Rabu, 02 Desember 2009
Satu persatu mulai mempersiapkan semuanya. Mereka mulai menyuntikkan sesuatu ke tubuh ku dan memerintahkan au untuk melakukan ini dan itu. Dibenakku saat itu hanya ingin Wonk ada di sampingku.
Saat itu, aku hanya mau dia…..
Kondisi tubuhku mulai tidak stabil. Aku bilang ke salah satu suster yang membantuku untuk memberitahu Wonk atau siapapun kalau memang sudah waktunya.
“Mba…tolong bilang sama keluarga saya, saya minta maaf”, pintaku saat itu.
“Bu, Ibu harus kuat. Sabar ya. Keluarganya sudah dikabari kok”, jawab suster itu.
Pernyataannya tidak membuatku tenang. Rasa sakit bercampur rasa melilit yang hebat membuatku tak dapat berpikir apapun. Rasanya aku hari itu sudah berkata dalam hati berulang – ulang kepada Tuhan..
‘Ya Tuhan, aku Cuma mau mengantarkan makhluk – makhluk mungil ini melihat semua ciptaanmu tapi aku gak mampu…’
Rasanya kalau saat itu nyawaku langsung hilang, pasti rasanya tak akan terasa seperti ini, tapi melihat semua yang telah lewat, membuatku punya keinginan untuk tetap bertahan, setidaknya sampai kewajibanku selesai.
Saat itu, entah mengapa, yang bisa menenangkanku untuk sementara adalah mengenang semuanya. Masa dimana Bho masih ada untukku. Ketika semuanya masih ada ditempat yang seharusnya. Tapi begitu bayangan ketika aku harus melewatinya sendiri, rasa sakit itu terasa makin hebat. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku hanya ingin semuanya selesai.
Semuanya tampak lebih sibuk dan aku hanya bisa diam. Keringat sudah membanjiri tubuhku dan aku hanya berharap, semua yang terbaik. Kalaupun aku harus pergi saat itu, seperti aku akan ikhlas karena aku percaya, anak – anakku akan berada di tempat yang benar.
Aku mulai merasakan sakit yang lebih hebat dan rasanya, aku ga sanggup lewati semuanya sampai tiba – tiba pintu ruang perawatan itu terbuka dan aku melihat Wonk disana, tersengal – sengal. Dia langsung menghampiriku.
“Bun, maaf. Ayah beli mam nya kejauhan. Sabar ya Sayang, Yang kuat ya”, ujarnya.
Aku tampak malu dengan posisiku saat itu tapi tampaknya Wonk tak memperdulikan hal tersebut. Aku hanya bisa tersenyum dan sepertinya kekuatanku kembali.
“Maaf Sayang…Maaf. Jangan senyum aja, ngomong donk!!”, ujarnya lagi sambil mengusap – usap kepalaku.
“Sakit Yah…Bun….ga kuat Yah,…..Maaf”, jawabku terbata – bata.
“Ga…Bun kuat Sayang. Ayah tau kalo Bun kuat”, jawabnya.
Tangannya menggenggam tanganku kuat – kuat. Dia menatapku dan aku menatapnya seakan – akan ini yang terakhir kalinya aku melihat dia. Sekilas, aku merasakan Bho hadir disini, diantara aku dan Wonk, rasa sakit itu datang lagi dan aku tak mampu.
Wonk memanggil suster dan beliau pun mengecek kondisiku.Beliau mengatakan kalau akan segera memberitahukan kepada Dokter yang menanganiku.
Wonk entah kenapa, berinisiatif lebih menenangkanku.
“Bun, Ayah tau Bun tuh lebih kuat dari Ayah, Sayang”, ujarnya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil merasakan sakit yang entah..tak bisa diungkapkan dengan kata – kata.
“Ayah gak akan mungkin bisa kehilangan wanita kayak Bun”, ujarnya lagi.
“Bun bisa lewatin semuanya. Ayah ga habis pikir betapa bodohnya laki – laki itu menelantarkan satu – satunya harta yang paling berharga yang dia punya. Sampai akhirnya, harta itu ga akan jadi miliknya, sepeser pun karena Ayah ga kan pernah biarin dia ambil Bun dari Ayah”, ujarnya lagi.
Aku hanya bisa tersenyum dan tak berapa lama semuanya mulai berdatangan. Mereka mulai mempersiapkan segalanya. Aku seperti akan dibawa ke suatu tempat yang membuatku merasakan ketakutan yang besar.
“Ayah…..Bun bener – bener ga kuat. Bun minta maaf ya. Tolong, bilang Bho, bun minta maaf”, ujarku
“Ga….Bun kuat, Ayah yakin, jadi Bun ga perlu minta maaf sama dia. Dia yang harusnya minta maaf sama Bun”, jawab Wonk.
“Tapi…”, jawabku.
Ugghh..rasanya mau mati saat itu juga. Sekujur tubuhku menegang dan kurasakan sakit yang lebih hebat.
‘Bu, maafin Hanna’, bisikku, Cuma itu yang aku mampu.
Detik berlalu, dan aku pun sudah berada di ruang persalinan yang entah seperti ruang penjagalan buatku. Posisiku sudah diatus sedemikian rupa agar mempermudah persalinannya dan sungguh, aku ga perduli gimana posisinya, yang penting aku mau ini segera berakhir.
‘Oh Tuhan……’, bisikku dalam hati.
Kehadiran Wonk di dalam ruang persalinan pun tak membuatku merasa kembali kuat. Seakan ini hanya urusanku dan Tuhan yang tau akan bagaimana akhirnya.
Entah berapa lama itu berlangsung, tangisku tertahan disana dan aku merasakan letih yang sangat luar biasa. Terdengar olehku sayup – sayup suara Wonk dan beberapa perintah yang harus kulakukan, aku melakukannya dengan semua sisa tenagaku.
Aku Mendengar sayup – sayup suara tangisan dan aku ga bisa konsen dengan keadaan di sekelilingku. Aku menunggu cukup lama sampai akhirnya mendengar suara perintah untuk menghabiskan seluruh tenagaku dan aku mendengar tangisan itu kembali.
Ada tangan lembut mengusap pipiku dan aku hanya bisa tersenyum sampai tak terasa air mataku keluar dari ujung – ujung mataku. Tapi ada rasa yang tak bisa kugambarkan saat itu. Pandanganku tak focus dan….aku masih merasakan tangan itu di pipiku dan sepertinya seseorang yang menyentuh pipiku meneriakkan sesuatu, tapi aku tak mampu mendengarnya.
“Maaf…….”
Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan lalu aku merasa semua berubah menjadi…
Gelap……..
aku mendengar apa yang dibicarakan dengan perasaan tak menentu. Ketika kakakku menanyakan tentang apa yang Wonk utarakan kepada keluargaku, membuat otakku berhenti berpikir seketika.
“Han, kok diem siy? Gimana? Tuh Wonk nunggu jawaban”, tanya kakakku.
Aku hanya bisa menundukkan wajahku. Entah malu atau aku benar – benar tak kuasa menatapnya. Sampai beberapa kali kakakku menegurku, baru aku berani menjawab semuanya, sesuai kata hatiku.
“Han....gimana?”, tanya kakak laki – lakiku.
“Hmmm....maaf ya semuanya. Maaf Wonk. Aku tau niat kamu baik banget. Aku juga ga tau kalau kamu bisa punya keinginan sebesar ini untuk jadiin aku...mm...pendamping kamu. Tapi aku..”, jawabku tertahan.
“Kenapa Han?”, tanya Wonk.
“Ga papa....cuma”, jawabku ragu sambil melihat ke sekelilingku.
Tiba – tiba entah ada angin apa, kakak perempuanku mengatakan sesuatu.
“Han, Mba sama Mas – Mas pamit ke ruang makan ya. Kamu sama Wonk ke teras atas aja. Kalian bicarakan ini berdua. Kami cuma bisa berharap semuanya akan berjalan sesuai apa yang kalian kehendaki. Yang terbaik buat kamu Hanna, terbaik juga buat kami. Kami ingin lihat kamu bahagia, gak kayak gini”, ujar kakak perempuanku.
Kemudian kakak laki – lakiku dan semua yang ada disitu beranjak pergi ke tempat tujuannya masing – masing dan meninggalkanku dengan Wonk yang terdiam tanpa suara.
“Han, ayo kita ke teras atas. Bicarakan semuanya, mau kan?”, tanyanya.
“Iyah....”, jawabku.
Aku segera mengajaknya ke teras atas atau lebih tepatnya balkon besar di lantai 2 rumahku. Aku mengajaknya duduk disitu.
“Wonk, tempat ini dah jadi saksi bisu masa kecil, remaja dan dewasaku. Semua terkubur disini. Entah aku bisa mengaisnya lagi atau ga. Tapi setiap aku kembali kesini, kenangan akan Ibu, Ayah dan suasana masa kecilku kembali lagi dan aku merindukan itu Wonk”, ujarku membuka pembicaraan diantara kami berdua.
“Tapi itu masa lalu, Hanna. Sekarang kamu sedang dihadapkan dengan satu masa, dimana masa itu akan jadi masa depan kamu dan aku ga mau kamu lewatin semuanya sendiri”, jawabnya.
“Wonk, sendiri atau ga sendiri, rasanya sama”, jawabku.
“Kamu mengharapkan si Bho itu bertanggung jawab atas semuanya? Kamu bilang kalo kamu dah tau apa jawabannya. Sekarang aku tanya, apa jawaban dia setelah tau kamu hamil?”, tanya Wonk.
Aku hanya bisa terdiam ketika Wonk menanyakan hal itu padaku. Wonk menghampiriku.
“Han, Aku ga pernah sedikit pun punya niat untuk mengambil keuntungan atas apa yang dah terjadi sama kamu. Aku juga ga bahagia diatas penderitaan siapa pun. Toh kenyataannya memang laki – laki itu ga menderita, justru kamu yang menderita mikirin dia sepanjang hari tapi apa dia mikirin kamu Han??”, tanyanya.
“Memang ga...tapi....”, jawabku.
“Kamu tau jawabannya tapi kenapa kamu ga berusaha tunjukkin ke dia kalo kamu bisa maju selangkah tanpa dia, Han?”, jawab Wonk.
“Ada di bagian hatiku yang bilang kalo dia sebenernya masih pengen care sama aku, Wonk. Tapi karena aku hamil, dia buang jauh – jauh semuanya”, jawabku.
“kalo memang dia care, paling ga, dia.......susah. Sekarang gini, kamu mau tunggu sampai kapan si laki – laki itu?”, tanyanya.
“Ga tau.......tapi kamu...”, jawabku.
“Aku??? kamu tanya aku, Han?”, tanyanya.
“Iyah, kamu kenapa bilang kayak gitu sama keluargaku? Apa keluarga kamu mau terima aku?”, tanyaku.
“Han, Apa yang terbaik buatku, keluargaku mendukung. Aku melakukan ini juga atas persetujuan si Mama. Aku sayang kamu dan makhluk – makhluk kecil yang ada di perut kamu, Han. Aku berani lakukan apapun buat mereka. Aku ga mau mereka disakitin siapa pun, sampai mati aku ga mau liat kamu dan mereka menderita. Aku mau liat kamu, mereka, kita bahagia, Han. Bangun keluarga kecil yang bahagia”, jawabnya.
“Kenapa kamu bisa sampai se-gila ini siy? Salahku apa sama kamu?”, tanyaku.
“Kamu ga punya salah apa pun Sayangku...ga ada. Kamu terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini. Aku tuh bener – bener sayang sama kamu, Han. Terlepas dari apapun yang sudah terjadi, aku akan tetep sama Han, sayang sama kamu”, jawabnya meyakinkanku.
Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak menentu.
“Terus mau kamu apa sekarang?”, tanyaku.
“Keinginanku sama seperti hari ini, kemarin, sebulan lalu…aku mau kamu jadi pemdampingku”, jawabnya.
“Tapi, aku…keadaanku tuh kayak gini Wonk”, jawabku.
“Keadaan kamu kayak apa? Sekarang aku Tanya….”, tanyanya.
“Iyah, hamil….kamu ga malu apa?”, tanyaku.
“Malu kenapa?”, tanyanya.
“Ya malu. Apa kata semua keluarga kamu, semua temen – temen kamu nanti tentang aku, Wonk”, jawabku setengah menahan tangis.
“Ga. Aku ga malu. Kalau keluarga, kan sudah kubilang kalau mereka menerima apapun keputusanku. Kalau teman – temanku, aku udah ngomong kok. Semuanya mendukungku karena mereka tau kalau Cuma kamu yang aku mau dan Cuma kamu yang bisa bikin aku seneng Han”, jawabnya.
“Kenapa bisa begitu?”, tanyaku
“Ya, karena Cuma kamu satu – satunya perempuan yang bisa bikin aku ga pengen mencari – cari lagi. Semua yang aku mau ada di kamu. Cuma 1 stocknya Han….aku ga mau ke duluan orang. Aku mau jadi laki – laki beruntung itu, laki – laki beruntung yang bisa dapet wanita seperti kamu”, jawabnya terlihat sungguh – sungguh.
“Tapi..ga bisa sekarang Wonk untuk wujudin apa yang kamu mau. Aku belum mampu, belum mampu lupain semuanya”, jawabku.
“Aku paham, tapi pintu itu terbuka untukku kan??? Aku akan buat kamu lupa semua apa yang dah kamu rasain sekarang”, jawabnya
“Hmmm…..aku ga mau kamu nyesel”, jawabku.
“Ga..sumpah, Aku ga akan nyesel. Ok? Gini deh..mungkin aku juga terlalu membebani kamu dengan kata ‘istri’. Kalo gitu….hmmm…”, ujarnya.
“Kenapa?”, tanyaku sambil menatapnya.
“Hmmm….klo gitu, kamu mau kan jadi pacarku? Kita jalanin semuanya dari awal. Aku tau kita terutama kamu bisa lewatin ini semua. Kamu mau kan?”, tanyanya.
Aku terdiam cukup lama, memikirkan semuanya. Sepertinya dia pun cukup paham dengan keadaanku dan sikap diamku saat itu. Aku takut untuk memulai semuanya tapi apa yang kami bicarakan sebelum ini memang keadaan yang sesungguhnya. Aku pun memutuskan untuk maju selangkah, setidaknya aku tidak meratapi yang sudah terjadi, tapi mencoba untuk bangkit.
“Wonk…..”, aku memanggilnya.
“Ya…..”, jawabnya.
“Hmmm…setelah mempertimbangkan semuanya. Apa yang udah kamu, kita omongin tadi memang bener. Aku ga mau stuck disitu – situ aja. Aku mau maju selangkah demi selangkah Wonk…”, jelasku.
“Iyah..kamu harus semangat Han…terus”, jawabnya seperti menantikan sesuatu.
“Terus…..aku akan coba jalanin semuanya sama kamu, Wonk”, jawabku.
Wonk lama menatapku. Aku melihat kegembiraan di wajahnya tapi aku takut itu Cuma halusinasiku saja. Tiba – tiba Wonk berdiri dan berjongkok setengah jinjit dihadapanku.
“Han, Aku seneng banget kamu bilang kayak gitu. Kamu mempertimbangkan semuanya, kamu mau bangkit bareng – bareng aku. Makasih yaaa….aku pasti akan jadi laki – laki sekaligus calon ayah yang paling bahagia, sumpah !!”, jawabnya sambil meremas jemari tanganku.
“Bokis Loooooo”, jawabku.
