Jumat, 09 Oktober 2009

PART FOURTEEN – KETERBUKAAN ITU…

Pagi hari setelah kejadian itu, aku bertekad membuka semuanya. Aku gak mau harus pergi dari Samarinda dengan beban berat di pundakku. Kehadiran sesosok makhluk hidup di perutku sudah membuatku berpikir keras, harus seperti apa jalanku ke depan nanti?? Yang aku tau hanya aku akan menjalaninya sendiri.

Sore itu Bho mengajakku makan di tempat biasa dia makan, tumben banget sebenernya. Aku menanyakan alasannya ke Bho, Cuma dia selalu mengalihkannya ke topik lain. Sampai akhirnya aku gak tahan, aku mulai membicarakan apa yang ingin kubicarakan.

“Beb, aku mau ngomong?”, potongku.

“Ngomong apa?”, tanyanya.

“Tentang siapa aku dan gimana keadaanku”, jawabku.

“Aku tau siapa kamu”, ujarnya.

“Ya aku tau, tapi bukan yang kayak gitu. Namaku bukan Laras..tapi”, ujarku.

Sebelum aku bisa meneruskan perkataanku, ucapanku dipotong sama Bho.

“Hanna kan?”, potongnya.

“Ya…kamu kok tau?”, tanyaku keheranan setengah pucat pasi.

“Aku tau waktu kamu tidur, ga sengaja aku buka dompet kamu dan apa kamu ga sadar sama CV kamu Beb?”, ujarnya.

Oiya, aku baru tau kalau di CV ku tertera namaku yang sebenarnya, bukan Laras Anggun Anindya tapi Hanna Vieanka Maryam.

“Ya, muuv…”, jawabku.

“Ga papa..aku juga tau kenapa kamu begini. Aku liat buku harianmu dan ga sengaja, terbaca sama aku, Beb.”, ujarnya.

“Hah??? Kamu baca semua??”, tanyaku.

“Sayangnya, Ya! Makanya aku ga kaget waktu kmrn ibu kost mu panggil kamu ‘Vie’, aku tau semuanya”, ujarnya.

“Ya, Muuv. Aku terlalu malu mengakui bahwa aku ga seperti wanita lainnya. Aku tumbuh dengan sosok Laras sekian lama dan akhirnya, dia seperti menyatu dalam diriku, aku harus akhiri semuanya”, jawabku.

“Kenapa kamu bisa bilang kalau kamu ga seperti wanita lain?? Apa yang kurang siy Beb??”, tanyanya.

“Ga tau. Mungkin karena masa kecilku yang entah kenapa berbeda dengan yang lain. Masa laluku mempengaruhiku, Beb”, jawabku.

“Ya, setiap orang punya masa lalu. Aku ga perduli sama masa lalu kamu. Tapi dengan kamu berbuat seperti ini, kamu jadi akan menderita sendiri”, ujarnya.

“Ya, aku tau. Makanya, aku mau mengakhiri semuanya. Aku harus memilih siapa dan bagaimana aku sebenarnya. Aku harus mengakhiri semuanya”, jawabku.

“Ya, tapi jangan akhiri aku ya Beb. Jangan!”, ujarnya.

Apa yang baru Bho katakan tapi seperti anak panah yang langsung menusuk jantungku, membuatku sekarat dan mungkin akan mati perlahan – lahan.

“Kenapa ngomong begitu?”, tanyaku

“Karena mang aku ga mau kalo ga ada kamu”, ujarnya.

“Seandainya aku hamil, kamu masih mau ada aku?”, tanyaku.

“Kenapa kamu tanya begitu?”, tanyanya.

“Gpp, tanya aja. Soalnya kmrn kamu bilang kalo aku hamil, digugurin kan? Apa gunanya kalo masih sama – sama”, ujarku.

“Kamu bener hamil kan Beb?”, tanyanya sambil merubah posisi duduknya.

“Ga….aku Cuma tanya, kalo aku hamil, apa kamu masih mau ada aku?”, tanyaku.

Pertanyaan itu ga dijawab sama Bho sampai kami tiba di kostku dan aku juga sudah malah menanyakannya lagi. Bagiku jawabannya sudah jelas, ‘BIG NO’.

