Jumat, 09 Oktober 2009

Pagi itu aku terbangun dan menyadari bahwa untuk tidur atau sekedar membicarakan hal – hal yang begitulah.ini bukan kamar kost-ku yang dulu. Bukan kamar tempat biasa aku dan bho menghabiskan waktu entah

Kepergiannya semalam menyisakan perasaan yang membingungkan untukku.

Kulihat kamar itu sekeliling, catnya yang pink menyiratkan perasaan yang berbeda dengan perasaanku saat itu. Aku terduduk di kasurku yang hanya setipis tikar, mengambil guling dan bersandar pada dinding dibelakangku. Aku memikirkan, “apa yang harus kulakukan sekarang???”

Pertanyaan itu berulang – ulang muncul di benakku. Kuberanjak dari kasurku, membuka tirai hijau kamarku, membuka jendelanya dan angin pagi berhembus memasuki kamarku. Ingin rasanya aku meraih Hpku dan mengirimkan sebuah sms untuk Bho sekedar mengucapkan “Pagiiiii…dah bangun belum?”, seperti yang sering kukirimkan ketika aku masih di Jakarta. Tapi rasanya buang – buang waktu. Aku tau apa yang akan terjadi apabila aku mengirimkan sms itu. Yang akan terjadi hanya kekosongan belaka, tidak akan ada balasan “Pagiii juga beby….udah bangun kok”, seperti yang selama ini kuterima seperti saat aku di Jakarta.

Aku beranjak dari jendela itu, kembali duduk dikasurku yang tak mungkin dipakai Bho untuk tidur menunggu chip war malam RF Online.

Seketika itu juga, aku teringat Kintan. Buku itu ada di sebelah kasurku. Kuraih dia, kubuka halaman demi halaman, kubaca lembar demi lembar, mengingatkan betapa bahagianya hidupku dl. Sifat Bho yang dulu takut banget kehilanganku, berubah menjadi sosok bho yang selalu ingin dimengerti. Ketika aku membaca lembar terakhir, Hpku berbunyi….

“Bho???, tumben???”, ucapku dalam hati. Kuangkat.

“Ya, ada apa Beb?”, tanyaku.

“Pagi, gimana tidurnya??, tanya Bho….

“Begitulah….”, jawabku setengah hati.

“Kamu kenapa Beb? Kamu dimana?”, tanyanya.

“Aku baik – baik aja. Aku di kamar. Kenapa?”, tanyaku

“Aku di bawah…..turun sini”, ujarnya.

“Ngapain dibawah???”, tanyaku kaget.

“Turun sini, ga pake lama”, suruhnya.

“Bentar”, jawabku yang diiringi suara terputus di Hpku.

Aku segera mengganti bajuku, memakai parfum seadanya, membuka pintu kamar, pake sendal, lari ke kamar mandi, cuci muka trus turun ke bawah.

“Aduuhhh!!”, pekikku ketika kurasakan perutku nyeri.

Kuelus – elus perutku sambil berbicara dalam hati pada sesosok makhluk mungil di dalam sana..

“Bentar dd, bunda dipanggil ayah ke bawah. Bentar ya”, ujarku

Kuturuni tangga curam itu dengan hati – hati. Berjalan perlahan, mencoba menahan rasa sakit di perutku. Kulihat Bho menungguku di atas motor satria – nya.

“Lama amat siy beb, ngapain dulu??”, tanyanya ketika aku dtg menghampirinya.

“Hmmm…ganti baju, cuci muka, lagian jalannya juga pelan – pelan”, jawabku.

“kenapa pake ganti baju segala?”, tanyanya.

“Ga enak keluar pake baju tidur, kamu mau aku keluar pake tank top gitu? Mau aku diliat orang pake baju itu?”, tanyaku.

“Ga lah…kalo ada yang liat, kucolok nanti matanya”, jawabnya.

“Trus ngapain pagi – pagi dateng?”, tanyaku

“Kok tanyanya gitu??? Dah betah ya kost disini? Ga kangen aku lagi?”, tanyanya.

“Bukan gitu. Kamu kan biasanya ga nongol jam segini. Lagian kenapa kesini pake baju hansip siy?”, tanyaku.

“enak aja baju hansip, ini seragam kantor. Dudutz”, jawabnya.

“Ya aku juga tau itu seragam kantor kamu, tapi kok kayak baju hansip ya warnanya?”, tanyaku smbil mesem – mesem.

“Kulang ajal ( Kurang ajar - pake logat cadel ), tau niy dari sana nya”, jawabnya sambil memegang tanganku.

“Apaan ciy? Kamu ga kerja beb?”, tanyaku.

“Ga. Tadinya dah mau berangkat, Cuma Kak Pi’u ga jadi berangkat. Kata dia ga usah, ya aku ga berangkat”, jawabnya.

“Hmmm…selain jadi Hansip, merangkap kerja jadi supir juga ya?”, tanyaku sambil senyum.

Bukannya ngomong sesuatu dia malah menarik tanganku, merangkul pinggangku, melingkarkan tangannya di pinggangku dan mencium lembut rambutku.

“Gimana jadinya perut kamu? Dah mendingan beb?”, tanyanya.

“hmmm…semalem iyah, tp tadi sakit lagi”, jawabku.

“Mana sini kuelus”, ujarnya.

Belum sempat aku mengatakan ‘ga papa’, tangan kanannya sudah mengelus perutku. Pengen nangis rasanya, karena aku tau ini ga akan berlangsung lama.

“Ada dedenya ya Beb?”, tanyanya.

“Hah???”, tanyaku heran.

“apa dia sudah tau atau ada yang ngasih tau?? Tapi siapa??”, hatiku berbisik, panik ga karuan.

“Iyah, kayak ada dedenya? Beb mau tau ga kenapa aku langsung kesini”, ujarnya.

“Hah??? Kenapa kamu kesini??”, tanyaku.

“Pindah ke bangku disana aja yuk?”, ajaknya.

Aku pun mengangguk. Dengan tangannya yang masih melingkar di pinggangku, kami berjalan beriringan ke arah bangku tersebut. Dia menyuruhku duduk disampingnya.

“Beb mau tau kenapa aku ga ganti baju dulu tapi langsung kesini?”, tanyanya.

“Iyah”, jawabku.

“Gini, aku semalem mimpi. Bapakku sembuh dari sakitnya. Kamu tau Bapak kalo ngomong susah kan?”, tanyanya.

“Iyah, mang apa hubungannya?”, tanyaku.

“Di mimpiku, Bapak bisa ngomong lancar lagi dan bilang ke aku kalo Bapak seneng karena dia mau dapet cucu laki – laki. Kamu tau kan kakak2ku anaknya perempuan semua?”, tanyanya lagi.

“Iyah. Sapa tau kakak kamu hamil beb, anaknya laki – laki”, jawabku panik.

“Ga mungkin, kata Bapak dia liat ibu dari cucu laki-lakinya dan pas dijelasin ma Bapak, itu mirip banget sama kamu”, jelasnya.

“terus?”, tanyaku panik..

“Sekarang aku mau tanya, kamu hamil atau ga?”, tanyanya.

“Kalo iyah gimana? Kalo enggak gimana?”, tanyaku agak sedikit seneng karena kayaknya ada sinyal2 bagus.

“Kalo enggak, ya ga pa pa. Kalo iya??”, dia berenti ngomong.

“Kalo iyah kenapa?”, tanyaku.

“Kalo iyah, aku mohon, gugurin”, ujarnya.

0 komentar:

Posting Komentar