“Jiaaaahhh…tadi dah serius – serius sekarang keluar lagi deh aslinya”, jawab Wonk.
Aku hanya bisa tersenyum, senyum paling manis yang kuberikan kepada Wonk hari itu.
Aku dan Wonk turun dan membicarakan tentang keputusan yang sudah kami bicarakan dan setujui berdua.
Setiap hari, kulalui semuanya bersama Wonk. Jujur saja, aku mulai melupakan luka yang sudah dibuat oleh Bho di hatiku. Aku mulai melupakannya. Aku merasa Wonk lah yang ayah dari anak – anakku, walaupun setiap aku memikirkan semuanya, aku tersadar bahwa dia bukan ayah dari anak – anakku tapi aku bahagia kalau seandainya anak – anakku memiliki ayah seperti Wonk.
Wonk selalu memanggilku ‘Bunda’ dan aku pelan tapi pasti mulai memanggilnya ‘Ayah’.
Aku bangga padanya yang mampu menerima keadaanku yang sudah berantakan.
Perutku makin hari makin membesar. Bebanku pun semakin berat. Rasa sakit akibat APS ku terkadang datang menyiksaku tapi Wonk selalu ada untuk menenangkanku. Dia pun mulai merasa kalau tempat tinggalku terlampau jauh. Tanpa sepengetahuanku, ia mencarikanku sebuah kost untuk kutinggali di dekat tempat kerjaku. Aku terpana dengan semua yang ia lakukan untukku sampai akhirnya aku merasa malu karena begitu besar yang sudah ia lakukan namun aku belum merasa yakin bahwa dia serius dengan apa yang dia ucapkan.
Apa yang sudah Bho lakukan membuatku menjadi seorang yang idiot jika harus merelakan Wonk pergi dari hidupku.
Berbulan – bulan berlalu, hari berganti hari. Aku mulai membiarkan Wonk hadir dalam hidupku dan membiarkan ia keluar masuk pintu hatiku. Sampai tiba saat yang menentukan semuanya.
14 September ….
“Bun, dah makan lom?”, Tanya suara itu diujung sana.
“Belum, tau niy. Perutnya mules terus. Kontraksi terus”, jawabku.
“Ya dah, Ayah kesana sebentar lagi. Ini dah siap – siap”, jawabnya.
Ya, itu percakapanku pagi itu dengan Wonk di telpon. Aku kebetulan sudah tinggal di rumahku karena mengingat kondisiku yang sudah mulai masuk bulan ke – 7.
Entah mengapa, di minggu ke 28 kehamilanku, aku merasakan ada sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya, baby – baby mungilku ini mendesak ingin cepat – cepat melihat dunia yang indah ini.
2 jam kemudian, Wonk sampai dirumahku didampingin oleh kakakknya.
“Bun, yuk berangkat ke rumah sakit, diperiksa, Ayah takut kenapa – kenapa si kecilnya”, ajak Wonk.
Aku pun mengikuti apa yang Wonk minta. Kami langsung berangkat ke rumah sakit dan untungnya, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk masuk ruang periksa.
Dokter pun memeriksa semuanya, membandingkan kondisiku sebelumnya berdasarkan Buku Periksa dari Sebuah Rumah Sakit Bersalin di Depok dengan rumah sakit di daerah rumahku. Beliau mengatakan aku mengalami apa yang dinamakan Eclampsia atau Gangguan Pada Plasenta. Ini berasal dari Anti Phospholipid Syndrom yang selama ini ada ditubuhku. Aku beruntung karena aku tidak mengalami keguguran tanpa sebab. Tapi Eclampsia ini saja sudah membuatku dan Wonk ketar ketir.
Setelah dipertimbangkan, aku akhirnya harus stay di rumah sakit tersebut agar dapat diawasi segala sesuatunya.
Tapi makin lama, kontraksinya makin hebat. Klimaksnya adalah keluarnya air ketubanku. It’s mean, ketubannya pecah. Wonk sedang keluar saat itu terjadi. Wonk keluar untuk membelikanku makanan karena memang belum ada makanan yang masuk pagi itu.
Aku pasrah, aku langsung memanggil susternya dengan menekan tombol panggilan di samping tempat tidurku.
Mereka langsung bertindak secepatnya. Tapi aku merasa kehilangan sesuatu…Aku kehilangan Wonk. Saat itu aku sadar kalau hanya dia yang kubutuhkan, aku butuh dia. Aku gak butuh Bho…Aku butuh Wonk. Dengan kondisi yang seperti ini, aku hanya bisa menangis. Aku merasakan tubuhku mulai melemah, aku hanya bisa memanggil – manggil Wonk dalam hatiku. Aku mengharapkan dia mendengarku..
‘Yah..plisss…cepet kesini. Bun ga kuat’……
Kamis, 05 November 2009
Sejak hari itu, aku menjalani semuanya sendiri. Cinta pria dan wanita buatku tak begitu penting lagi. Aku hanya mementingkan si kecil di perutku yang mungkin sedang berkembang tanpa tahu seberapa besar kehidupan yang akan dia terima nanti, tanpa ayah.
Aku sudah memutuskan menutup seluruh hatiku untuk manusia bernama Aji atau Bho.
Sampai dibulan kedua, aku mendapatkan sesuatu yang benar – benar menakjubkan sekaligus menyedihkan. Hari itu, aku datang ke rumah sakit untuk cek semuanya. Sejak kepulanganku dari Samarinda, aku belum tahu lagi bagaimana perkembangannya. Akhirnya kuputuskan mengambil selembar uang pemberian orangtuaku dan menukarkannya.
Siang itu aku datang dengan hati yang galau……dan akhirnya ketakutanku terbukti juga.
“Siang Mba, saya mau periksa kandungan. Ada dokternya ga ya?”, tanyaku.
“Ada Bu. Bisa isi data disini dulu?”, ujar Suster itu.
“Ya, Bisa”, jawabku.
“Dengan Ibu siapa?”, tanyanya.
“Vie”, jawabku singkat.
“Baik Bu Vie, saya siapkan kartu periksanya sambil Ibu isi form ini. Untuk data – data pasien apabila nanti dibutuhkan. Silahkan diisi, ini penanya. Silahkan duduk sampai saya panggil nanti”, jelas si Suster.
“Terima kasih”, jawabku sambil memberikan senyum ke Suster itu.
Dia memberiku selembar form berisikan data – data yang harus aku isi. Aku mencari tempat yang nyaman untuk mengisinya. Aku mengisinya dengan teliti dan tibalah di data yang enggan aku isi.
‘Nama Suami :…’, bisikku dalam hati.
Aku bingung. Aku enggan menuliskan nama Bho disitu. Tiba – tiba HPku berbunyi…
‘No nya ga ada di daftarku. Siapa ya’, tanyaku dlm hati. Aku pun mengangkatnya.
“Halo”, ujarku.
“Halo Na. Ini Hanna kan?”, tanyanya.
“Iyah, ini siapa ya?”, tanyaku.
“Ini Wonk”, jawabnya.
“Ya ampun, kumaha damang Wonk?”, tanyaku.
Wonk itu sahabatku. Aku kenal dia dari Idol street. Memang dari Game Online juga, tapi Wonk beda. Dia maen Game Online hanya untuk pengisi waktu senggang kalau libur kerja. Wonk juga maen RF, tapi ga begitu sering. Game for him is just for fun…ga lebih. Makanya, dia jarang OL, kalo OL pun paling Cuma 1 jam aja.
Hanya Wonk yang tahu kalau namaku bukan Laras. Laras hanya cerminan aja, Cuma bayang – bayang. Cuma Wonk yang tahu namaku Hanna. Karena Wonk jarang OL, jadi teman – temanku tetap memanggilku Ras, ga ada temen OLku yang manggil aku Hanna selain Wonk.
“Baik..Baik…tapi gwe denger kabar ga enak Na”, jawabnya.
“kabar apa?”, tanyaku.
“Hmm….kamu hamil Na?”, tanyanya.
“Hmmm…Ya. Maaf Wonk”, jawabku.
“Cowok lo?”, tanyanya.
“Siapa? Yang hamilin gwe?..hmm…di Samarinda. Udah bukan cowok gwe lagi”, jawabku.
“Haahhh??? Dia, dia ga mau tanggung jawab Na?”, tanyanya.
“Iyah, udah lah Wonk, jangan dibahas lagi. Udah, gwe cukup bias lewatin semuanya”, jawabku.
“Lo gila kali ya??? Dimana lo ??”, tanyanya.
“Di RS ***** di depok. Kenapa?”, tanyaku.
“Tunggu disitu, gwe kesana”, jawabnya.
“Tapi sebentar lagi gwe masuk ke ruang periksa Wonk”, jawabku.
“Sekarang lo lagi apa?”, tanyanya.
“Isi data, Cuma lagi stuck aja. Di kolom ‘Nama Suami’, gwe mau tulis nama Aji tapi…”, jawabku terputus.
“Tulis nama gwe”, jawabnya.
“Hah, nama siapa?”, tanyaku.
“Nama gwe. Masih inget kan nama lengkap gwe?”, tanyanya.
“Masih tapi…”, jawabku terputus.
“Dah tulis aja. Trus tunggu aja disitu sampe gwe datang. Oke?”, jawabnya.
“Kalo gwe dah masuk, trus selesai tapi lo belum datang, harus tunggu juga?”, tanyaku.
“Sebelum lo selesai, gwe pasti dah sampe. Dah, gwe jalan dulu. Inget, tulis nama gwe, Na”, jawabnya.
“Ga papa Wonk?”, tanyaku.
“Tulis. Titik. Gwe berangkat. Tunggu disitu”, jawabnya.
“Ya”, jawabku.
Wonk memutuskan sambungan telponnya dan aku hanya bias terdiam, membisu.
“Ibu Vie, Form nya sudah bisa diambil?”, Tanya Suster itu menghampiriku.
“Sebentar dikit lagi”, jawabku.
Aku segera mengisi data ‘Nama Suami’ dengan nama Wonk.
‘Ridwan N’, tulisku di kolom itu.
Aku segera menandatangani form tersebut dan segera menyerahkan form tersebut ke Suster itu.
“Terima kasih, silahkan duduk lagi ya. Sebentar lagi dipanggil”, jelasnya.
Tak berapa lama, memang aku dipanggil oleh suster itu untuk masuk ke ruang periksa. Aku segera memasuki ruangan bernuansa hijau itu, menyenangkan.
“Siang Bu, Dengan Ibu Vie ya?”, sapa wanita berjilbab di depanku.
“Iyah”, jawabku diiringi senyumanku untuk wanita itu.
“Kok sendiri, suaminya ga anter?”, tanyanya.
Aku hanya tersenyum. Ia menanyakan perihal kehamilanku. Aku menjawabnya seadanya. Kondisiku yang baru saja pulang dari Samarinda, naik pesawat dan sebagainya. Aku juga menjelaskan kalau aku punya Anti – Phospholipid Syndrom. Beliau agak kaget mendengarnya. Tak berapa lama, terdengar ketukan.
“Silahkan masuk”, jawab wanita itu.
Ketika pintunya terbuka, yang kulihat bukannya Suster tapi Wonk.
“Maaf Dokter, saya suaminya”, sambil melirik padaku.
“Ooo…silahkan..silahkan masuk Pak”, jawab wanita itu.
Beliau lalu melihat buku periksaku dan kemudian bicara..
“Pak Ridwan…”, ujarnya.
“Ya….”, jawab Wonk.
“Oke…sekarang istrinya saya pinjem dulu ya, mau USG. Kalau Bapak mau ikut, silahkan. Biar bisa liat si cantik atau si jagoan”, ujarnya.
“Boleh”, jawab Wonk sambil senyum.
Aku hanya melihat perbincangan ini dengan perasaan tak menentu.
‘Suami, siapa suami siapa? Siapa istri siapa?’, tanyaku dalam hati.
Aku langsung disuruh tiduran. Perutku langsung diolesi oleh gel khusus, dan…
‘Wieee…geli’, pekikku ketika alat itu digesek – gesekkan ke perutku.
“Waahh…Pak, Bu, kayaknya isinya ga satu ini”, ujar si dokter.
“Maksudnya?”, Tanya Wonk.
“Ini ada dua, kembar. Dari gambar yang saya liat, sepertinya kembar identik karena berasal satu telur. Tapi baru benar – benar terlihat kalo sudah masuk minggu ke 16 nanti”, jelasnya.
Aku dan Wonk hanya lihat – lihatan. Dia lalu membelai rambutku sambil tersenyum. Aku hanya merasa, aneh.
‘Seandainya Bho yang melakukan itu’, bisikku dalam hati.
Ketika prose situ selesai, aku hanya bisa terdiam. Wonk yang lebih banyak bertanya. Setelah selesai, aku diberikan buku periksa beserta hasil foto USG tadi. Ada rasa senang yang tak terkira, bingung yang berlebihan.
Ketika aku dan Wonk keluar dari ruang periksa, aku langsung membicarakan semuanya.
“Kok lo bisa masuk siy?”, tanyaku.
“Bisa lah, tanya dunk sama Mba nya di depan situ”, jawabnya sambil memberikan senyum padaku
“Bilang apa?”, tanyaku.
“Ya tanya, ‘Mba, Istri saya dah masuk ya?’, gitu”, jawabnya sambil nyengir.
“Jaaahhh….pantesan. Trs tadi kenapa bilang kalo lo suami gwe?”, tanyaku
“Kenapa siy? Biarin aja. Lagian kalo tuh dokter tahu lo belum nikah, ntar nanya – nanya yang aneh – aneh atau mikir yang ga – ga lagi dia. Jangan sampe deh”, jawabnya.
“Tapi….”, jawabku.
“Udah, seneng ga mau punya anak kembar?”, tanyanya.
“Iyah. Tapi….”, jawabku.
“Udah ga usah mikirin dia lagi ya. Pikirin si kecil – kecil ini aja”, jawabnya.
Setelah kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan pemikiran Wonk. Dia bilang padaku suatu saat kalau dia ingin menjadikanku istrinya dan menerima anak – anakku sebagai anakku. Alasannya karena dia sudah terlanjur sayang padaku.
Memang, apa yang sudah dilakukannya membuatku merasa tidak menjalani semuanya sendiri.
Sejak aku mendapat pekerjaan di daerah Grogol, aku selalu naik kereta api ekonomi Depok – Cawang – Depok setiap hari dan dari cawang naik bis ke grogol. Walaupun sedang hamil muda, aku ga perduli. Aku butuh sesuatu untuk kukerjakan dan kumakan.
Tapi ketika Wonk tau hal itu, dia memaksa aku untuk menerima jasa antar jemputnya setiap hari sebelum aku mendapatkan tempat tinggal baru di dekat kantorku. Sampai suatu saat, kakak laki – lakiku menelponku.
“Han…halo”, terdengar suara disana.
“Halo Mas, kenapa?”, tanyaku
“Kamu dimana?”, tanya kakakku.
“Di kantor, kenapa Mas?”, tanyaku.
“Tinggal dimana?”, tanyanya.
“Di Depok”, jawabku seadanya.
“Kerja dimana kamu?”, tanya kakakku.
“Di Grogol, ada apa siy Mas?”, tanyaku.
“Mas mau ngomong. Kita semua mau ngomong. Kamu dimana? Mas kesana”, jawab kakakku.
“Ga usah, Hanna pulang aja ke rumah. Besok”, jawabku.
“Oke, Mas tunggu”, jawabnya.
“Oke, Hanna sampe sana sore kali ya”, jawabku.
