Jumat, 09 Oktober 2009

PART NINE ( 2 ) Welcome To Samarinda

Setelah aku menutup Hpku, aku mulai mengikuti orang – orang yang berada di depanku karena jujur aku bingung. Bandara Sepinggan tidak seperti Bandara Soekarno – Hatta yang teratur. Aku akhirnya tahu kalau Bandara Sepinggan itu kecil, waktu itu hanya ada Pesawatku, Lion Air dan Batavia Air.

Aku mengikuti orang – orang di depanku sampai tiba di tempat pengambilan bagasi, deg – degan, takut bagasiku ilang. Setelah menunggu lama, akhirnya terlihatlah tas pakaianku, hitam dengan ciri khas pita orange di kantung depan tas tersebut. Kuhampiri, kuangkat..Huuufftt...berat walaupun isinya cuma pakaian aja. Aku menenteng tas pakaianku seorang diri, berjalan menuju pintu keluar dan begitu sampai di depan Bandara Sepinggan, sejauh mata memandang, hanya ada taxi.

“Pasti taxi nembak nih”, pikirku dalam hati.

Dan itu terbukti ketika kutanyakan berapa ongkos taxi dari Bandara ke Terminal Bus.

“Rp. 45.000 kak”, jawab supir taxi yang disambut tanda tanya buatku.

“Mungkin Terminal Bus itu jauh kali dari sini”, pikirku dalam hati.

Akhirnya, aku menaiki taxi tersebut dengan harga Rp. 45.000 yang kami sepakati dari awal. Di dalam perjalanan, Si Supir bertanya,

“Mau ke Samarinda ya, Kak?”, tanyanya.

“Iyah, Kenapa memangnya? Masih ada kan Busnya?”, tanyaku lagi.

“Masih. Tapi kenapa ga naik taxi aja kesana sekalian?”, jawabnya.
“Duuhh, saya dijemput di terminal. Nanti ke Samarinda sama – sama temen saya”, alibiku. Soalnya serem juga kan jalan dari Balikpapan ke Samarinda. Kebetulan aku belum tau medannya seperti apa.

“Oooo.....”, jawab si supir taxi.

Sambil kuperhatikan jalan, Balikpapan termasuk kota yang bersih. Tak sempat ku berpikir macam – macam, tiba – tiba si supir bilang,

“Sudah sampai kak”, ujarnya.

“Haaaaahhhhh”, dalam hatiku.

Perasaan belum ada 15 menit naik taxi, kok dah sampai?? kalau di Jakarta, itungan taxi seharga Rp. 45.000 itu ya, kayak dari Grogol ke Cawang deh. Tapi karena aku malas berargumen, aku langsung keluar taxi dan celingak – celinguk.

“Ke Samarinda kak???”, terdengar suara di belakangku.

“Uugghh...iyah.”, jawabku setengah kaget.

“Kalau mau ke Samarinda jam segini, naiknya dari lampu merah disebelah sana kak”, sambil menunjukkan arah lampu merah tersebut.

“Ooo..trus saya naik apa ya kesana?”, tanyaku.

“Naik ojek aja kak, Rp. 5,000. saya antarkan”, ujarnya.

“Ooo..tukang ojek toh”, pikirku.

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku setuju naik ojek ke lampu merah tersebut. Jaraknya lumayan jauh ya, tapi terobati karena Busnya masih ada. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menaiki bus itu.

“Ke Samarinda kak?”, tanya kondektur itu.

“Iyah, ini bis ke Samarinda kan?”, tanyaku.

“Iyah. Untung masih sempat, ini bus terakhir kak”, jawabnya.

“Hmmm...beruntung berarti saya. Makasih Pak!”, jawabku.

“Sama – Sama”, jawabnya.

Kulihat kiri kanan, bangku masih sepi. Tiba – tiba teringat kalau aku belum makan dari Jakarta. Aku lihat melalui jendela, ada warung rokok yang masih buka. Beli roti yang Rp. 1000 an lumayan buat ganjel deh.

Aku turun dari bus dan membiarkan tas pakaianku di dalam bus. Aku membeli 1 buah donal coklat dan segelas aqua gelas. Setelah bayar, langsung naik ke bus ga pake lama. Begitu duduk di Bus, ternyata si supir mulai menyalakan mesin Bus.

“akhirnya jalan juga”, ujarku dalam hati sambil melihat jam di tanganku yang sudah menunjukkan pukul 19.00.

Tapi setelah kutunggu, kok gak jalan – jalan? Ternyata, cuma mau manasin mesin aja. Bus itu jalan pukul. 20.00 dari Balikpapan. Ketika bus itu jalan, aku menelpon Bho.

“Halo, beb. Dah dimana?”, tanyanya.

“Masih di Bus, baru jalan”, jawabku.

“Tapi masih ada kan Busnya?”, tanyanya.

“Masih lah. Kalo dah ga ada, aku naik bus apa sekarang? Bus setan ya?”, jawabku yang dibalas suara tawa Bho.

“Ya dah, simpen pulsanya buat nanti. Kalau sudah lewatin Jembatan Sungai Mahakam, telpon ya”, suruhnya.

“Oke”, jawabku.

Aku segera menutup hapeku dan mulai berpikir, perjalanan seperti apa yang akan aku lewati sekarang.

Sebisa mataku memandang, hanya ada warna hitam. Aku gak tau pemandangan apa yang sedang aku lewati. Yang kutahu, Bus itu melaju cepat seperti cara jalan KOPAJA atau Metro Mini di Jakarta. Agak sebel juga karena ga bisa liat apa – apa, tapi mau tidur juga ga bisa, takut kelewatan.