Kupikir, Bho akan langsung melesat pergi ke GEIM setelah kami jalan, ternyata dia singgah dulu di kostku. Aku heran, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA, tapi dia tetep belum juga mau ke GEIM. Dia menahanku di atas motornya sebelum akhirnya dia mengajakku bicara.

“Beb, duduk disana yuk”, ajaknya sambil menunjuk bangku panjang di depan kostku.

“Tumben, ga ke GEIM? Nanti ga dapet tempat lho”, jawabku.

“Ga papa. Kalo aku dtg, pasti ada kok tempat kosong, kompi ‘dewa’ pasti tersedia buat aku, Beb”, jawabnya.

“Susah siy ya yang jadi ‘anak emas’ nya si Koko itu”, jawabku sambil berjalan ke bangku itu.

Kami duduk dan diam untuk sementara waktu. Tak sadar, selama sesi diam itu, Bho memperhatikanku dari bawah sampai atas. Aku jadi jengah melihatnya.

“Beb, jangan diliatin kayak gitu”, ujarku.

“Kenapa? Mang ga boleh liatin pacar sendiri?”, tanyanya.

“Ya boleh, tapi jangan gitu”, ujarku.

“Kamu berubah Beb, Paha kamu kecil, Perut kamu rata, kamu kurusan”, ujarnya.

“Trus kenapa?”, tanyaku.

“Aku bener – bener kangen suasana dulu. Aku kangen banget”, ujarnya.

“Mang kemaren kemana aja Beb? Dr kemaren juga dah begini bentuknya, express!”, jawabku.

“Aku baru sadar. Tadi pas di tempat makan, banyak cowok – cowok liatin kamu. Kayaknya klo ga ada aku, diajak kenalan kali kamu td”, ujarnya.

“Masa??”, tanyaku.

“Iyh, tadi pas cuci tangan, aku denger di meja dkt situ lagi ngomongin kamu”, ujarnya.

“Ngomongin apa?”, tanyaku.

“Ya mrk bilang, ‘cewek pake baju putih cantik tuh sob. Sayang dah ada anjingnya’”, ujar bho menirukan ucapan org itu.

“Maksudnya ‘anjingnya’ apa?”, tanyaku.

“ya, ‘anjingnya’ tuh aku”, ujar Bho.

“Kok gitu?”, tanyaku.

“Itu sebutan aja”, jawab Bho.

“Mang kamu kenapa? Kan mrk ga ngajak aku kenalan”, tanyaku

“Iyah memang ga, tapi aku cemburu. Kamu diliatin orang – orang yang suka sama penampilan kamu”, jawabnya.

“Lho kan katanya kamu minta aku begini, dah begini malah cemburu”, jawabku.

“Iyah, payah ya?? Aku takut kamu diambil orang Beb”, ujarnya.

“Ya kenapa mangnya?”, tanyaku.

“Ga…Ga papa. Oiya, kamu jd gimana? Laras atau Hanna?”, tanyanya.

“Hanna, aku tetep Hanna. Aku pilih Hanna, Cuma aku ambil beberapa sifat positif Laras. Aku ga mau selamanya jadi Laras. Tanpa sadar, Aku lebih cinta Hanna”, jawabku.

“Kalau aku?? Kamu cinta aku??”, tanya Bho.

“Hmmm….dengan segala sifat kamu, aku sayang sama kamu”, jawabku.

“Cuma sayang??”, tanya Bho.

“Bagiku sayang jauh lebih dalam artinya dibanding cinta. Cinta bisa datang dan hilang begitu aja, kalau sayang ga. Jujur, kalo aku putus sama kamu, Beb. Aku ga akan pernah bisa benci sama kamu”, ujarku.

“kenapa?”, tanyanya.

“Karena aku ga bisa benci sama ayah dari anakku sendiri”, hati kecilku berbicara.

“Karena kamu…….”, jawabku, semuanya tertahan di tenggorokanku.

“Kenapa kamu ngomong ‘putus’ kayak gitu? Apa siy Beb yang kamu sembunyiin? Apa siy?”, tanyanya mendesakku.

“Ga, ga ada apa – apa”, jawabku.

“Kamu punya cowok lain? Kamu marah sama aku? Kamu Benci sama aku, Beb? Apa?”, tanyanya.

“Ga, ga ada cowok lain. Aku ga marah sama kamu dan aku ga akan bisa benci kamu”, jawabku.