“Ya dah, ga papa”, jawab kakakku.
Dari nada suaranya, tak terdengar kemarahan, hanya ada ke khawatiran. Aku segera bilang pada Wonk melalui sms kalau besok siang, sepulang kerja, aku akan ke rumah. Dia membalasnya.
‘Oke…aku anter, jangan nolak. Oke?’
Aku segera membalasnya. Aku ga mau menyusahkan seseorang yang sudah terlampau baik padaku. Menyisakan semua waktunya untukku yang jelas – jelas belum bisa memberikan apa yang dia mau. Bagiku, memutuskan menikah atau menjadi seorang istri dari seseorang pada saat keadaan hamil membuatku merasa bersalah. Mungkin akan sangat merasa bersalah.
Keesokkan harinya, Wonk seperti biasa, menjemputku pagi hari. Kami berangkat kerja sama – sama. Dia selalu mengantarkanku terlebih dahulu. Dia bisa sampai Depok jam 5 pagi hanya untuk menjemputku dan sampai jam 4 di kantorku untuk menjemputku. Tak bisa terbayangkan olehku. Dia tetap ingin aku jadi pendampingnya, tak perduli keadaanku yang dah hancur berkeping – keping.
Sore itu, dia mengantarkanku ke rumah, untuk membicarakan semuanya dengan kakakku ttg apa yang terjadi.
Ternyata setelah dibicarakan, kakak – kakakku ga mau kalau aku tinggal diluar rumah dengan keadaanku yang seperti itu. Pada saat itu pun, Wonk mengutarakan sesuatu yang membuatku mendadak kalut.
“Hmm..maaf semuanya, saya juga mau bicara disini”, ujarnya.
Aku langsung melihatnya. Keheranan.
‘Ada apa lagi niy?’, tanyaku dalam hati.
“Ada apa Wan?”, tanya kakak perempuanku.
“Sebenernya saya kesini bukan Cuma mau nganterin Hanna aja tapi ada yg lainnya juga”, jelasnya
“Ada apa?”, tanyaku.
“Begini, saya mengutarakan kalau saya…ingin Hanna jadi istri saya”, jelasnya.
Aku langsung merubah posisi dudukku dan terdiam seribu bahasa.
“Bener Wan? Kenapa kamu punya keinginan seperti itu?”, tanya kakakku.
“Saya sudah lama sayang sama Hanna. Dia terlalu baik untuk disakitin kayak gini. Dia wanita yang benar – benar saya kagumi. Terlepas dari apa yang sudah terjadi, sudah jadi resiko saya. Saya sayang dia berarti saya juga harus sayang sama anak – anaknya. Pada kenyataannya, saya ga sayang sama mereka, tapi saya sudah terlanjur cinta sama mereka dan bundanya”, jelasnya panjang lebar.
“Oke..saya sama keluarga siy ga masalah. Cuma kembali lagi ke Hanna. Gimana Han?”, Tanya kakakku.
Aku Cuma bisa terdiam….terdiam….
‘Ada apa lagi sssiyyy???’, jeritku dalam hati…gundah
Minggu, 01 November 2009
Aku pulang dengan langkah gontai. Kupasang Ear Piece MP3 Playerku dan tampaknya itu tak membantuku.
Begitu indahnya untuk dikenang
Saat kamu masih mengejar cintaku
Begitu manisnya tangismu untuk
Memohon hadirku kedalam hidupmu
Katamu kau tak akan tinggalkan aku
Sakiti aku lukai aku
Tapi kau ternyata tinggalkan aku
Sendiri
Katamu kau tak akan pernah duakan
Hatimu cintamu
Kemana perginya kamu yang dulu
Yang maunya selalu dekat dengan aku
Kemana perginya cinta yang dulu
Yang pernah kau tikam ke dalam jantungku
( Mulan Jameela – Lagu Sedih )
Lagu itu membuatku mataku mengeluarkan airmata untuk kesekian kalinya. Posisiku yang saat itu sedang di halte pun tak kuhiraukan.
Sesampainya aku di kontrakan, aku langsung membuka selimut kuning bermotif bunga – bunga ungu yang dulu dipinjamkan Bho padaku. Kuhamparkan di lantai sebagai alas tidurku dan menumpuk – numpuk lipatan baju ku untuk kujadikan bantal. Aku tak ingin bermimpi hari ini. Ga mau…
29 April….
Sayup – sayup ku dengar HPku berbunyi….
Lagu Chocobo terdengar pelan namun pasti. Aku melihat jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Aku terduduk, terpaku, terdiam masih berusaha menyadarkan diri.
‘Jam 12 siang, siapa yang telpon siang – siang begini?’, tanyaku dalam hati.
Aku segera beranjak dari atas selimutku, pelan – pelan berjalan kearah ruang depan rumah kontrakanku yang kosong melompong. Aku terduduk di lantai, berusaha menenangkan diri dan begitu kuraih HPku, mendadak deringnya berhenti.
‘Hufff…Cuma miskol kali ya?’, tanyaku dalam hati tanpa memperdulikan siapa yg telpon.
Ketika ingin beranjak kembali ke atas selimut itu, HPku berbunyi lagi.
‘Siapa siy?', tanyaku dalan hati kesekian kali.
Kuraih HPku, kubuka flip nya dan tertera nama seseorang yang saat itu benar – benar tak ingin kutemui atau bicara sekalipun.
‘BHO’….hati kecilku melonjak kaget.
Aku masih mempertimbangkan, akan menjawab telpon itu atau tidak, tapi akhirnya aku mengangkatnya juga.
“Halloo”, sapa suara diujung sana.
“Ya, Sa. Ada apa?”, jawabku ditengah kantukku..
“Aku mau ngomongin masalah itu, yang kamu omongin di sms sama YM”, jawabnya.
“Ya kenapa? Dah jelas kan. Ngapain ditanya lagi?”, tanyaku.
“Eh, Itu anak gwe kan?”, tanyanya dengan suara yg agak tinggi.
“Iyah. Kenapa?”, tanyaku.
“Gwe belum siap. Mending lo gugurin aja deh”, suruhnya
“Sorry Sa, gwe ga bisa”, jawabku.
“Kenapa?”, tanyanya.
“Gwe dah terlalu sayang Sa”, jawabku.
“Tapi kalo Cuma sayang gimana hidupnya nanti?”, tanyanya.
“Setiap anak punya rezeki sendiri – sendiri. Dah lah Sa, gwe bisa jalanin ini sendiri”, jawabku
“Tapi Gwe belum siap”, jawabnya.
“Kalo lo mang belum siap, gak papa. Gwe udah kok Sa”, jawabku.
“Tapi gwe ayahnya. Itu anak gwe kan?”, tanyanya.
“Ya, lo ayahnya dan ini anak lo”, jawabku ditengah tangisku yang hampir meledak.
“Gwe belum siap. Ngerti ga siy. Lo mending gugurin aja”, suruhnya.
“Sa, gwe dah berusaha ya. Gwe tetep belajar naik motor, gwe tetep jalan kesana kesini, naik pesawat, ngelakuin hal – hal yang ga boleh dilakuin ma orang hamil. Dia tetep ga gugur juga Sa. Lo mau gwe minum obat – obatan biar dia keluar?”, tanyaku.
“Kalau perlu”, jawab Bho.
“Oke…Gwe minum. Tapi kalo dia tetep ga gugur dan dia lahir abnormal, cacad, jangan salahin gwe”, jawabku sambil menahan tangisku.
“Jangan. Jangan lahir cacad. Anak gwe ga boleh cacad. Jangan sampe”, jawabnya.
“Lo tuh gimana sih? Tadi nyuruh gugurin. Sekarang kalo ternyata ga gugur, tapi lahir abnormal, ga mau. Mau lo Apa????”, tanyaku.
“Gwe maunya dia keluar dari rahim lo. Kalaupun dia lahir, gwe ga mau dia cacad. Kalo dia sampe lahir, gwe mau test DNA. Gwe bukan cowok yang kayak gitu”, jawabnya.
“Cowok yang kayak gimana?”, tanyaku sinis.
“Cowok yang lepas tanggung jawab. Gwe bukan cwok yang kayak gitu, gwe Cuma belum siap”, jawabnya.
“Kalo emang setelah test DNA, dia anak lo. Lo mau tanggung jawab gimana? Ngasih makan dia? Nikahin gwe? Hah…?? Sorry Sa, ga perlu”, jawabku dengan nada yang tinggi
Aku langsung menutup flip HPku. Emosiku mempengaruhi ku. Tak berapa lama, HPku berbunyi lagi. Aku mengangkatnya. Bho.
“Apa lagi siy Sa?”, tanyaku.
“Jadi gimana?”, tanyanya.
“Gimana apanya? Kan dah jelas. Aku ga mau kamu tanggung jawab atas apapun, My Lord. Kamu tuh Dewa, aku manusia biasa yang punya banyak dosa. Aku ga mau nambahin dosa lagi dengan menggugurkan apa yang sudah menjadi resiko ku. Kalau kamu ga mau tanggung jawab, gak papa. Aku lewatin sendiri. Ini tanggung jawabku”, jawabku meluap – luap.
“Tapi dia anak gwe. Gwe bukan laki – laki yang lepas tanggung jawab. Saat ini gwe belum siap. Jadi lebih baik digugurin aja”, jawabku.
“Ga, Sa. Makasih. Kamu tau, resiko aku melahirkan kan??”, tanyaku.
“Ya, kita pernah omongin dulu. Gwe takut. Gwe…”, jawabnya
Belum sempat dia meneruskan semuanya, aku langsung memotong ucapannya.
“Gwe ambil semua resiko termasuk kehilangan nyawa gwe Sa !!!! PAHAM??”, jawabku.
“Jangan….Jangan…Gwe ga mau. Gwe ga bisa….duuhh..gwe ga sanggup..Pliss apa susahnya gugurin siy?”, tanyanya.
“Sorry, susah buat gwe yang masih punya HATI, My Lord. Gwe pertaruhkan nyawa gwe buat dia”, jawabku.
“Jangan..Pliss..Gwe mau dimutasiin niy ke Sangata. Jangan bikin gwe kepikiran”, jawbanya.
“Kenapa lo harus kepikiran?”, tanyaku.
“Asal lo tau ya? Lo tuh ganggu gwe banget. Kenapa siy lo harus ada kabarnya? Kenapa siy kabar lo selalu bisa gwe tau? Kenapa siy? Diotak gwe tuh jadi Cuma ada lo…lo…lo…dan lo. Sampe semuanya tuh berubah. Bikin gwe ga bisa konsen maen, bikin semua temen – temen gwe Tanya kenapa gwe. Gwe tuh ga abis pikir, Kenapa siy lo nge ganggu banget?”, tanyanya.
“Sorry, kalo gwe ganggu lo. Yang bikin gwe selalu ada dipikiran lo bukan gwe, tapi ya diri lo sendiri. Otak Otak lo, kok jadi Tanya masalah itu ke gwe?”, tanyaku kembali.
“Udah, pokoknya gwe mau lo GUGURIN dia. Kalau pun dia lahir, gwe mau test DNA. Titik”, jawabnya.
“Oke. Termasuk kalo dia abnormal ya Sa”, jawabku ketus.
“Ga, ga boleh cacad. Terserah lo mau gugurinnya gimana. Yang jelas, kalau harus lahir, ga boleh cacad!”, jawabnya.
“As YOU WISH MY LORD !!”, jawabku meluap – luap.
“Ya dah, sekarang gwe mau tidur”, jawabnya.
“Oke…”, jawabku.
“Ya dah, jangan ganggu gwe…biar gwe yang cari lo”, ujarnya.
“As YOU WISH MY LORD”, jawabku dengan suara yang datar, berusaha tegar.
‘I wish u never found me, Sasa’, pintaku dalam hati.
“Ya dah….”, jawabnya sambil kemudian menutup Hpnya.
Aku menangis sejadi – jadinya…..
Kata – katanya seolah sedang membunuhku secara perlahan tapi pasti. Membunuhku perlahan dengan semua kenangan itu dan……
Aku mati perlahan – lahan…..
Sabtu, 31 Oktober 2009
Love of my life - you've hurt me
You've broken my heart and now you leave me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me
Love of my life - don't leave me
You've stolen my love and now desert me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me
You will remember -
When this is blown over
And everything's all by the way -
When I grow older
I will be there at your side to remind you
How I still love you - I still love you
Ooooo
Hurry back - hurry back
Dont take it away from me
Because you don't know
What it means to me
Love of my life
Love of my life ...
( Queen – Love Of My Life )
Lagu ini mengantarkanku keluar untuk kedua kalinya dari rumah yang selama ini menaungiku. Melihatnya dari luar untuk kesekian kalinya sudah membuatku hancur berantakan.
Reaksi kakak – kakakku ketika aku turun untuk pergi kesekian kalinya beragam. Ada yang memandang marah padaku, Ada yang menangis dan pergi meninggalkanku, ada yang diam aja.
Itu memang yang kuharapkan, tidak ada caci maki dan amarah – amarah yang tidak sepantasnya. Mereka sadar bahwa itu semua resiko yang memang harus aku tanggung sendiri. Aku ingat kata – kata kakakku yang terakhir kudengar sebelum aku keluar rumah untuk kedua kalinya.
“Han, kenapa kamu harus pergi lagi dengan keadaan seperti itu?”…
Aku tidak menjawabnya dan langsung pergi keluar rumah. Untuk sementara, aku kembali ke Depok, ada tempat kosong untukku tinggal disana.
Tempat itu adalah sebuah kontrakan dengan 3 sekat didalamnya. Lantainya terbuat dari semen saja, atapnya genting tanpa langit – langit. Tidak ada tempat tidur, lemari ataupun meja, wajar jika aku menyewanya Rp. 250.000 / bulan. Belum lagi kalau hujan datang, kontrakanku biasa terendam air setinggi paha. Dengan beralaskan selimut yang kupinjam dari Bho lah setiap malam aku tidur. Makan pun dah ga nafsu lagi karena aku gak tau apa yang harus kulakukan berikutnya.
Uang dollar pemberian orangtuaku, kusimpan, hanya kusimpan. Aku pun rasanya tak mampu mencairkannya di money changer. Ini dana yang harus kusimpan untuk anakku nanti.
Terkadang, kalau rasa bosan menderaku, aku mulai mencari game centre dan bermain RF, bertukar cerita dengan teman – teman walaupun setiap mereka menanyakan kabarku, aku selalu membohongi mereka dengan alasan tidak mau merepotkan mereka lagi. Padahal, kondisiku saat itu mungkin sedang benar – benar drop.
Untuk makan, terkadang tak ada makanan apapun yang masuk ke tubuhku. Pertama karena “Morning Sickness” ku yang semakin menjadi – jadi. Kedua, mungkin karena aku tidur hanya beralaskan selimut itu, kondisi badanku jadi berantakan. Aku sulit membedakan antara “Morning Sickness” dan “Masuk Angin”, karena aku hampir merasakan mual yang hebat sepanjang hari. Tapi karena aku tak bisa sendiri, aku selalu menyempatkan diri OL RF demi teman – temanku sampai suatu saat…ketika aku sedang berada di markas karena janjian mau beli elemental dengan temanku, tiba – tiba datang menghampiri char RFku sesosok Accretia yang tak kukenal..
“Hai Cewek”, sapanya.
‘Kok dia tau ya kalo aku cewe??’, hati kecilku bertanya.
“Ya, kok lo tau gwe cewek?”, tanyaku spontan.
“Tau dong”, jawabnya.
