Selesai mereka memelukku, menciumku, aku segera memperkenalkan teman – temanku. Keluargaku berubah total, entah kenapa.
“Ras, kenapa lo bisa pergi ninggalin keluarga yang kayak gini? Rumah yang kayak gini?”, tanya Satria.
“Maksudnya?”, tanyaku.
“Rumah lo besar, bagus. Keluarga lo ramah. Kenapa?”, tanyanya.
“Everybody changing, Sat. Gwe aja masih bingung”, jawabku.
Melihat keadaan itu, aku belum berani bicara apapun. Aku terpaksa menginap dirumah dan membiarkan teman – temanku pulang. Aku segera naik ke atas, masuk ke kamarku. Kamar yang berisi semua kenangan itu.
Menutup pintunya….Melihat sekeliling….
‘Ahhh…bendera Union Jack ku’, dalam hati…
Semuanya masih sama. Tak terasa, airmataku keluar lagi. Kubuka semua laci kontainerku yang terakhir kuisi dengan komik – komikku…dan ternyata, masih sama..
‘Pank Ponk, Doraemon, serial – serial cantik’, hmmm….
Semuanya masih sama.
Rasanya semua kenangan itu kembali masuk dibenakku. Kenakalan masa kecilku, Main layangan, huufftt..aku jadi kangen kedua orangtuaku. Mereka terlalu banyak memberiku kenangan indah yang dapat membuatku menangis seketika dan sadar bahwa aku tidak akan mendapatkannya lagi. Semuanya ga akan sama lagi.
Hari itu kupuaskan hatiku mengenang semuanya.
Ketika semua sudah tertidur lelap, aku turun kebawah. Menatap foto – foto waktu kami masih lengkap, berjajar rapi disepanjang dinding tangga. Lukisan cat minyakku masih terpajang manis ditangga itu. Meja makan bundar berkursi 6 yang dilengkapi meja putar kecil ditengahnya pun masih sama, walaupun dulu kacanya sering pecah.
Aku menghampiri televisi sharp 21 inch diruang TV. Remotenya dah ilang, alhasil, untuk ganti channel, biar ga capek, kami pun sering menggantinya dengan kaki. Jempol kaki kami sudah lihai mengganti channelnya setiap nonton TV.
Aku menuju ruang tamu. Ada lukisan cat air berukuran besar bergambar Ayah dan Ibuku. Rasanya kangen liat itu. Foto – foto kakakku dari yang pertama sampai aku tergantung disitu. Aku juga melihat sketsa pinsil bergambar wajah ayahku yang digambar Mas Yudi, kakakku no. 4. Aku menyentuhnya dan seakan – akan, aku menyentuh wajahnya.
“Yah, Hanna Kangen!!”, ujarku yang spontan keluar dari mulutku.
Aku terduduk di sofa ruang tamuku. Mengambil album foto keluargaku. Melihatnya. Melihat fotoku ketika masih bayi, membuatku berpikir,
‘Akan seperti apa wajah anakku kelak? Sepertiku atau ayahnya?’, hatiku bertanya.
Melihat foto – fotoku, membuatku menangis. Benar yang dikatakan Ben….
“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”…
Ya, mereka memang berjuang berdua, tapi aku yakin bisa berjuang sendiri. Entah harus mulai dari mana. Tapi aku yakin, aku mampu memperjuangkan apa yang sudah aku dapatkan. Aku juga harus mempertanggung jawabkan apapun yang sudah kulakukan, karena Hanna bukan pengecut..
‘Hanna pasti bisa Bu’, bisikku dalam hati dan berharap Almh. Ibuku mendengarnya.
Malam itu aku tertidur di sofa dan melupakan semuanya. Berada disekeliling kenangan itu, membuatku nyaman dan membuatku merasa bahwa aku bisa melewati semuanya.
Tapi apa keluargaku bisa menerimanya????
0 komentar:
Posting Komentar