Jumat, 09 Oktober 2009

Damn, aku tau aku terlalu cepat mengambil keputusan bahwa dia akan berubah pikiran walaupun Bapaknya sudah bermimpi seperti itu. Aku terpaku, diam, hatiku langsung kosong seketika. Ingin aku segera pergi dari hadapan laki – laki yang sama sekali ga punya hati ini.

“Kok diem Beb, hamil atau ga?”, tanyanya.

“Ga”, jawabku spontan.

“Oke. Aku percaya sama kamu. Aku Cuma ga mau kalau kamu hamil. Aku bingung gimana cara kasih makan anakku nanti”, ujarnya.

“Kasih makan ya gampang, beli di warteg juga bisa”, ujarku.

“Uangnya dari mana?”, tanyanya.

“Kamu punya gaji kan? Buat apa kalo bukan buat makan. Oia, aku lupa, buat beli billing warnet di GEIM ya yang Rp. 300.000 / bulan trus beli premi, lupa gwe”, jawabku agak ketus.

“Kok kamu ngomongnya gitu?”, tanyanya.

“gitu gimana?”, tanyaku.

“Ya gitu, seakan – akan aku salah”, ujarnya.

“Lho, anggep gini deh. Anggep aku hamil, kamu bilang suruh gugurin ya kan? Karena kamu ngerasa kalo kamu ga bs ngasih makan anak kamu nanti, ya kan? Tapi kamu bisa beli billing Rp. 300.000 / bulan buat RF Online dan bisa beli premi Rp. 10.000 setiap hari kan? Ga mampu ya ngasih makan orang kalo kayak gitu?”, tanyaku.

“Aku belum siap kalo kegiatan game ku terganggu”, ujarnya.

“Wew….Ya udah. Go Ahead with your life lah….”, jawabku.

Aku berdiri dan langsung berjalan meninggalkan Bho dikursi itu dan ga berharap dikejar sama sekali. Makin yakin hati ini kalau aku akan menjalani semuanya sendiri dan aku akan mempertahankannya walaupun ayah kandungnya sama sekali ga menghendaki kehadirannya.

Tiba – tiba ada tangan yang menarik tanganku. Keseimbanganku goyah dan tanpa sadar, aku sudah berada dalam pelukan Bho. Dia memelukku erat tanpa mengeluarkan statement apapun. Tiba – tiba dia mengucapkan sesuatu padaku.

“Kamu hamil kan beb?”, tanyanya untuk kesekian kali.

“Ga”, jawabku sama seperti td.

“Tapi kenapa omongan kamu sepertinya kondisi kamu kebalikan dari yang sebenarnya”, ujarnya.

“Maksudnya?”, tanyaku.

“Ya, kamu kayak sedang hamil”, ujarnya.

“Sok tau….dah sana pulang”, jawabku.

“Gak”, jawabnya.

Dia melepaskan pelukannya disertai munculnya suara baru dari arah belakangku.

“Ada apa Nak?”, tanyanya.

Aku menoleh ke belakang dan yang bertanya padaku adalah ibu pemilik kost tersebut.

“Ooo….ga papa bu, Cuma ada sedikit masalah”, jawabku.

“Masalah apa Nak?? Ga boleh pagi – pagi ribut. Itu siapa?”, tanyanya.

“Hmmm…ini…”, ujarku terbata.

Tiba – tiba Bho berjalan ke arah Ibu itu dan memperkenalkan dirinya.

“Pagi Bu, maaf saya mengganggu. Saya Aji, calonnya”, jawabnya.

“Haaaaaaaaahhhh…calon apa???”, tanyaku dalam hati.

“Calon pacarnya atau calon suaminya Nak Aji?”, tanya ibu kostku.

“Calon suaminya”, jawab Bho.

Mendengar jawaban Bho..pusing, mumet, migrain campur jadi satu.

“Sini..sini…masuk. Duduk ngobrol sama Ibu”, ajak si Ibu.

Mendengar ajakkan si Ibu bikin aku mules2. Otomatis aku harus menjaga semua perkataanku, padahal kan tadi lagi seru – serunya ngomong. Duuhhh…

“Ooo…jadi kamu itu calonnya Vie toh Nak?”, tanya si ibu meyakinkan.

“Iyah, doakan ya Bu. Makanya tadi ada kesalahpahaman sedikit”, jawab Bho.

“Salah paham??? Siapa yang salah paham?? Salah paham dalam masalah apa??”, ujarku dalam hati, jangkel.

“Ga papa, itu biasa”, jawab si Ibu.

Saat itu, akhirnya si Ibu ngalor – ngidul tanya ini itu. Aku jadi bingung mau apa. Masalahnya aku sedang memikirkan bagaimana tindakanku selanjutnya. Aku tidak mampu kalau harus menggugurkan kandunganku. Lagipula, apa – apaan Bho bilang ke Ibu Kost kalo dia ‘Calon Suami’ ku??? Ini aja disuruh gugurin kok. Selagi percakapan si Ibu dan Bho semakin seru, aku memohon pamit sebentar.

“Bu, maaf, Aku ke atas dulu ya?”, potongku.

“Oia, kamu mau ikut ke atas nak?”, tanya si Ibu ke Bho.

“Iyah bu, mau selesaiin masalah yg tadi”, jawab bho.

“Sudahlah, silahkan silahkan”, kata si Ibu.

Tanpa banyak basa – basi, aku langsung jalan cepet ke arah tangga untuk naik ke kamarku. Bho mengikutiku di belakang.

“Beb, jangan cepet – cepet kenapa?”, serunya.

Aku ga perduli, dia masih mengikutiku. Begitu aku sampai di tangga, aku segera menaikinya. Dianak tangga keberapa, aku merasakan sakit yang hebat di perutku dan aku merasakan ada yang mengalir di kepalaku. Aku berpegangan erat pada pegangan tangga.

“Beb, kenapa siy buru – buru?”, tanya Bho.

Begitu aku membalikkan badan, aku tak sadar bahwa darah sudah mengalir keluar dari hidungku. Bho panik. Dia langsung menggendongku ke kamarku. Aku hanya bisa menyuruhnya ini itu, ambil ini ambil itu. Setelah darahnya berhenti, aku Cuma bisa melihat bho terdiam disamping kasurku.

Hari itu berakhir dengan pulangnya bho ke rumah setelah menemaniku seharian di kost. Dia bingung dengan keadaanku dan aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Apa aku harus jujur atau tetap memendam ini sendirian???

Semuanya akan kuputuskan besok. Ya besok....huuuuffttt...

0 komentar:

Posting Komentar