“Tau dari mana?”, tanyaku pada char bernama ‘godtohell’ itu.
“Tau, karena gwe kenal banget lo, Beb”, jawabnya yang membuatku kaget setengah mati.
“Bho?? Sasa??”, tanyaku kaget.
“Ya..Pa kabar??”, tanyanya.
“Baik…..lo gimana kabarnya?”, tanyaku.
“Baik….”, jawabnya.
“Bikin char baru ya Sa?”, tanyaku.
“Ya….lo tumben OL?”, tanyanya.
“Iyah, lagi kangen aja. Lagian belum tau kapan bisa OL lagi”, jawabku.
“Kenapa? Mau kemana?”, tanyanya.
“Ke Aceh kali…”, jawabku sekenanya, karena aku dah ga sanggup lagi berbincang – bincang dengannya.
“NGAPAIN ???!!!!!”, tanyanya yang kelihatan hmm..entah bingung…entah heran…
“Ada deh…kenapa mangnya?”, tanyaku.
“Kamu dimana siy? Kamu ga balik ke Samarinda ya?”, tanyanya.
“Aku di atas bumi di bawah langit. Ke Samarinda lagi kok tapi entah kapan”, jawabku.
“Bener???”, tanyanya.
“Mang kenapa Sa?”, tanyaku.
“Kan dulu kamu janji bakal balik ke Samarinda lagi. Kamu boong ya?”, tanyanya.
“Boong apa?”, tanyaku kembali…
“Kamu boong kan? Kamu pasti ga akan balik ke Samarinda. Ya kan?”, tanyanya
“Apa untungnya aku balik ke Samarinda Sa?”, tanyaku
“Ada…Banyak. Tolong jangan panggil aku ‘Sasa’..”, jawabnya.
“Sorry….tapi gwe ga tau kapan kesana Ji”, jawabku.
‘entah lah Saaaa……Entah aku bisa kesana lagi apa ga. Kenanganmu, semua tentangmu membuatku semakin lemah dan lemah, Sa’, jeritku dalam hati
“Hoy..kok diem? Bener ya kamu boong kalo bakal balik ke Samarinda lagi?”, tanyanya lagi
“Bukan gitu, gwe lagi sibuk chat ma anak – anak guild”, alibiku
“Ooo…..Kamu Kok beda siy Beb?”, tanyanya.
Aku langsung keluar dari RF dan masuk lagi dengan charku yang lain, yang ga diketahui Bho. Yang tau char itu hanya gerombolan siberatku a.k.a guildku. Kala itu Bho bukan lagi anggota S.C.O.R.P.I.ON. Nama VieANKaCHu dah terlalu lama terjun di dunia per-Rfan. Begitu namaku muncul di layar chat, sudah ada yang whisp aku.
“Ras, kemana tadi?”, tanyanya dan itu ternyata Kazuya009
“Relogin, mau mainin char ini. Kenapa?”, tanyaku.
“Tadi dicariin Om KoalaDewa tuh”, jawabnya.
“Siap, nanti gwe whisp dya”, jawabku.
Aku segera membuka daftar buddyku dan meng klik kanan nama KoalaDewa dan memilih untuk ‘chat 1:1’
“Mas Yud, cari aku tadi?”, tanyaku
“Kenapa ganti char?”, tanyanya.
“Oia, mau tanya. Bho bikin char baru ya namanya ‘godtohell’??”, tanyaku.
“Ya..kenapa?”, jawab Yudha.
Aku menceritakan apapun yang tadi terjadi padaku. Pada akhirnya, aku me-non aktifkan char VieANKaCHu ku dan menggunakan char kecilku. Rasanya aku ga sanggup untuk liat Bho lagi dalam hidupku tapi entahlah. Aku juga tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bho.
Akhirnya aku menghentikan chatku dengan Yudha. Aku lebih sering chat dengan Kazuya009 atau astra46. Aku ga mau terlalu dekat dengan Yudha.
Hari – hariku kulalui dengan kegiatan yang sama. Terkadang, anak2 guild menelponku, menanyakan keadaanku. Dan akhirnya, aku harus berbohong agar mereka tidak tau tentang apa yang sedang kujalani.
28 April….
Hari itu, Hari ulang tahun ku yang entah sudah keberapa aku tak tahu. Yang kupikirkan hanya, aku ingin merasakan kebahagiaan saat itu. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari dengan begadang sampai pagi.
Aku pergi ke net yang jauh dari kontrakanku.
Menghabiskan uang dan waktu seharian disana tanpa mencari pekerjaan membuatku berpikir, untuk memulainya sekarang.
Aku menemukan sebuah kantor yang membutuhkan pegawai. Dengan pengalaman yang aku punya, aku yakin 80% mereka akan mempertimbangkan aku. Mungkin yang akan jadi masalah adalah apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak perduli, tidak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali.
Aku segera mengirimkan CV dan semua Referensi yang kupunya ke alamat email yang tertera disana. Attach semuanya dan..
‘Done!!’, jeritku dalam hati.
Tinggal waktuku berdoa, Aku ga mau manggantungkan hidupku dengan semua pemberian orangtuaku. Biar itu jadi hak anakku.
Aku bermain RF seharian hari itu. Sampai tiba – tiba aku bertemu dengan teman lamaku di RF, si BandarGanZa.
“Raaaaaaaaaaaassssssssssss!!!!!!!!!”, serunya di chat all.
“iyah, Rick”, jawabku.
“Kemana aja? Lagi dimana?”, tanyanya.
“Kan kemaren di Samarinda. Sekarang di Jakarta”, jawabku.
“Weq. Kenapa? Ada apa? Masih sama Bho kan?”, tanyanya.
Aku pun menceritakan semuanya dan Erick a.k.a Bandarganza pun marah bukan main. Dia memaki – maki Bho ga jelas di chat RF.
“Ras, lo harus bilang sama dia”, ujarnya.
“Ga bisa…gwe ga sanggup”, jawabku.
“Ga sanggup apa? Lo kudu bilang…kudu bilang sama dia”, suruhnya.
“Gwe dah tau jawabannya Rick, dan gwe kayaknya ga sanggup denger kata – kata itu eluar dari mulut dya lagi”, jawabku.
“Lo ga usah telpon dia. Sms aja atau tinggalin pesen di YM kek. Pokoknya harus bilang Ras”, suruh Erick.
Akhirnya, setelah perdebatan panjang dengan Erick, aku mulai memberanikan diri mengirimkan sms pada Bho tentang keadaanku, tapi tak ada balasan. Akhirnya sebelum aku mengakhiri hariku, aku mengirimkan sebuah offline messege via YM ke YMnya Bho, yang berisi :
Sa, maaf kalo aku harus ngomong ini sama kamu. Ya, aku hamil Sa. Tapi kamu ga usah takut, aku dah tau jawaban kamu seperti apa. Jadi, aku dah mengambil keputusan ini dari awal. Aku tetap mempertahankan semuanya tanpa ada kamu. Kamu ga perlu bertanggung jawab atas ini, aku pasti akan baik – baik aja walaupun kamu tahu resikonya besar. Kirim doa aja ya Sa. Aku juga ga akan pernah benci sama kamu dan aku juga ga akan pernah buat si kecil benci sama kamu. Seburuk – buruknya kamu tetap ayahnya dan aku ga mau dia jadi ga hormat sama kamu kalau suatu saat kalian ketemu secara ga sengaja. Kejar kebahagiaanmu Sa.
Aku mengirimkan 2 offline msg padanya…karena ga cukup kalo 1 offline msg.
Aku mengakhiri petualanganku hari itu dengan perasaan tak menentu. Aku pulang ke kontrakan dengan perasaan yang….haaahh…sedih, karena aku akan benar benar kehilangan Bho.
Entahlah…mungkin memang perasaan ini yang harus kurasakan di hari Ulang Tahunku.
Dulu Aku mengharapkan bisa menghabiskan hari ulang tahunku dengan Bho…tapi sudahlah….
Tinggal saat ini aku menunggu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya……entahlahh….
Aku..pasrah…..
Rabu, 21 Oktober 2009
'Han....Han..'...
Sebuah tangan membelai – belai rambutku. Aku terbangun dan kulihat kakak perempuanku di hadapanku. Wajahnya mengingatkan aku pada wajah ibuku. Wajah yang teduh, keras tapi lembut sebenarnya.
“Ngapain tidur disini? Dari kapan tidur disini?”, tanya kakakku.
“Ga...Ga papa”, jawabku dengan setengah mengantuk.
“Dah, cuci muka sana. Ada Nasi Goreng tuh di meja makan, makan!”, ujar kakakku.
Aku segera terduduk dan merapikan pakaianku. Tak sadar, aku masih pakai baju yang sama ketika aku datang. Aku segera menghampiri meja makan itu, meja yang hampir beberapa tahun tak pernah kulihat.
“Masih suka 'Toto Dahar' ya mba?”, tanyaku.
“Masih”, jawab Kakakku.
Toto Dahar ( Menyiapkan Makanan ) di meja makan memang sudah jadi tradisi. Setiap pagi, siang jam 12 dan sore jam 5. Dulu selalu bagianku yang Toto Dahar, karena memang aku yang masak semua makanan ditemani pembantuku, Mba Iyem.
Aku membuka tudung saji itu, tudung saji yang sudah berada dirumahku sejak aku kecil mungkin. Terbuat dari rotan yang kuat dan tampak kokoh, banyak kenanganku dengan benda yang satu ini.
Aku melihat makanan yang tersedia disitu..
“Han, mang nasi gorengnya ga seenak buatan Hanna dulu. Mba ga bisa bikin yang kayak gitu”, ujar kakakku.
“Mang yang kayak gimana? Sama aja kok”, jawabku.
“Beda. Coba sekarang kamu bikin sendiri di dapur, pasti beda”, suruh kakakku.
“Masa”, jawabku.
Aku diajak kakakku ke dapur dan aku meracik beberapa bumbu untuk buat nasi goreng yang katanya kakakku cuma bisa aku yg buat. Setelah selesai, beserta pelengkapnya yaitu telor dadar gulung yang dipotong – potong, kakakku maksa nyobain.
“Hmmm..beda kan....”, ujar kakakku.
“Sama Mba....”, jawabku.
“Beda Hanna, buatan Hanna buat Mba aja. Hanna makan yg di meja makan ya!”, suruh Kakakku.
“Waduh....ya deh, ga papa”, jawabku sambil senyum – senyum.
Aku melihat kakakku yang lahap menyantap nasi goreng buatanku dengan perasaan terharu, sedikit. Udah lama ga liat wajahnya, mukanya agak sedikit tirus, kurus.
“Han, tau ga?”, ujar kakakku.
“Apaan Mba”, jawabku.
“Mba kangen sama kamu, masakan kamu kayak masakan Ibu. Mba ga bisa bikin yang kayak gini”, jawab kakakku.
“Biasa aja Mba, semuanya sama kok”, jawabku.
“Beda. Kamu jangan kemana – mana lagi ya Han. Pliss”, jawab kakakku.
Aku tersedak. Mendengarnya memohon padaku seakan – akan aku benar – benar diharapkan dirumahku tapi kalau mereka tau keadaanku, apa mereka akan menerimaku?
“Hmmm..Mba, Hanna nanti mau ngomong sesuatu. Mas – Mas kapan dtg kesini?”, tanyaku.
“Mau ngomong apa?”, tanya kakakku.
“Sesuatu yang perlu diselesaikan dan aku butuh solusi”, jawabku.
“Penting banget Han?”, tanya Kakakku.
“Buat Hanna penting tapi entah buat kalian”, jawabku.
“Bentar lagi kok dateng, ada apa siy Han?”, tanya kakakku.
“Pokoknya, kalo nanti Mba dah tau, Mba mungkin mikir 2 kali buat nyuruh aku tinggal lagi dirumah”, jawabku.
“Kenapa?? Kamu terlibat utang? Dicari orang?”, tanya kakakku.
“Ga, bukan itu. Ini menyangkut nyawa sebenernya”, jawabku.
“Kamu bunuh orang???!!!”, tanya kakakku panik.
“Enggak...ampun. Ntar juga Mba tau deh”, jawabku sambil bangun membawa piring ke dapur.
Kakakku kubuat bingung setengah mati. Aku pun mulai mempersiapkan diri menghadapi kakak – kakakku. Aku mandi untuk menyegarkan diriku. Aku kembali ke kamar dan tiba saatku membuka Bunker Rahasiaku.
Aku membukanya perlahan agar suaranya tak terdengar. Perasaanku campur aduk ketika aku melihat tumpukan benda itu di depanku.
Sebuah amplop coklat dan sebuah kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” masih berada ditempatnya. Surat – surat rumah dan dokumen – dokumen penting juga masih tersimpan rapi disana.
Aku membuka kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” terlebih dahulu. Perlahan aku membukanya dan aku terpaku setelah melihat apa isinya.
Kotak perhiasan ibuku.
Aku membukanya dan munculah seorang balerina yang menari diiringi suara musik yang sudah lama tak kudengar, dulu kupikir ini lagu apa. Tapi kini kutau, kotak perhiasan itu memainkan lagu 'Unchained Melody'...terdengar terbata – bata tapi aku masih mampu menyanyikannya..
Lonely rivers flow to the sea, to the sea
To the waiting arms of the sea
Lonely rivers cry, wait for me, wait for me
To the open arms, wait for me
Oh, my love, my darling
I've hungered for your touch, a long lonely time
And time goes by, so slowly and time can do so much
Are you, still mine?
I need your love, I need your love
God speed your love to me
Tak terasa, airmataku mengalir, mendengar, menyanyikan lagu itu sambil melihat si balerina berputar diatas tempatnya.
Aku meraih sesuatu didalamnya. Sebuah kantong kertas kopi mungil dan aku membuka isinya..
'Anting – antingku waktu SD', ujarku dalam hati kegirangan.
Aku mengembalikan isinya ke dalam kantong itu. Membuka bungkusan yang lainnya...
'Gelang giok hadiah ulang tahun ke 6 dari ayah', ujarku dalam hati tak kalah girangnya.
Aku mengembalikannya....membuka semuanya. Isinya ada batu – batu ruby, intan yang ibu beli di Martapura dulu, 1 set batu kecubung punyaku, semuanya. Termasuk cincin – cincin Ibuku yang waktu kecil pernah aku komplain karena Ibuku kok kayak 'Toko Mas Berjalan', sejak itu, ibu tak pernah memakainya lagi.
Aku tak mengerti tentang semua ini.
Aku kemudian membuka amplop coklat itu. Berdebu. Kusobek ujungnya sedikit dan kubuka perlahan ujungnya. Aku mendapatkan beberapa helai kertas dengan tulisan khas ibuku. Tulisan sambung miring besar – besar khas Ibuku. Belum aku membacanya, melihat tulisannya sudah membuatku merindukannya. Aku membacanya perlahan.
Hanna,
Mungkin berat buat ibu untuk tulis ini buat Hanna karena ibu tau kalau Hanna sayang sama ibu. Ibu juga sayang Hanna. Satu yang Ibu minta dari Hanna, Jangan pernah sekali – kali tinggalin kakak – kakak Hanna. Mereka tidak akan pernah bisa bertahan tanpa Hanna. Hanna sudah seharusnya jadi penengah, sayang. Ibu tahu Hanna bisa.
Untuk masalah cinta, Ibu kira, Hanna pasti bisa belajar dari pengalaman.
Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur, ketika kita menangis, ketika kita membayangkan, ketika kita berciuman?
Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT.
Jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamu benar - benar mencintai MELAINKAN… BERJUANGLAH demi cintamu.
Itulah CINTA SEJATI
Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan DARIPADA berjalan bersama orang ‘yang tersedia’.
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai DARIPADA orang yang berada di sekelilingmu.
Lebih baik menunggu orang yang tepat karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang dengan hanya dengan ’seseorang’.
Kadang kala, orang yang kamu cintai adalah orang yang PALING menyakiti hatimu dan kadang kala, teman yang membawamu ke dalam pelukannya dan menangis bersamamu adalah cinta yang tidak kamu sadari.
Kenapa ibu tulis ini semua, karena ibu sadar kalau ibu tidak akan pernah bisa berbagi semuanya dengan Hanna, Hanna harus belajar sendiri.
Jika saja kehadiran cinta sekedar untuk mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir. Tapi itu tidak boleh Hanna ikuti ya. Percaya semua pasti ada jalannya. Ibu tau anak Ibu pasti bisa.
Hanna, Ibu minta maaf karena ibu ga bisa dampingi Hanna seperti janji Ibu dulu. Allah siapkan jalan lain buat Ibu dan itu pasti yang terbaik, sayang. Ibu tau Hanna mampu lewati segalanya. Cobaan itu adalah bukti kalau kita masih diperhatikan dan diberi kesempatan untuk belajar, sayang. Jangan takut ya, Anak Ibu pasti bisa.
Jangan lupa doain Ibu sama Ayah, Sayang. Simpan kotak perhiasan itu untuk kado pernikahan dari Ayah sama Ibu. Ambil amplop putih di dasar kotaknya. Cuma itu yang Ayah sama Ibu bisa sisihkan untuk Hanna sebagai permintaan maaf Ibu sama Ayah.
Peluk Cium sayang buat Hanna dari Ibu..
Aku....aku hanya bisa menangis sejadinya. Aku membaca suratnya, dengan tulisan tangannya, membuatku merasakan kehadirannya dihatiku, disampingku saat itu sambil memelukku.
Aku rindu pelukannya yang dapat menenangkanku kalau APS ku kambuh, Tangannya yang cekatan ketika darah sudah membasahin bajuku. Rasanya aku hanya bisa merepotkan beliau dulu. Aku belum sempat membalas apa yang sudah mereka perjuangkan untukku, tapi mengapa mereka sudah memberikan sesuatu lagi untukku.
Aku segera mencari dimana amplop putih yang ibuku maksud. Sesudah mengeluarkan semua isi kotak perhiasan ibuku, terlihatlah amplop itu. Kuambil, kubuka perlahan...
Aku terperangah dan tangisku meledak....apa yang mereka pikirkan waktu itu.
Aku menemukan berlembar – lembar uang dollar pecahan $100 di dalam amplop itu, entah berapa lama dan dari mana mereka mendapatkannya, yang jelas, aku shock.
Perutku mendadak kencang, entah kenapa. Terasa sakit yang luar biasa. Aku memegangi perutku sambil menyandarkan punggungku ke dinding.
'duuhhhh', hatiku mengaduh.
Aku berusaha berjalan berjalan perlahan ke kasurku. Merebahkan diriku diatasnya dan berusaha tenang. Yang aku pikirkan hanya, aku ingin sesuatu yang ada dalam perutku aman. Aku tak sanggup jika harus kehilangan dia setelah kehilangan ayahnya.
Setelah lama ku berpikir dan menimbang, aku memutuskan akan mengatakan segalanya kepada keluargaku, agar mereka tau kalau aku sedang hamil dan bukan ingin meminta perlindungan, hanya meminta nasihat. Walaupun mungkin, belum tentu nasihat itu akan aku terapkan.
Aku berusaha meredakan rasa tegang di perutku.
Aku keluar kamar dan berharap semuanya sudah datang. Ternyata feelingku benar, Kakak – kakakku sudah mulai berdatangan dengan berbagai macam tujuan. Ada yang memang mau praktek, ada juga yang Cuma mau transit aja di rumah. Mayoritas kakak – kakakku dan kakak iparku berprofesi sebagai dokter. Kebetulan ayahku seorang dokter dan mereka sekarang yang meneruskan.
“Han, dah makan?”, tanya Kakakku.
“Hmmm..udah tadi pagi, Hmm..Hanna mau bicara sebentar, boleh?”, tanyaku.
“Ada apa?”, tanya kakak – kakakku hampir bersamaan.
“Ini masalah Hanna sebenarnya. Hanna Cuma ingin Mas – Mas sama Mba tau. Tapi Hanna ga mau minta belas kasihan atau ada yang marah – marah disini, karena Hanna dah terima semuanya dengan ikhlas se-ikhlas – ikhlas nya”, jelasku.
“Ada apa siy Han????”, tanya Kakakku yang kedua.
Aku mulai menceritakan semuanya. Awal pertemuanku dengan Bho sampai aku bisa berangkat ke Samarinda. Aku tak melewatkan sedikit pun cerita itu, tidak melebih – lebihkan dan tidak menguranginya. Semuanya jelas. Tanggapan mereka beragam, ada yang biasa aja ada juga yang antusias mendengarnya.
Ketika aku mulai menjelaskan ada apa denganku dan inti dari pertemuan itu, mereka mulai curiga kalau ada yang tidak beres denganku.
“Han, To The Point aja deh, ada apa?”, tanya kakakku yang ketiga.
“Ok, setelah Hanna kasih tau sebenernya ada apa, Hanna mohon, Hanna minta maaf. Hanna langsung pergi dari sini”, jelasku.
“Eh, kenapa??”, tanya kakak perempuanku panik.
“Hmmm….maaf semuanya. Hanna….Hamil!”, jawabku.
Serentak, semuanya terdiam….
“Ini, dulu Ibu titipkan ini ke Hanna. Trus ini ada kotak perhiasan ibu juga yang ibu titip ke Hanna”, jelasku.
Aku tak mendapat tanggapan apapun dari kakak – kakakku, mereka hanya duduk terdiam, ada juga yang menutup wajahnya, bingung.
“Ini di suratnya ibu sebenernya buat Kado Pernikahan Hanna, tapi kayaknya sekarang ga perlu lagi. Lebih baik kalian aja yang pegang, Hanna ga perlu. Ini surat rumah dan dokumen – dokumen lain. Hanna pamit”, jelasku lagi.
Aku pun bangkit dari dudukku, menahan tangisku. Aku langsung bergegas menuju kamarku untuk membereskan semua yang tersisa. Setelah menutup pintunya, aku tidak dapat menahannya lagi...
'Bu, Yah, Maafin Hanna...', bisikku pada keduanya.
Aku tau kalau akhirnya akan begini….Aku tau…
Selasa, 20 Oktober 2009
Aku merasakan perasaan yang tidak dapat bisa kukatakan dengan bahasa apapun. Andai terjadi sesuatu yang membuatku kehilangan nyawaku di dalam pesawat itu, aku pun mungkin tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa diam didalam pesawat, gak mikir apapun.
Mp3 Playerku kembali kunyalakan setelah lampu peringatan untuk boleh menyalakan alat – alat elektronik kecuali HP mati.
All alone.. somewhere far away from home
In a lonely place where no one knows your name
Lost inside a corner of your mind
Looking for a place to hide and none to find
Back in the days when you were just a child
The sun rays dance eternally
And when you least expect it
You hear a voice inside
Telling you to begin the life of your dream
You have the power to believe
Take a look inside your heart
A road is waiting for you
The truth is written in the stars
No matter who you are
You feel the force of love
Like a wind, blowing high above the cloud
You were moving fast but couldn’t touch the ground
Think of the days when you were just a child
You felt a joy so tenderly
And if you stop to listen to what you feel inside
You can be everything you wanted to be
You have the power to achieve
If you reach inside your heart
Your wish is waiting for you
The truth is written in the stars
No matter where you are
All the pain and tears and broken dreams,
Flowing like a river
It’s never easy to see
Trust what you feel
And just keep your spirit free
You can be all the things you wanted to be
In your dreams
You have the power to believe
Make a promise in your heart
Your future’s waiting for you
The secret in the sky above
Like a shooting star
It’s written in the stars
( LIA – The Force of Love )
Lagu ini kuputar berulang – ulang sampai tak terasa kalau pesawat yang kunaiki akan segera Landing di Bandara Soekarno – Hatta. Lagu ini mengingatkan semuanya, Masa Kecilku, Keluargaku, Aji, Teman – temanku dan sesosok makhluk yang skrg berdiam di rahimku.
Pesawatku Landing dengan mulus. Aku segera bersiap – siap untuk turun. Memakai kacamata hitamku, menyembunyikan raut wajahku yang dapat kupastikan pasti dah kaya mayat idup a.k.a zombie.
Kuambil Helm VOG hitamku dan kubawa menyusuri lorong keluar dari pesawat itu.
Huuffttt…akhirnya…JAKARTA…
Aku melihat pemandangan yang waktu itu aku lihat sebelum aku pergi ke Samarinda. Pada saat itu, hatiku masih berwarna. MEJIKUHIBINIU…Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu. Tapi sekarang yang ada Cuma hitam pekat bercampur dengan coklat sebahai bentuk kerisauanku.
Aku mengikuti arus manusia di depanku karena I have no clue, jalannya kemana. Ini pertama dan terakhir ( I hope…. ) aku pergi kemana – mana sendiri. Aku berjalan seakan – akan aku sudah tau aku akan menuju kemana, walaupun sebenarnya aku hanya mengikuti arus yang ada.
Akhirnya aku tau kemana arus manusia ini berjalan, ke area bagasi. Aku lalu mencari telpon genggamku, menyalakannya dan memberitahu teman – teman Scorpie ku kalau aku sudah sampai Jakarta.
‘Delivered’, hatiku membaca tulisan dilayar telpon genggamku.
Aku menunggu bagasiku keluar, berharap – harap cemas tapi tetap tak bisa berpikir apapun. Tiba – tiba ada sms masuk ke HPku. Aini.
‘Kak, sudah sampai kah? Aini minta maaf karena ceritakan semuanya ke Abang – abang Aini. Mereka nggak mau Kakak pergi ke Jakarta. Kakak jangan marah sama Aini ya..’
Sms dari Aini tak kubalas. Aku mulai berpikir, aku mau tinggal dimana. Aku mulai memikirkan untuk pulang kerumah, mengecek semua simpanan di bunkerku. Aku mau mulai membuka diri kepada keluargaku. Aku membuka flip HPku dan mengetik nomor telpon rumahku. Kutekan tombol Call di Hpku..
“Halooo”, sapa suara diujung sana.
“Mas, ini Hanna”, jawabku.
“Hanna??!!!...kamu dimana??!!!”, tanya suara disana yang kutau adalah suara Mas Yuli ku.
“Bandara”, jawabku yang sudah mulai menangis karena rasa kangen.
“Ngapain? Mau kemana??”, tanya kakakku.
“Baru pulang dari Samarinda. Nanti Hanna pulang kerumah. Ya?”, jawabku.
“Bener??? Mas tunggu!!”, jawab kakakku antusias.
“Ya dah, skrg Hanna cari kendaraan dulu kesana”, jawabku.
“Mas jemput…Mas Jemput”, jawab kakakku.
“Ga usah, Hanna naik taksi aja atau bis. Ya?”, jawabku.
“Kamu berubah. Dulu kamu selalu minta dijemput”, ujar kakakku.
“Hanna dah gede Mas. Dah ga pantes minta dijemput kalo bisa pulang sendiri”, jawabku.
Dalam hatiku, aku mau dijemput kakakku, Cuma aku mau tunjukkin kalau aku bukan anak kecil lagi. Lucu memang tapi entah, pengalaman yang baru saja kulewati membuat hatiku seperti beku, seakan – akan aku ingin belajar jadi wanita yang tegar. Aku ga tau kalau kakak – kakakku sudah tau keadaanku yang sebenarnya. Mungkin aku ga akan dianggap adik lagi.
Aku ga perduli. Aku Cuma mau cek amanat dari Ibuku.
Kemudian aku melihat tas hitamku keluar dari bagasi, aku menunggunya berjalan kearahku. Kuambil, lalu kubergegas keluar dari ruangan itu. Aku tak berharap teman- teman Scorpie ku akan benar – benar menjemputku, tapi aku tiba – tiba melihat sebuah kertas besar bertuliskan sesuatu yang membuat airmataku berjatuhan lagi dibalik kacamata hitamku.
“WELCOME ABOARD VIEANKACHU”…..
Aku terpaku. Melihat semua teman – temanku dihadapanku. Mereka menghampiriku yang hanya terpaku dan kemudian memelukku.
“Ras……jangan nangis dunk”, ujar Satria yang memelukku.
“Huuh”, hanya itu yang keluar dari bibirku.
Aku lihat wajah mereka satu persatu, mereka masih sama. Mereka berusaha menenangkanku. Mungkin, orang – orang disana heran melihatku dikerubungi cowok – cowok..hehehe…maklum, aku wanita satu – satunya di Guild ku….
Mungkin buat orang – orang baru di Guild ku, mereka ga tau siapa aku. Tapi buat orang – orang lama, yang pernah berjuang sama – sama, aku bukan orang asing lagi.
“Ras, kamu mau kemana skrg?”, tanya Panca.
“Pulang kerumah trus mau cari kost, Nca”, jawabku.
“Rumah mana?”, tanya Jho.
“Tangerang, pada ikut yuk. Trus temenin cari kost. Tapi nanti Ras mau minta tolong sama Mas Andi aja buat cariin kost di depok”, jawabku.
“Ya, dah…kita temenin. Tapi ada makanan kan drumah lo?”, tanya Satria.
“Ada”, jawabku sambil senyum – senyum.
Semuanya tertawa. Aku senang kembali ke Jakarta. Mereka tau semua kesulitanku, tapi mereka seakan – akan tidak mau memperlihatkannya kepadaku.
Sepanjang perjalanan ke rumahku, mereka mempertanyakan keadaanku dan semua hal yang sudah terjadi di Samarinda. Jho kembali meledak – ledak sementara yang lain berusaha menenangkan.
“Ras, keluarga lo dah tau masalah ini?” tanya Panca.
“Blom. Nanti mau dikasih tau”, jawabku.
“Kenapa lo ga tinggal dirumah aja?”, tanya Satria.
“Kalau mereka tau keadaan gwe, apa mereka masih mau gwe tinggal dirumah?”, tanyaku.
Semua terdiam.
Sesampainya aku dirumah, aku kebingungan. Semua keluarga besarku ada disana. Begitu aku menampakkan diri di depan pintu rumah, Mas Yuliku langsung berteriak..
“Hanna dah sampe tuh…..”, ujarnya.
Sontak semua isi rumah keluar menghampiriku. Teman – temanku sampai terkagum – kagum melihatnya. Selesai mereka memelukku, menciumku, aku segera memperkenalkan teman – temanku. Keluargaku berubah total, entah kenapa.
“Ras, kenapa lo bisa pergi ninggalin keluarga yang kayak gini? Rumah yang kayak gini?”, tanya Satria.
“Maksudnya?”, tanyaku.
“Rumah lo besar, bagus. Keluarga lo ramah. Kenapa?”, tanyanya.
“Everybody changing, Sat. Gwe aja masih bingung”, jawabku.
Melihat keadaan itu, aku belum berani bicara apapun. Aku terpaksa menginap dirumah dan membiarkan teman – temanku pulang. Aku segera naik ke atas, masuk ke kamarku. Kamar yang berisi semua kenangan itu.
