Rabu, 14 Oktober 2009
Tak terasa aku sudah meninggalkan Samarinda, sekarang Bis ini membawaku ke Balikpapan, meninggalkan semua kisah itu dibelakang dan sepertinya aku enggan mengingatnya lagi.
Aku langsung mengirimkan sms kepada Eki untuk membatalkan PSPnya. Eki sempat menanyakan semuanya padaku. Dia menelponku tak lama setelah aku mengkonfirmasi semuanya. Aku sudah menjelaskan semuanya dan dia cukup kaget mengetahui aku sudah di bis menuju Balikpapan untuk segera kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalananku, Eki tetap menghubungiku, menanyakan segalanya dan aku gak bias menutupi semuanya. Tangisku pecah saat itu dan Eki hanya bias terdiam. Awalnya dia ingin pergi ke tempat Bho biasa main, menanyakan semuanya, tapi aku menahannya.
“Aini tau Vie soal ini?”, tanyanya.
“Ya tau”, jawabku.
“Kenapa ga bicara sama kami disini semuanya. Pasti kita bisa bantu, ga gini caranya”, jawabnya.
“Wew, kalo memang Vie cerita, mang Eki sama yang lain mau apa? Paksa dia untuk tanggung jawab? Kayaknya ga ada gunanya”, jawabku.
“Kenapa memangnya?”, tanyanya.
Aku menceritakan semuanya pada Eki, Eki ga bisa bilang apa – apa.
“Kamu ga pernah kenalan sama temen – temennya dia, Vie?”, Tanya Eki.
“Aku hampir kenal semua namanya, tapi aku ga tau yang mana wajahnya”, jawabku ditengah tangisku.
“Shhh****tt….kenapa ga bilang pas kamu disini siy? Kita disini bisa bantu kamu. Lagi Aini kenapa ga bilang lagi”, jawab Eki.
“Ki, udah deh. Ga usah ngomongin dia lagi. Vie bingung”, jawabku yang dibarengi dengan putusnya telpon tersebut karena sinyal drop.
Dalam perjalanan itu, aku sama sekali ga bisa tidur. Airmata ga abis – abisnya turun. Rasanya pengen banget balik ke Samarinda, samperin Bho dan marah – marah sepuasnya. Cuma pasti aku ga bisa.
Tak lama, aku sampai di terminal bis dan melanjutkan perjalananku ke Sepinggan dengan naik Ojek. Lumayan kena Rp. 25.000. Entah itu memang tarif dari terminal ke Sepinggan atau bukan, yang jelas aku merasa nyaman naik ojek karena si Bapak tukang ojek berjuang keras memberikan pelayanan buatku. Bawaanku tidak bisa dibilang ringan ditambah helm hitam VOG ku. Aku sampai di Sepinggan lebih cepat dari seharusnya sehingga belum bisa masuk ke ruang tunggu. Akhirnya aku menunggu diluar. Tiba – tiba Hpku berbunyi dan aku melihat nomor yang asing,
‘Siapa ya??’, tanyaku dalam hati. Kuangkat.
“Haloo..”, sapaku.
“Halo Vie, Ini ben2”, sapa dari suara tersebut.
“oohhh..Ben. Ada apa?”, jawabku.
Ben2 itu sahabat Eki, temannya Aini.
“Kenapa Ben?”, tanyaku.
“Lo dimana?”, tanyanya.
“Sepinggan, kenapa?”, tanyaku.
“Balik Samarinda, sekarang. Lo harus urusin semuanya”, jawabnya.
“Urus apa?”, tanyaku.
“Urus urusan lo sama cowok lo”, jawabnya.
“Siapa cowok gwe? Gwe dah ga punya cowok Ben”, jawabku.
“Aji. Cowok lo kan?”, tanyanya.
“Bukan, gwe dah bubar. Gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku yang mulai menangis lagi.
“Vie, gwe dah tau semuanya dari Eki, balik ke Samarinda lah. Tak usah balik hari ini”, ujarnya.
“Ga bisa. Gwe dah dibeliin tiket Ben. Ga bisa balik lagi ke Samarinda”, jawabku.
“Harus, lo harus samperin dia. Enak banget siy dia. Dulu waktu perlu, dia baik sama lo, sekarang. Lo balik ke Jakarta aja sendirian”, jawabnya.
“Udah ben, ga usah diomongin lagi. Ya?”, pintaku.
“Lo mang gampang ngomong gitu Vie, lo perempuan. Gwe laki – laki. Malu gwe jadi laki – laki ngerti ga lo?”, tanyanya.
“Hmmmm….”, jawabku yang sudah tak mampu membendung airmataku lagi.
“Gwe laki – laki. Gwe ga akan kayak gitu kalo gwe mampu melakukan itu sama cewe gw. Gw akan lindungi dia semampu gwe”, jawabnya.
“Mungkin dia ga bisa anter gwe ke bandara karena dia capek kali Ben..udah”, jawabku.