“Trus kamu kenapa bisa bilang begitu? Kamu kenapa?”, tanyanya serius.

“Ga papa. Dah sana kamu pulang Beb. Aku ngantuk”, jawabku sambil berdiri dari bangku itu.

“Gak…ga akan pulang kalo kamu ga ngomong”, jawabnya.

Belum sempat aku menjawabnya, Bho langsung memelukku, membisikkan sesuatu di telingaku.

“Aku sayang kamu,entah sebagai Hanna atau Laras. Aku terlanjur cinta kamu, Beb”, bisiknya.

Dia melihat wajahku dan aku membalas apa yang dia bisikkan di telingaku dengan terbata – bata karena tangisku sudah hampir meledak. Menahannya membuatku tersiksa, melepaskannya membuatku lebih menderita.

“Aku sayang kamu sebagai Hanna dan sebagai Laras. Skrg aku memilih Hanna. Aku harus hidup dngan segala kekurangan Hanna, hidup dngan sifat Hanna. Aku terlanjur cinta Hanna dan cinta kamu. Tapi aku terlanjur sayang pada sesuatu yang hidup bersamaku sekarang dan mempertahankannya membuatku kehilangan cinta kamu, jadi maafin aku, Beb”, jawabku yang berusaha sekuat tenaga mengucapkan semuanya.

“Kamu terlanjur sayang apa? Sampai kamu harus merelakan semuanya. Apa hubungannya dengan aku Beb? Sampai kamu merasa akan kehilangan cintaku”, jawab Bho.

“Aku sayang pada sesuatu yang belum nyata Beb. Aku masih harus memperjuangkannya. Aku ga perlu membicarakannya dengan kamu, karena aku sudah tau jawaban apa yang akan kuterima nanti. Daripada tambah menyakitiku, lebih baik aku rasa sendiri aja”, jawabku.

“Kamu kenapa begini siy?”, tanya Bho.

“Aku Hanna, Ini sifat Hanna yang perlu kamu tau. Tadi kamu bilang terlanjur cinta kan? Sama siapa? Hanna atau Laras? Kalau kamu cinta Laras, Laras sudah ga ada”, jawabku.

“Beb….”, ujar Bho.

“Kalau kamu ga suka Hanna, Silahkan pergi dan pikirkan lagi semuanya”, jawabku sambil menurunkan tangannya yang menangkup wajahku dan segera meninggalkan Bho dalam kebingungan dan tangisku pun meledak seketika ketika aku membalikkan badanku, meninggalkannya.

Aku berjalan menuju tangga kamar kostku ketika sebuah tangan menangkapku dari belakang dan terdengar suara yang begitu familiar di teligaku, Bho.

“Beb, jangan kemana2 plisss….”, pintanya.

“Beb, aku ga kemana – mana. Kamu yang selalu pergi, aku selalu duduk manis tunggu kamu disini. Kamu yang kemana? Kamu yang masih belum bisa meninggalkan kesenangan kamu. Selama kamu belum bisa, aku ga akan bisa bilang sama kamu, sesuatu yang selama ini mengganggu pikiranku”, jawabku.

“Tapi Beb….”, jawabnya.

“You better be go home…It almost 11 o’clock, beb. Ya?”, jawabku.

“Kamu tetep ga bs bicara tentang itu?”, tanyanya.

“Ga bisa sayang, karena aku sudah tau jawabannya tanpa aku bicara sama kamu. You have to find your own light Babe…..”, jawabku dalam tangisku.

Aku segera melepaskan tangannya, berjalan ke tangga itu, menaikinya dengan cepat, masuk ke kamarku, menguncinya dan mematikan lampu sambil menangis sejadi – jadinya. Aku belum putus dengan Bho tapi lambat atau cepat, itu pasti terjadi.

Aku mengakhiri malam itu entah dengan apa. Aku bingung harus gimana. Sebelum aku memejamkan mata, ada sms masuk ke Hpke, Bho.

“Cinta, aku tau salahku apa, tapi apa terlalu fatalkah salahku? Aku tak sanggup melepaskan gairahku akan sesuatu yang membuat adrenalinku bergejolak tapi kalau aku harus kehilanganmu krn itu, aku ga sanggup.”

Aku membacanya dalam diamku. Liat besok…yang terjadi, terjadilah….

0 komentar:

Posting Komentar