Menutup pintunya….Melihat sekeliling….
‘Ahhh…bendera Union Jack ku’, dalam hati…
Semuanya masih sama. Tak terasa, airmataku keluar lagi. Kubuka semua laci kontainerku yang terakhir kuisi dengan komik – komikku…dan ternyata, masih sama..
‘Pank Ponk, Doraemon, serial – serial cantik’, hmmm….
Semuanya masih sama.
Rasanya semua kenangan itu kembali masuk dibenakku. Kenakalan masa kecilku, Main layangan, huufftt..aku jadi kangen kedua orangtuaku. Mereka terlalu banyak memberiku kenangan indah yang dapat membuatku menangis seketika dan sadar bahwa aku tidak akan mendapatkannya lagi. Semuanya ga akan sama lagi.
Hari itu kupuaskan hatiku mengenang semuanya.
Ketika semua sudah tertidur lelap, aku turun kebawah. Menatap foto – foto waktu kami masih lengkap, berjajar rapi disepanjang dinding tangga. Lukisan cat minyakku masih terpajang manis ditangga itu. Meja makan bundar berkursi 6 yang dilengkapi meja putar kecil ditengahnya pun masih sama, walaupun dulu kacanya sering pecah.
Aku menghampiri televisi sharp 21 inch diruang TV. Remotenya dah ilang, alhasil, untuk ganti channel, biar ga capek, kami pun sering menggantinya dengan kaki. Jempol kaki kami sudah lihai mengganti channelnya setiap nonton TV.
Aku menuju ruang tamu. Ada lukisan cat air berukuran besar bergambar Ayah dan Ibuku. Rasanya kangen liat itu. Foto – foto kakakku dari yang pertama sampai aku tergantung disitu. Aku juga melihat sketsa pinsil bergambar wajah ayahku yang digambar Mas Yudi, kakakku no. 4. Aku menyentuhnya dan seakan – akan, aku menyentuh wajahnya.
“Yah, Hanna Kangen!!”, ujarku yang spontan keluar dari mulutku.
Aku terduduk di sofa ruang tamuku. Mengambil album foto keluargaku. Melihatnya. Melihat fotoku ketika masih bayi, membuatku berpikir,
‘Akan seperti apa wajah anakku kelak? Sepertiku atau ayahnya?’, hatiku bertanya.
Melihat foto – fotoku, membuatku menangis. Benar yang dikatakan Ben….
“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”…
Ya, mereka memang berjuang berdua, tapi aku yakin bisa berjuang sendiri. Entah harus mulai dari mana. Tapi aku yakin, aku mampu memperjuangkan apa yang sudah aku dapatkan. Aku juga harus mempertanggung jawabkan apapun yang sudah kulakukan, karena Hanna bukan pengecut..
‘Hanna pasti bisa Bu’, bisikku dalam hati dan berharap Almh. Ibuku mendengarnya.
Malam itu aku tertidur di sofa dan melupakan semuanya. Berada disekeliling kenangan itu, membuatku nyaman dan membuatku merasa bahwa aku bisa melewati semuanya.
Tapi apa keluargaku bisa menerimanya????
Jumat, 16 Oktober 2009
Ketika aku memutuskan me-non aktifkan HPku, aku melihat di informasi bahwa pesawat tujuan Jakarta dengan maskapai penerbangan yang akan aku naikin sudah bisa ambil Boarding Pass. Aku segera memasuki ruangan Boarding Pass dan mengambil Boading Pass-ku.
‘15C’, bisikku dalam hati.
Huuffttt…oke. Aku segera memasuki Waiting Room, bayar Airport Tax and then, cari kursi buat menyendiri. Merapikan penampilan dan uppzzz..aku teringat kalau aku belum mengabari teman – teman scorpie ku di Jakarta. Mau ga mau, aku segera menyalakan kembali HPku dan berharap Ben atau siapapun tidak menelponku untuk membicarakan ttg Bho.
Aku segera mengirimkan sms kepada Panca..
‘Delivered’….bisikku dalam hati.
Aku kembali berusaha mematikan HPku. Tapi tiba – tiba, hpku berbunyi…Ben!
“Ya Ben?”, jawabku dengan suara sengauku.
“Maaf, gwe terlalu lancang ngomong kayak gitu sama lo, padahal kondisinya lo pasti lagi..hmm..sorry Vie”, jelas Ben.
“Ga papa, Vie juga minta maaf. Vie masih belain Aji, maaf ya Ben”, jawabku.
“Ga papa, wajar kok lo masih belain dia, lo sayang kan ma dia, ya kan?”, Tanya Ben.
“Seumur hidup gwe, gwe sayang sama dia, Ben. Ga ada niat buat musuhin dia. Gwe Cuma…”. Jawabku tertahan tangisku yang sudah mulai meledak.
“Cuma apa?”, Tanya Ben.
“Cuma…..memang dia bukan buat gwe. Dia bilang kalo dia ga mau, ga suka dipaksa seakan – akan harus jadi sama gwe. Itu alasan gwe kenapa gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku.
“Shh***tt, kenapa dia ngomong gitu?? Lo hamil anak dia Vie, dia harus tanggung jawab”, jelas Ben.
“Memang dia seharusnya tanggung jawab, entah apa alasannya. Yang jelas gwe ga mau paksa dia tanggung jawab kalo seandainya dia mau. Gwe ga mau kalo seandainya dia tanggung jawab trus dia kesel sama anak – anak gwe nanti, masalah ini diungkit – ungkit lagi. Gwe ga mau!!”, jawabku.
Tangisku sudah meledak saat itu….aku tak bisa berpikir apa – apa.
“Kenapa jauh amat siy pikiran lo?”, tanyanya.
“Ga ada salahnya mikir jauh kan Ben??”, tanyaku kembali.
“Memang ga salah Vie, Cuma…aduh….kenapa ga bilang sama anak2 disini siy?”, tanyanya.
“Ga..cukup dah ini jadi urusan gwe”, jawabku.
“Huuufffttt…when will I see your smiling face again, Vie? Lo ke Samarinda lagi kan nanti?”, tanyanya.
“Maybe….I don’t know when will u see my smiling face again. Maybe, there’s no smiling face, Ben”, jawabku di tengah tangisku yang makin tak bisa kubendung.
“Jangan…kita, gwe terutama, suka liat lo senyum. Ada lesung pipitnya. Senyumlah Vie. Udah, Aji….Aji…Aji mang manusia terbodoh yang pernah gwe tau”, jawabnya.
Mendengar Ben berkata seperti itu, aku Cuma bisa menangis dan menangis. Rasanya semuanya buyar. Apa yang sudah aku dan Bho bicarakan dulu seakan terbang melayang entah kenapa. Aku sudah tidak bisa menangkapnya, meraihnya pun aku ga sanggup.
Semua kenangan manis itu ternyata benar Cuma manis dibibir saja. Aku sama sekali terlalu terhanyut oleh yang namanya Cinta. Cinta yang awalnya terlihat indah, berubah jadi kelam dan hitam.
“Vie….Vie….”, suara Ben memecahkan lamunanku.
“Iyah Ben, maaf. Gwe jadi inget lagi semuanya”, jawabku terisak.
“Iyah, sekarang lo dah dimana?”, Tanya Ben.
“Waiting Room, kenapa?”, tanyaku.
“Lo bener – bener pergi, Vie?”, Tanya Ben.
“Ya, Vie pamit. Vie pergi. Salam buat Eki, Bang Jo, Bang Ogi, Bang Adam, semuanya”, jawabku.
“Ya, Jo sama Adam ada disini. Eki juga. Anak – anak mau ketemu lo, tadinya kalo memang lo bisa balik ke Samarinda, Jo dah bawa mobil siap berangkat Balikpapan. Aini juga mau datang, tapi Vie pergi ya?”, tanyanya lagi.
“Iyah”, jawabku.
“Aaaaarrgghh…sshhh***tt banget siy. Gwe ma anak – anak disini kayak apa jeleknya coba”, jawab Ben.
“Jelek kenapa?”, tanyaku.
“Jelek gara – gara Aji”, jawabku.
“Kenapa? Kok Bisa gara – gara dia?”, tanyaku heran.
“Dia bikin malu kami – kami disini. Dia laki – laki, kami disini juga laki – laki. Kami pantang tak bertanggung jawab atas apa yang sudah kami lakukan. Kalau kami tak bertanggung jawab, malu kami sama orangtua, muka tuh mau ditaro dimana. Kalau sudah kecemplung berdua, basah ya basah berdua sekalian, paham kan?”, Tanya Ben
“Ya….”, jawabku yang diselingi suara pemberitahuan kalau penumpang pesawat tujuan Jakarta, sudah bisa masuk ke pesawat.
“Ben, Vie bener – bener harus berangkat. Pamit ya”, ujarku.
“Ya, ati2 ya. Kalo ada apa – apa kabari kami disini. Ya?”, jawab Ben.
“Ya…”, jawabku.
Aku segera mengemasi semuanya, termasuk Helm VOGku. Aku berjalan menuju pintu keluar setelah Boarding Pass – ku diperiksa dan aku kembali ke lapangan dimana pertama kali aku mendaratkan kakiku di Balikpapan. Kupasang kacamata hitamku karena airmataku sudah tak dapat kubendung lagi. Masih kuingat suara itu…
"Hallo beb, dah dimana?", tanyanya.
"Masih di Jakarta", jawabku.
"Hah?????", jawabnya.
"Boong denk...dah di Sepinggan", jawabku sambil terkekeh.
"Pantes, suaranya jernih, deket", jawabnya.
Airmataku membuyarkan pandanganku. Aku berhenti sejenak sambil melihat Pesawat McDonnell Douglas Maskapai Penerbangan itu didepanku.
‘Apa aku benar – benar akan meninggalkan dia?’, tanyaku dalam hati.
Aku melangkahkan kakiku dengan pasti walaupun rasa sakit ini menusuk – nusuk hatiku. Aku menaiki tangga pesawat dengan perlahan, menenangkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik – baik saja.
Aku menemukan kursiku, 15C. Dipinggir lagi.
Aku menaruh Helm VOG ku di tempat penyimpanan barang lalu duduk manis sambil sesekali menyeka airmata yang masih dengan semangatnya keluar dari mataku. Kupasang Earpiece MP3ku dan kunyalakan playernya…
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa… Begini…
Oh Mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada disini menemaniku
Oh Mungkinkah kau yang jadi
Kekasih sejatiku
semoga tak sekedar harapku
Bila
Kau menjadi milikku
Aku takkan menyesal
Telah jatuh hati
Semoga tak sekedar harapku..
( Monita – Kekasih Sejati )
Pesawat pun segera berjalan, diiringi lagu itu, aku menggantungkan semuanya, melupakan semuanya. Melupakan dia…..Aku mematikan MP3 Playerku.
Seandainya dia memang Kekasih Sejatiku…..Ternyata hanya harapku…
Could I Keep you in My heart??? ….Feel like NUMB….
Rabu, 14 Oktober 2009
PART TWENTY – I LEAVE YOU NOT BECAUSE I’M NOT LOVE YOU…
0 komentar Diposting oleh VieNaWonk di 01.53Tak terasa aku sudah meninggalkan Samarinda, sekarang Bis ini membawaku ke Balikpapan, meninggalkan semua kisah itu dibelakang dan sepertinya aku enggan mengingatnya lagi.
Aku langsung mengirimkan sms kepada Eki untuk membatalkan PSPnya. Eki sempat menanyakan semuanya padaku. Dia menelponku tak lama setelah aku mengkonfirmasi semuanya. Aku sudah menjelaskan semuanya dan dia cukup kaget mengetahui aku sudah di bis menuju Balikpapan untuk segera kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalananku, Eki tetap menghubungiku, menanyakan segalanya dan aku gak bias menutupi semuanya. Tangisku pecah saat itu dan Eki hanya bias terdiam. Awalnya dia ingin pergi ke tempat Bho biasa main, menanyakan semuanya, tapi aku menahannya.
“Aini tau Vie soal ini?”, tanyanya.
“Ya tau”, jawabku.
“Kenapa ga bicara sama kami disini semuanya. Pasti kita bisa bantu, ga gini caranya”, jawabnya.
“Wew, kalo memang Vie cerita, mang Eki sama yang lain mau apa? Paksa dia untuk tanggung jawab? Kayaknya ga ada gunanya”, jawabku.
“Kenapa memangnya?”, tanyanya.
Aku menceritakan semuanya pada Eki, Eki ga bisa bilang apa – apa.
“Kamu ga pernah kenalan sama temen – temennya dia, Vie?”, Tanya Eki.
“Aku hampir kenal semua namanya, tapi aku ga tau yang mana wajahnya”, jawabku ditengah tangisku.
“Shhh****tt….kenapa ga bilang pas kamu disini siy? Kita disini bisa bantu kamu. Lagi Aini kenapa ga bilang lagi”, jawab Eki.
“Ki, udah deh. Ga usah ngomongin dia lagi. Vie bingung”, jawabku yang dibarengi dengan putusnya telpon tersebut karena sinyal drop.
Dalam perjalanan itu, aku sama sekali ga bisa tidur. Airmata ga abis – abisnya turun. Rasanya pengen banget balik ke Samarinda, samperin Bho dan marah – marah sepuasnya. Cuma pasti aku ga bisa.
Tak lama, aku sampai di terminal bis dan melanjutkan perjalananku ke Sepinggan dengan naik Ojek. Lumayan kena Rp. 25.000. Entah itu memang tarif dari terminal ke Sepinggan atau bukan, yang jelas aku merasa nyaman naik ojek karena si Bapak tukang ojek berjuang keras memberikan pelayanan buatku. Bawaanku tidak bisa dibilang ringan ditambah helm hitam VOG ku. Aku sampai di Sepinggan lebih cepat dari seharusnya sehingga belum bisa masuk ke ruang tunggu. Akhirnya aku menunggu diluar. Tiba – tiba Hpku berbunyi dan aku melihat nomor yang asing,
‘Siapa ya??’, tanyaku dalam hati. Kuangkat.
“Haloo..”, sapaku.
“Halo Vie, Ini ben2”, sapa dari suara tersebut.
“oohhh..Ben. Ada apa?”, jawabku.
Ben2 itu sahabat Eki, temannya Aini.
“Kenapa Ben?”, tanyaku.
“Lo dimana?”, tanyanya.
“Sepinggan, kenapa?”, tanyaku.
“Balik Samarinda, sekarang. Lo harus urusin semuanya”, jawabnya.
“Urus apa?”, tanyaku.
“Urus urusan lo sama cowok lo”, jawabnya.
“Siapa cowok gwe? Gwe dah ga punya cowok Ben”, jawabku.
“Aji. Cowok lo kan?”, tanyanya.
“Bukan, gwe dah bubar. Gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku yang mulai menangis lagi.
“Vie, gwe dah tau semuanya dari Eki, balik ke Samarinda lah. Tak usah balik hari ini”, ujarnya.
“Ga bisa. Gwe dah dibeliin tiket Ben. Ga bisa balik lagi ke Samarinda”, jawabku.
“Harus, lo harus samperin dia. Enak banget siy dia. Dulu waktu perlu, dia baik sama lo, sekarang. Lo balik ke Jakarta aja sendirian”, jawabnya.
“Udah ben, ga usah diomongin lagi. Ya?”, pintaku.
“Lo mang gampang ngomong gitu Vie, lo perempuan. Gwe laki – laki. Malu gwe jadi laki – laki ngerti ga lo?”, tanyanya.