“Ga mungkin. Laki – laki memang kadang benci sama yang namanya perpisahan, gwe yakin, Aji tuh sayang sama lo Vie, Cuma dia masih belum sanggup kalo harus ada anak. Cuma itu dah rejeki dari Allah kan Vie, dia harus sadar itu, bukan lari dari masalah. Lo juga jangan lari”, jelas Ben
“Ben, bukan lari. Tapi gwe ga mampu hidup di tempat yang semuanya berisi kenangan gwe sama dia”, jawabku.
“Denger, oke…lo ga lari dari masalah, tapi kenapa lo ga temuin dia, bilang semuanya?”, tanyanya.
“Gwe dah tau jawabannya Ben, dia dah sadar kalo kayaknya gwe hamil dan dia minta, klo bener gwe hamil, untuk gugurin kandungan gwe”, jawabku.
“Shhh***tt…alasannya?”, tanyanya.
“Belum siap”, jawabku.
“Trus lo mau berjuang hidup sendirian?? Lo mau besarin anak itu sendirian, Vie?”, tanyanya.
“Seumur hidup gwe, gwe akan berjuang apapun buat dia. Seumur hidup gwe, ga ada yang pernah berjuang untuk gwe selain orangtua gwe. Gwe mau balas apa yang mereka kasih sama gwe dengan gwe berjuang untuk anak gwe”, jawabku.
“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”, ujar Ben.
“Ngerti, ga papa…gwe akan berjuang buat anak gwe walaupun gwe sendiri. Gwe mau dia jauh lebih kuat, lebih punya prinsip dari ayah atau bundanya. Gwe mau dia bisa bertanggung jawab atas apa yang dia ucapkan dan dia perbuat nanti, gwe mau berjuang untuk itu”, jawabku.
“trus kenapa lo harus balik ke Jakarta? Lo punya teman – teman disini. Bukan Cuma di Jakarta”, ujar Ben.
“Gwe ga sanggup Ben…”, jawabku di tengah tangisku.
“Lo pergi karena lo mau lupain Aji?”, tanyanya.
“Gwe pergi bukan untuk lupain Aji. I leave him not because I’m not love him, I love him so much, Ben”, jawabku.
“So why??”, tanyanya.
“Karena gwe ga mampu hidup tanpa dia di tempat yang jelas – jelas dia bisa temuin gwe yang makin hari makin terpuruk karena liat dia. Biar dia kejar kebahagiaan, jalan hidup yang dah dia pilih Ben”, ujarku.
“Game? Jalan hidupnya tuh Game? Rela lepasin cewek yang bisa kasih cinta kayak lo? Setan!! Lo tuh terlalu baik kalo harus terima jalan kayak gini. Dia laki – laki, harusnya punya prinsip. Kalo tuh server modar, mau ngapain dia?”, jawab Ben meluap – luap.
“Ya pasti akan ada game pengganti Ben, udahlah”, jawabku lemas.
“Ya, pasti akan ada game pengganti. Gwe suka game, gwe gamer juga. Penggila mungkin, tapi gwe bisa pisahin, mana realita mana maya. Kesenangan sementara, sama kesenangan yang memang harus gwe kejar untuk masa depan gwe. Gwe mampu abisin duit berapa pun buat game, tapi gwe juga mau abisin berapapun untuk masa depan gwe. Ngerti lo?”, tanyanya.
“ya..setiap orang punya jalan sendiri – sendiri, jangan paksa dia harus jadi seperti lo Ben”, jelasku.
“Ya Tapi…..”, jawabnya yang terus kupotong dengan menutup Hpku. Aku me-non aktifkan Hpku.
Aku tenggelam dalam tangisku, semakin tenggelam dalam sekali.
Aku memutuskan tetap pergi daripada harus tinggal tapi hati tersayat setiap hari. Membayangkan dia bisa melakukan apa pun yang dia suka, sementara aku harus berjuang hidup dan mati untuk sesuatu yang tidak ia inginkan tapi aku terlanjur mencintainya, mencintainya seperti aku mencintai Aji.
Kupasang Earpiece MP3 playerku, kunyalakan MP3ku….
dimatamu aku tak bermakna
tak punyai arti apa-apa
kau hanya inginkanku saat kau perlu
tak pernah berubah..
kadang ingin kutinggalkan semua
letih hati menahan dusta
diatas pedih ini aku sendiri
selalu sendiri...
serpihan hati ini kupeluk erat
akan kubawa sampai kumati
memendam rasa ini sendirian
ku tak tau mengapa
aku tak bisa melupakanmu...
kupercaya suatu hari nanti
aku akan merebut hatimu
walau harus menunggu sampai ku takmampu
menunggumu lagi........
( Utopia – Serpihan Hati )
Aku Pergi, entah akan kembali ke Samarinda atau enggak…..
I Leave You Love….Leave you My Beloved Striker with all the memories….see ya until..I Don't know when but…I’ll be missing you…
Can I live without You???.....Hiks….hiks…
0 komentar:
Posting Komentar