Akhirnya aku cuma bisa diem, berdoa semoga bener ini bus ke Samarinda.

1 jam......sudah lewat...tapi belum sampe2 juga...

2 jam.....sudah lewat, tapi bener2 belum sampe juga...

Hampir 3 jam, baru aku merasa sudah melewati beberapa pemukiman penduduk. Tak berapa lama, aku melihat Jembatan Besar di depan sana

“Apa itu Jembatan Sungai Mahakam??”, tanyaku dalam hati.

Aku ga bisa mikir apa – apa, cuma aku langsung telpon Bho.

“Ya Beb, dah sampe mana?”, tanyanya.

“Kayaknya dah sampe Samarinda deh”, jawabku.

“Dah liat Jembatan Sungai Mahakam??”, tanyanya.

“Iyh, udah”, jawabku. Tau bener tau salah, nyaut aja 'udah'. Yang aku ingat cuma aku melewati pemukiman penduduk yang terbuat dari kayu disamping sungai itu.

“Ya dah, aku jemput di Terminal Bus deh. Ya?”, tanyanya.
“Oke, Ati2 dijalan ya Beb?”, ujarku.

“Siipp...Luv You beb”, jawabnya.

“Luv You too”, jawabku sambil menutup flip hpku.

Ketika aku melewati bagian daratan yang lebih tinggi dari Sungai Mahakam, Aku sempet mengambil gambar Jembatan tersebut.

Tak berapa lama, aku akan melewati Jembatan tersebut. Rasa di dada berkecamuk. Ini kali pertamaku pergi keluar Jakarta tanpa siapa pun. Ketika melewati Jembatan itu, dalam hati aku berteriak..

“WELCOME TO SAMARINDA, HANNA!!!!!”....

Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu, cuma aku bangga, aku bisa sampai Samarinda dengan usahaku sendiri. Dalam hati, Andai Ibuku masih hidup,, mungkin dia dah jantungan denger aku ke Samarinda sendiri.

Bus itu melaju ke arah tertentu yang seperti aku tau kalau itu mengarah ke Terminal Bus Samarinda. Tak berapa lama memang aku sampai di Terminal Bus Samarinda. Begitu turun dari Bus, belasan tukang ojek menawarkan jasa untuk mengantarkan kami, penumpang bus tersebut ke alamat yang dituju masing – masing. Cuma untukku, itu tak perlu, karena aku dijemput Bho..

Tak berapa lama, hapeku berbunyi, ternyata Bho.

“Beb, dimana??”, tanyanya.

“Di Terminal”, jawabku.

“Aku dah didepan terminal. Kamu dimananya?”, tanyanya.

“Di dalam terminal, kenapa?”, tanyaku.

“Keluar...keluar sini dari terminal. Aku di pintu depan”, ujarnya.

“Oke”, jawabku.

Sambil kutenteng tas pakaianku yang makin lama kok makin berat ke pintu depan. Aku tak perduli dengan siulan para pria – pria di sepanjang jalan yang aku lewati. Sesampainya aku di pintu depan, Aku tidak menemukan sosok Bho sama sekali.

Tak lama, hpku berbunyi lagi. Kuhempaskan tas pakaianku dan kubuka flip hapeku, ternyata Bho.

“Beb, kamu dimana?”, tanyanya.

“Dah di pintu depan, kamu dimana?”, tanyaku.

“Aku dah dipintu depan. Kamu mang di pintu depannya dimana?”, tanyanya

“Ya di depan pintunya”, jawabku

“Apa kamu di pintu yang lain ya?”, tanyanya.

“Mang ada berapa pintu???” tanyaku agak2 panik.

“Ada 2, bentar2, aku ke pintu yang satu lagi, Tunggu situ, jangan kemana2”, ujarnya.

“Iyah”, jawabku sambil menutup hpku.

Lama aku menunggu sampai aku digodain bapak – bapak yang berenti disebelahku dengan motornya menawarkan ingin kemana. Jujur, serem. Tak berapa lama, datanglah motor yang menghampiriku. Begitu motor itu berhenti di depanku, sontak bapak – bapak yang menggodaku, pergi. Si Pengendara membuka tutup helmnya dan aku baru sadar kalo itu, Bho.

“wew beby, lucu amat berdiri disitu. Sini, ngapain diem disitu”, tanyanya.

Aku melangkah maju sambil manyun karena sebel, dari Balikpapan sampe Samarinda jauh, capek, yang jemput lelet. Begitu kuhampiri dya, begitu aku berdiri di sampingnya, aku langsung menghempaskan kembali tas pakaianku ke tanah, begitu kuhempaskan tas itu ke tanah, Bho langsung membuka helmnya dan memelukku. Rasanya, kangen itu bener – bener meledak. Bho memelukku erat.
Dia melepaskan pelukannya setelah mengecup keningku.

“Beby, capek?”, tanyanya.

“Iyah”, jawabku.

“Ya dah, kita cari hotel aja dl ya?”, ujarnya.

“Kok hotel?? mang km belum cariin kost buat aku, beb?”, tanyaku.

“Belum, ga sempet. Besok pagi aja ya?”, jawabnya.

“Ya dah, deh”, jawabku.

“Ini pake helmnya. Aku beli yang warnanya sama kayak helmku. Gpp kan?”, tanyanya.

“Ga papa”, jawabku.

Akhirnya aku memakai helm tersebut, menaiki motor Satria Fu – nya dan mengikuti kemana motor itu melaju. Aku gak tau apa yang ada dipikiran Bho dan aku juga mendadak ga bisa mikir apa – apa. Apa yang terjadi kemudian diluar perkiraanku.

Apa memang itu harus kulewati???......

0 komentar:

Posting Komentar