“Hmmmm….”, jawabku yang sudah tak mampu membendung airmataku lagi.
“Gwe laki – laki. Gwe ga akan kayak gitu kalo gwe mampu melakukan itu sama cewe gw. Gw akan lindungi dia semampu gwe”, jawabnya.
“Mungkin dia ga bisa anter gwe ke bandara karena dia capek kali Ben..udah”, jawabku.
“Ga mungkin. Laki – laki memang kadang benci sama yang namanya perpisahan, gwe yakin, Aji tuh sayang sama lo Vie, Cuma dia masih belum sanggup kalo harus ada anak. Cuma itu dah rejeki dari Allah kan Vie, dia harus sadar itu, bukan lari dari masalah. Lo juga jangan lari”, jelas Ben
“Ben, bukan lari. Tapi gwe ga mampu hidup di tempat yang semuanya berisi kenangan gwe sama dia”, jawabku.
“Denger, oke…lo ga lari dari masalah, tapi kenapa lo ga temuin dia, bilang semuanya?”, tanyanya.
“Gwe dah tau jawabannya Ben, dia dah sadar kalo kayaknya gwe hamil dan dia minta, klo bener gwe hamil, untuk gugurin kandungan gwe”, jawabku.
“Shhh***tt…alasannya?”, tanyanya.
“Belum siap”, jawabku.
“Trus lo mau berjuang hidup sendirian?? Lo mau besarin anak itu sendirian, Vie?”, tanyanya.
“Seumur hidup gwe, gwe akan berjuang apapun buat dia. Seumur hidup gwe, ga ada yang pernah berjuang untuk gwe selain orangtua gwe. Gwe mau balas apa yang mereka kasih sama gwe dengan gwe berjuang untuk anak gwe”, jawabku.
“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”, ujar Ben.
“Ngerti, ga papa…gwe akan berjuang buat anak gwe walaupun gwe sendiri. Gwe mau dia jauh lebih kuat, lebih punya prinsip dari ayah atau bundanya. Gwe mau dia bisa bertanggung jawab atas apa yang dia ucapkan dan dia perbuat nanti, gwe mau berjuang untuk itu”, jawabku.
“trus kenapa lo harus balik ke Jakarta? Lo punya teman – teman disini. Bukan Cuma di Jakarta”, ujar Ben.
“Gwe ga sanggup Ben…”, jawabku di tengah tangisku.
“Lo pergi karena lo mau lupain Aji?”, tanyanya.
“Gwe pergi bukan untuk lupain Aji. I leave him not because I’m not love him, I love him so much, Ben”, jawabku.
“So why??”, tanyanya.
“Karena gwe ga mampu hidup tanpa dia di tempat yang jelas – jelas dia bisa temuin gwe yang makin hari makin terpuruk karena liat dia. Biar dia kejar kebahagiaan, jalan hidup yang dah dia pilih Ben”, ujarku.
“Game? Jalan hidupnya tuh Game? Rela lepasin cewek yang bisa kasih cinta kayak lo? Setan!! Lo tuh terlalu baik kalo harus terima jalan kayak gini. Dia laki – laki, harusnya punya prinsip. Kalo tuh server modar, mau ngapain dia?”, jawab Ben meluap – luap.
“Ya pasti akan ada game pengganti Ben, udahlah”, jawabku lemas.
“Ya, pasti akan ada game pengganti. Gwe suka game, gwe gamer juga. Penggila mungkin, tapi gwe bisa pisahin, mana realita mana maya. Kesenangan sementara, sama kesenangan yang memang harus gwe kejar untuk masa depan gwe. Gwe mampu abisin duit berapa pun buat game, tapi gwe juga mau abisin berapapun untuk masa depan gwe. Ngerti lo?”, tanyanya.
“ya..setiap orang punya jalan sendiri – sendiri, jangan paksa dia harus jadi seperti lo Ben”, jelasku.
“Ya Tapi…..”, jawabnya yang terus kupotong dengan menutup Hpku. Aku me-non aktifkan Hpku.
Aku tenggelam dalam tangisku, semakin tenggelam dalam sekali.
Aku memutuskan tetap pergi daripada harus tinggal tapi hati tersayat setiap hari. Membayangkan dia bisa melakukan apa pun yang dia suka, sementara aku harus berjuang hidup dan mati untuk sesuatu yang tidak ia inginkan tapi aku terlanjur mencintainya, mencintainya seperti aku mencintai Aji.
Kupasang Earpiece MP3 playerku, kunyalakan MP3ku….
dimatamu aku tak bermakna
tak punyai arti apa-apa
kau hanya inginkanku saat kau perlu
tak pernah berubah..
kadang ingin kutinggalkan semua
letih hati menahan dusta
diatas pedih ini aku sendiri
selalu sendiri...
serpihan hati ini kupeluk erat
akan kubawa sampai kumati
memendam rasa ini sendirian
ku tak tau mengapa
aku tak bisa melupakanmu...
kupercaya suatu hari nanti
aku akan merebut hatimu
walau harus menunggu sampai ku takmampu
menunggumu lagi........
( Utopia – Serpihan Hati )
Aku Pergi, entah akan kembali ke Samarinda atau enggak…..
I Leave You Love….Leave you My Beloved Striker with all the memories….see ya until..I Don't know when but…I’ll be missing you…
Can I live without You???.....Hiks….hiks…
Jumat, 09 Oktober 2009
Ketika si pacar sudah pergi, Beliau mulai berusaha mencari keberadaan si Wanita idaman. Ketemu katanya, tapi si wanita sama sekali tidak meresponnya.
“Padahal, dulu, waktu sakit, saya yang nemenin. Waktu dia minta apa, saya cariin.”
Begitu ceritanya. Beliau menyesal menelantarkan anak dan pacarnya yang kini entah dimana. Waktu sudah memakan semuanya. Si Bapak sampai ga ingat lagi sudah berapa lama tak berjumpa. Sampai dia dengar kabar dari kerabatnya tentang mantan pacarnya itu yang ternyata sudah tiada, meninggal ketika melahirkan buah cinta yang dulu pernah ditolak kehadirannya oleh si bapak.
Sekarang, anak dari mantan pacarnya itu pun menolak kehadiran si Bapak yang notabene ayah kandungnya dan si bapak tidak pernah menikah lagi sampai sekarang.
“Saya bukan tidak mau menikah lagi. Tapi sejak peristiwa itu, saya tau kalau dia meninggal, saya jadi merasa bener – bener berdosa neng. Kayaknya dengan tidak menikah pun belum bisa menebus semuanya. Apa yang dia berikan ke saya waktu itu tulus, kenapa saya begitu bodohnya sampai bisa menelantarkan dia demi mengejar wanita yang jelas – jelas ga menghargai saya sama sekali”, jelasnya.
“Trus apa yang bapak lakukan selama bapak ga mencari mantan bapak?”, tanyaku.
“Ya biasa, kayak ndak ada beban apa – apa, masih suka nongkrong – nongkrong sama temen – temen dulu”, jawabnya.
“Pas dah tau keadaan si ….itu, gimana pak?”, tanyaku.
“Hmmm..bapak ga bisa tidur, dari pas pacar saya pergi juga kayak ada yang ilang gitu. Hanya bapak pikir, Bapak bisa dapat gantinya, Cuma ternyata salah. Dia tak tergantikan Neng”, jawabnya.
“Hmmm….iyh. Sekarang Bapak tinggal dimana?”, tanyaku.
“Di Samarinda, Cuma ada urusan di Balikpapan”, jawabnya.
“Ga pengen nikah aja pak?”, tanyaku
“Saya bisa nikah lagi Cuma saya ga mampu kalau ingat semuanya. Biarlah, ini memang harga yang harus saya bayar karena mengecewakan wanita itu dulu, Namanya Siti”, jelasnya.
“Ya, semoga dia mendapat tempat yang layak ya Pak”, jawabku.
“Pasti Pasti…..saya selalu mendoakannya. Kenangan tentang dia masih hidup di hati saya walaupun anak saya dan dia tidak menerima kehadiran saya, tapi Ibunya telah memberikan pelajaran berharga buat saya. Tidak ada yang abadi di dunia ini Neng, jadi jangan sia – siakan yang ada dipelukanmu sekarang”, ujarnya.
“Iyh….”, jawabku.
“Sudah punya pacar kah?”, tanyanya.
“Sudah, tapi baru bubar”, jawabku.
“Kenapa? Ini gara – garanya kamu pulang?”, tanyanya.
“Bukan…”, jawabku alibi.
“Ya, semoga dia mendapatkan pencerahan ya nanti”, jawabnya.
Aku Cuma bisa diam, semua memori tentang Bho masih terekam jelas diotakku. Tak sadar, Bis itu pun bergerak melaju dan aku sedang memikirkan apa ini jalan yang terbaik untukku.
“Ya sudah, saya pindah, mungkin kamu ingin sendiri melihat – lihat pemandangan”, ujar Bapak itu.
“Makasih Pak”, jawabku sambil tersenyum.
“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, terlihat manis tapi sebenarnya menyimpan kesedihan yang luar biasa. Saya mendekati kamu Karena kamu mirip dia, cantik, manis namun kehilangan senyuman dan sepertinya kamu sedang merasakan kesedihan yang entah bagaimana dahsyatnya”, jelasnya.
“Ah, bapak….ga kok. Makasih”, jawabku sambil tersenyum kembali dan memalingkan wajahku kembali ke arah jendela. Kupakai kacamata hitamku, menyembunyikan mataku yang mulai berair karena ucapan Bapak itu. Bi situ sudah melewati Jembatan Sungai Mahakam…
"Ya, dulu teman saya pernah bilang, "Jika kamu dihadapkan dengan 2 pilihan, carilah seseorang yang mencintaimu bukan orang yang kamu cintai. Karena orang yang tulus mencintaimu pasti mengerti kamu, bukan ingin dimengerti"..ingat baik - baik ya", ujarnya
"Ya...", jawabku.
“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, manis tapi menyimpan kesedihan yang luar biasa”
Huuffttt….apa yang sudah terjadi, mengingatkan ku kembali kepada sosok wanita dimasa lalu Bho.
Namanya Zie, entah nama aslinya siapa. Bho kenal Zie di sebuah situs social bernama Tagged. Entah bagaimana ceritanya, Bho pun ketemuan sama Zie. Tapi Zie tampaknya hanya setengah hati pada Bho. Bho mengenalkan Zie pada sahabat wanitanya bernama Vina yang mungkin sampai detik ini, Vina pun masih berteman dengan Zie juga Bho.
Zie sudah dianggap Bho seperti adiknya, aku tak tau seperti apa arti “adik” buat Bho tapi buatku, itu ga masalah. Tapi Zie jelas mungkin jenis “adik” yang berbeda karena aku pernah menemukan BHo mengirimkan sms ke Zie..
“Adiiiiiikkkkkkkk……Kakak kangeeeeeeeeeeeeeennnnnnn”…
Dan ketika aku membacanya, rasanya, campur aduk. Aku jadi merasa seperti orang lain buat Bho saat itu.
Tak sadar, airmataku mengalir. Aku mulai merasakan benar – benar hilang seluruh hatiku saat itu. Tak sadar, ada sms masuk ke HPku.
“Vie, Eki niy, PSPnya jadi ga? Lo dah DP seharga 1 PSP, gimana?”, tanyanya
Aku membalasnya dengan menyuruhnya mengirimkannya ke GEIM atas nama Aji, tapi tunggu konfirmasiku. Aku langsung mengirimkan sms ke Bho.
“Sa, itu ada PSP di temenku, Eki. Buat kamu, kan waktu itu aku janji bakal beli PSP buat hadiah dari gaji pertamaku. Kusuruh kirim ke GEIM ya, atas nama Aji”
Terkirim….dan tak lama, balasannya pun kuterima…
“Ga usah, jangan kirim ke GEIM, simpen aja dulu sama dia. Nanti kita ambil sama – sama trus kita mainin bareng – bareng pas kamu balik ke Samarinda, ya?”
Aku tidak membalasnya…..aku Cuma bisa terdiam, menangis…….
‘Aku belum tentu kembali, Sa’……
Air mataku mengalir deras, membuyarkan pandangan mataku akan keindahan kota yang selama ini memberiku semangat yang akan segera kutinggalkan bersama semua ketulusan cintaku untuk seorang manusia berpangkat dewa bernama Bho….
FAREWELL LOVE…..this is a farewell ????
03 April….
Aku terbangun oleh sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarku. Tiba – tiba hpku berbunyi, Aini.
“Ya….da pa neng?”, tanyaku.
“Kak Vie jadi pulang hari ini?”, tanyanya.
“Iyah, kenapa? Dah sampai Muara Kaman Kah?”, tanyaku.
“Udah, kangen Kak Vie, Aini. Kak, barusan Eki sms Aini, PSP nya dah ada”, ujarnya.
“Ya dah, nanti Kak Vie kabarin lagi ya”, jawabku.
Aku sengaja pengen beli PSP waktu itu untuk Bho supaya dia gak terlalu sering keluar rumahnya. Tapi sekarang ga perlu lagi kayaknya ya…
Aku langsung membereskan semua barang2ku, mengecek agar semuanya tak tertinggal. Ketika kupastikan semuanya beres, aku melihat sebuah tas yang harusnya semalam sudah raib, tapi ternyata belum. Ingin rasanya aku menitipkan semuanya ke GEIM, tempat Bho biasa main, Cuma, hati bilang ‘ga usah’.
Akhirnya aku memikirkan lagi semuanya, gimana caranya semua barang2 itu bisa masuk. Lama berpikir, akhirnya semuanya masuk. Hanya tertinggal Helm VOG.
Terkadang, Aku masih bisa membayangkan helm itu terpakai di kepala Bho. Kenapa dia harus beli helm dengan warna dan merk yang sama, VOG Super Sonic Hitam. Sampai sekarang, helm itu masih tersimpan di sudut lemari pakaianku. Kalau helm itu tak berarti buatku, mungkin sudah kuberikan kepada orang lain.
Rasanya, hari ini aku benar – benar harus merelakan semuanya. Merelakan Bho, Merelakan kondisi badanku dan merelakan kalau aku harus kenapa – kenapa dijalan. Hari ini aku pergi tanpa Bho yang mengantarkanku ke Balikpapan. Aku sendirian. Sama seperti ketika aku datang kesini, aku datang sendiri dan aku pun pulang sendiri.
Aku segera membereskan sisa – sisanya, pergi mandi.
Selesai mandi, aku segera siap – siap, jam masih menunjukkan pukul 8 hari itu. Aku membawa keluar semua barang bawaanku, hanya 1 buah tas pakaian dan 1 buah helm ditangan ( dah kayak pembalap aja bawa helm ya?)..
Semua teman – temanku masih terlelap, Cuma Aini yang menyapaku, itu juga karena dia ada di Muara Kaman, lagi bantuin Ibunya bikin krupuk kali ya???
Aku membawa semua bawaanku sendirian. Aku jalan motong lewat Masjid depan kost-an, trus naik angkot Hijau buat ke Terminal Bis. Angkot itu lewat GEIM dan ketika angkot itu melewatinya, Aku melihat motor Bho disana. Aku inisiatif mengirimkan sms perpisahan padanya…
“Sa, pagi – pagi dah nongkrong di GEIM”
Hanya itu kata – kata yang mampu aku tulis untuknya. Aku hanya bisa terdiam sepanjang jalan. Mengabadikan semuanya melalui cam digital ku. Kota yang sudah menyemangatiku untuk tetap bertahan selama ini harus kutinggalkan. Everybody doesn’t know me at all, doesn’t know my name, who am i?, Aku Cuma tau beberapa nama tapi tak tahu bagaimana bentuk rupanya. Hanya cerita.
Sesampainya di Terminal Bus, Aku langsung menaiki satu bis yang sudah siap berangkat ke Balikpapan. Kutaruh semua bawaanku di bagasi kecuali helm VOG ku. Aku memeluknya sepanjang jalan seakan – akan kalau helm itu hilang, maka hilanglah seluruh nyawaku.
Aku terpaku melihat pemandangan di sepanjang jalan. Aku banyak melewatkan pemandangan indah ini. Bi situ berhenti sejenak di dekat Jembatan Sungai Mahakam. Aku terpaku, sampai aku tersadar oleh teguran dari seseorang.
“Mau kemana Neng Cantik?”, tanyanya.
Seorang Bapak Tua duduk disebelahku.
“Ooo..ke Jakarta. Kenapa ya Pak?”, tanyaku.
“Sedang pandangi apa kah?”, tanyanya.
“Enggak. Hanya liat – liat diluar. Pemandangan bagus”, jawabku.
“Liburan kah atau tinggal disini memang keluarga?”, tanyanya.
“Liburan”, jawabku.
“Sendiri??”, tanyanya.
“Ga pak, sama teman tadinya”, jawabku alibi.
“Temannya mana?”, tanyanya.
“Saya pulang duluan”, jawabku.
“Kenapa? Marahan kah?”, tanyanya.
“Ga, dia masih ada urusan”, jawabku sambil masih memandangi Sungai Mahakam.
“Hmmm…Sungai Mahakam. Kamu tau tentang Sungai Mahakam?”, tanyanya.
“Kenapa Pak?”, tanyaku.
“Sungai Mahakam punya cerita pahit untuk saya”, jawabnya.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Dulu ada pepatah bilang, ‘Sekali Kamu Minum Air Dari Sungai Mahakam, Kamu Pasti Akan Kembali Ke Samarinda’…”, ujarnya.
“hmmm….”, jawabku.
“Dulu saya punya pacar waktu muda, baik, saya sayang banget sama dia sampai saya bikin salah sama dia”, jelasnya.
“Salah??”, tanyaku.
“Iyah..Saya secara gak langsung masih mengharapkan wanita yang dulu saya suka, suka sama saya”, jelasnya.
“Maksudnya?”, tanyaku heran.
“Iyah, dulu sebelum saya pacaran sama cewek saya, saya pernah mengharapkan seorang wanita. Anggaplah namanya A…”, jelasnya.
Si Bapak bercerita sepanjang bis itu berhenti.
Beliau menceritakan tentang mantan pacarnya dulu yang di sia – siakan karena ternyata dia masih mengharapkan seorang wanita yang dulu dia suka, menyukainya. Mantan pacarnya datang jauh dari Surabaya dengan hasil gajinya yang ia kumpulkan. Sampai di Samarinda, ternyata si Bapak masih belum bisa melupakan wanita yang diidam-idamkannya sampai suatu saat, pacar si Bapak memutuskan pulang ke Surabaya dengan calon anak yang ada diperutnya. Si bapak mengetahui itu, Cuma beliau masih belum bisa menerimanya dan masih memimpikan wanita idaman itu. Akhirnya pacar si bapak pulang dengan sukarela.
Keesokan pagi, Aku tak langsung menyalakan HP. Aku bangun karena sinar matahari dah teraaaanggg banget..menyapaku hari itu. Tampaknya sisi kelam dari apa yang kurasakan semalam sirna. Aku langsung membuka lemari pakaianku, kurapikan semua isinya. Kupilah – pilah karena ada beberapa barang yang pernah dipinjamkan Bho padaku.
Aku melihat selimut kuning bunga – bunga biru ungu yang dipinjamkan Bho dulu, kupisahkan dari baju – bajuku. Setelah semuanya rapi, aku pindah ke atas lemari tempatku menyimpan gelas dan piring, semuanya kurapikan, kujadikan 1 tas besar.
‘Beres’, ujarku dalam hati.
Kuperhatikan tas besar itu, ada gulungan kabel sambungan, hanger, selimut, 1 gelas, 1 mug, 1 piring, 2 sendok, sendal, peralatan tulis, sampai Helm VOG Super Sonic Hitam kesayanganku ada di dalam tas itu. Selesai semuanya, aku mengaktifkan Hpku. Begitu aktif, ada sms datang bertubi – tubi. Ada sms dari Panca, Satria, Kakakku, Lina….
Aku buka sms dr Panca, isinya :
“Ras, dah dapet tiketnya naik Lion Tgl. 3 April ya jam 13.15 dari Balikpapan ya. Ntar dijemput anak2. Ambil di Lion cabang sana aja. Welcome Home, Buuu”
Aku senang membacanya. Aku langsung membalasnya. Sementara dari Satria, isinya menanyakan kebenaran ttg Bho dan aku. Aku membalas smsnya sekenanya aja, karena agak berat juga ngomonginnya. Kalau kakakku, biasa…..tanya keadaanku dan gimana ttg Bho again. Sama kayak sms dari Lina, semaksud….
Aku ga mau pusing mikirin masalah itu.
Hari berganti hari…..kepulanganku semakin dekat. Sampai tiba dimana hati yang kunantikan segera datang.
02 April…..
“Kak, nanti jadi ke Lembuswana?”, tanya Wati kepadaku di depan kamarku.
“Ya, anterin ya Wat, naik taxi ( angkot dibilang taxi di Samarinda ) aja, ya?”, tanyaku.
“Ga usah Kak, naik motor aja. Pelan2, Wati yang bawa nanti”, jawabnya.
Aku hanya mengangguk setuju sambil bersiap – siap. Tak berapa lama, kepikiran juga buat sms Bho, mau mulangin barang2nya. Akhirnya aku mengambil Hpku.
“Sa, nanti malem bisa minta tolong ga anterin ke tempat yang bs baca memory card? Mau ambil data di digicam”, smsku pada Bho.
Tak berapa lama….
“Ya, tapi maleman aja. Gpp kan?”, tanyanya di sms
Aku membalasnya….
“Ya, kabarin aja”, jawabku….
“Sms siapa kah?”, tanya Wati yang tiba – tiba dah nongol di depan kamarku.
“Aji, kenapa?”, tanyaku.
“Ngapain Kakak sms dia?”, tanya Wati dengan nada sedikit bete.
“Ini, mau pulangin barang – barang yang pernah dipinjemin dia ke Kakak”, jawabku.
Semua anak – anak di kost dah tau kalau aku bubar dengan Bho. Makanya mereka agak gimana gitu kalo denger namanya keluar dari mulutku.
Pagi itu aku diantar ke Mall Lembuswana, di ruko sekitar situ, ada cabangnya Lion Air. Aku dengan mudahnya mendapatkan Tiket, dah dibayar pulang, bener – bener deh.
Aku langsung sms Panca, konfirm kalau tiket sudah di tangan. Setelah itu kami jalan – jalan dulu, sekedar melepas lelah dan plesir2 terakhir kali buatku.
Jam 7 kami sampai kost, naik sebentar, melepas lelah. Hehehehe…ngobrol sana…ngobrol sini…tiba2 Hpku berbunyi….dering itu, Bho!
“Ya?”, jawabku.
“Aku dibawah, turun”, jawabnya.
Aku ga langsung turun, aku liat dia dr teras atas. Ternyata dia liat aku.
“Sini, turun”, ujarnya.
“Ya”, jawabku.
Aku turun dengan baju seadanya dan membawa perlengkapan yang kubutuhkan. Flashdisk, digicam, dompet, semuanya. Aku berjalan ke arah parkiran motor, aku melihatnya duduk diatas motornya, pakai kaos hitam. Dia tidak membuka helmnya.
“Haloo”, sapaku.
Dia agak bengong liat aku datang dan aku ga tau apa yang dia bengongin. Dia terpaku duduk di motor Satrianya menatapku.
“Hei, ngapain bengong?”, tanyaku sambil menghentakan pundaknya.
“Ehhh….”, jawabnya tergagap.
“Ayo….berangkat. Jangan kelamaan, lo ke GEIM kan?”, tanyaku.
“Iyah”, jawabnya.
“Oke..berangkat Bang!”, ujarku.
Aku menaiki motor Satrianya, ini terakhir kali aku menaikinya. Aku menaikinya perlahan dan dia mengendarai dengan perlahan pula. Aku ga memeluk pinggangnya lagi, aku memegang handle dibelakangku. Ada perasaan aneh malam itu. Dia mengantarku ke Konika terlebih dahulu di daerah Jl. A. Yani, dekat TripleX. Aku turun dan langsung melepas helmku, langsung masuk ke dalam tanpa memperdulikan Bho yang masih berusaha memarkir motornya, biasanya, aku tunggu dia, skrg ga.
Aku langsung masuk dan menaruh helmku ditangan sebelah kiri. Aku melihat Bho membuka helmnya dan duduk di kursi tunggu. Melalui ujung mataku, aku bisa tau kalau Bho mengamatiku dari jauh. Matanya tak pernah lepas menatapku, tapi begitu aku menatapnya, dia langsung nunduk. Aku menghampirinya sambil menunggu giliranku dilayani si customer service.
“Sa, titip tas yaa”, ujarku padanya
“Iya..eehhmmm….”, jawabnya sambil menatapku.
Aku berdiri didepannya dan dia duduk menghadap padaku.
“Kenapa Sa?”,tanyaku.
“Kok panggilnya ‘Sasa’ ?”, tanyanya.
“Hmmm..sorry sorry Ji. Sorry ya, mulai sekarang gwe manggil lo Aji deh”, jawabku ga enak.
“Bukan….bukan gitu….ada yang aneh, kan biasa panggil..”, ujarnya kupotong..
“Mm,..titip ya tasnya”, ujarku padanya sambil membenarkan tatanan rambutnya. Kebiasaan..uuhhh…
Aku langsung pergi kearah customer servicenya. Aku masih melihatnya mengikuti kemana diriku berjalan, dia, Bho masih mengamatiku. Mengamati diriku dari kejauhan, aku ga ngerti ada apa dengannya.
Begitu selesai, aku langsung mengambil Helm ku, mengambil tasku di Bho.
“Udah, yuk, cari makan. Laper”, ajakku.
“Iyah”, jawabnya.
Aku melihat Bho ingin merangkul pinggangku Cuma aku keburu ngacir pergi ke arah sepeda motornya. Aku liat dia terdiam ditempatnya berdiri saat aku membalikkan badanku.
“Ji, ngapain disitu. Ayo..ntar lo kemaleman”, teriakku.
Aku melihatnya menghampiriku perlahan..ada raut muka aneh tersirat disana. Seperti sedih atau bingung, atau salah langkah.
“Jangan panggil ‘Aji’!”, ujarnya saat berdiri disampingku.
“Trus panggil apa?”, tanyaku.
“Yang kayak biasa aja”, jawabnya.
“Ya dah Sa”, jawabku sambil mundur ke belakang.
“Bukan itu”, jawabnya sambil memundurkan motornya.
Aku mulai sibuk pegang sana sini buat pasang helm. Tiba – tiba ada suara laki – laki dibelakangku.
“Sini Neng Cantik, saya bantuin”, ujarnya.
“Eh, ga papa. Makasih Pak”, jawabku.
Tiba – tiba Bho turun dari motornya dan menghampiriku.
“Sini Beb, aku pegangin tasnya”, ujarnya.
Aku gantian yang terpaku sekarang. Kok??? Kok dia panggil aku ‘Beb’?
‘Manusia Aneh’, ujarku dalam hati.
Ketika sedang menuju tempat makan malam itu, ditengah perjalanan, aku memberitahukan Bho mengenai kepergianku. Walaupun sebenarnya aku berbohong padanya. Tapi itu cukup membuat dia agak aneh.
“Sa, mau ngasih tau sesuatu”, ujarku.
Dia memelankan laju motornya sedikit lagi supaya suaraku lebih terdengar.
“Dibilang jangan panggil ‘Sasa’, ngerti ga siy? Kenapa?”, tanyanya.
“Besok aku berangkat, pindah dari Samarinda”, jawabku.
Aku langsung merasakan hentakan keras dari motor Bho yang otomatis membuatku berpegangan memeluk pinggangnya.
“Kemana?”, tanyanya.
“Palangkaraya, masih Kalimantan kok trus ke Jakarta”, jawabku.
“Balik lagi ga ke Samarinda?”, tanyanya.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Hmmm…….ga papa. Tanya aja”, jawabnya.
“Oke…..”, jawabku.
Tanpa sadar, tanganku masih berada dipinggangnya, memeluknya. Merasa ga enak, aku melepaskan kaitan tanganku, tapi tiba – tiba…
“Jangan…..dah, disitu aja tangannya”, ujar Bho.
Aku kaget….
“Ga ah, ga enak diliat orang”, jawabku.
“Semua orang juga kalo dibonceng meluk pinggang, Beb”, jawabnya.
“Ya tapi kan itu meluk pacarnya, bapaknya, kakaknya, adiknya….gwe kan”, jawabku.
Belum sempat aku meneruskan ucapanku, Bho bersuara lagi..
“Berisik. Biarin aja kenapa siy? Mang ga boleh meluk pacar sendiri?”, jawabnya.
“Sa??? Tapi lo kan bukan……”, ujarku.
Dia menambah laju motornya. Sampai kita sampai di rumah makan itu. Aku yang maksa bayar disana, Last Treat kan. Dia disana menanyakan kembali apa aku balik ke Samarinda lagi atau tidak? Aku mengalihkannya ke topik lain.
Aku memesan Nasi Goreng sementara Bho memesan Nasi Mawut. Sudah jadi kebiasaan kami waktu masih jadian dulu kalau beli nasi goreng, Telur bagian kuningnya serta 3/4 Nasi punyaku, pasti kuberikan kepada Bho. Sementara sayuran yang ada di Nasi Goreng Bho, pasti dia berikan kepadaku. Tanpa perlu aba – aba, kami selalu melakukan hal itu.
Malam itu kami makan tanpa banyak bicara…
Setelah makan….dia langsung mengantarkanku pulang. Begitu sampai di kost, dia singgah sebentar Cuma menanyakan hal yang sama.
“Kamu balik lagi kan ke Samarinda?”, tanyanya.
“Insya Allah. Oia, ini Helm sama barang – barang kamu mau kamu bawa pulang?”,tanyaku.
“Kok gitu? Kamu mau kemana siy?”, tanyanya.
“Ga kemana – mana. Mau ga?”, tanyaku
“Ga usah, kamu simpen aja. Kan kamu balik lagi kesini kan?”, tanyanya kesekian kali.
“Insya Allah, ya dah, pulang sana. Ntar kompi ‘dewa’ nya di GEIM diambil orang lho”, jawabku.
Dia ga manjawab apa – apa. Aku masuk ke kost sambil jalan mundur. Aku Cuma liat dia diam diatas motornya, melihatku yang semakin menjauh. Ada raut yang sulit kujelaskan dengan logikaku. Aku langsung naik ke atas, masuk ke kamarku. Ketika aku ingin menutup tirai kamarku, aku masih melihat Bho dibawah, melihat kearah kamarku.
Aku tak tau apa yang sedang ada di kepalanya. Yang jelas, aku melambaikan tanganku dan segera menutup tirai itu. Berbalik badan dan tangisku pecah disana…
Apa aku sanggup tanpanya???? Huuffttt…