Rabu, 27 Januari 2010
Menunggu kepulangan Wonk, membuatku berpikir bahwa dia bukan laki – laki biasa, tapi lebih dari itu.
Rasanya aku tidak bisa membandingkan Wonk dengan Bho.
Bho, anak laki – laki yang bisa mendapatkan apa saja kalau dia mau. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang pastinya mempunyai pekerjaan tetap. Setidaknya, tidak begitu berat untuk menghidupi istri dan anak – anaknya. Aku mungkin belum begitu tahu tentang bagaimana keluarga Bho, tapi Bho masih jauh lebih beruntung dari Wonk.
Wonk, anak ke 8 dari 9 bersaudara. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bukan seorang pegawai kantoran. Ayahnya hanya seorang penjual buah – buahan dan dengan hasil berdagang nya itulah, ia memberi nafkah istri dan anak – anaknya. Menyekolahkan anak - anaknya, mendidik mereka, hingga mereka sukses dan jadi orang – orang yang lebih baik. Yang membuatku bahagia, Ayah dan Ibu Wonk, mampu menyekolahkan semua anak – anaknya. Punya 9 orang anak dan semuanya berhasil sungguh membuatku salut.
Aku tidak malu dengan semua itu, justru aku bahagia dan bangga bahwa Wonk tidak merasa kecil hati dengan semua itu.
Aku pernah menelpon dia saat dia ingin berangkat ke warung tempat ayahnya berjualan dan ia tidak malu mengatakan padaku kalau ia ingin membantu ayahnya disana.
“Ayah lagi jalan ke warung mau bantu Bapak”, ujarnya.
“Bapak jualan apa?”, tanyaku.
“Buah….kenapa?”, tanyanya..
“Ga papa….”, jawabku.
“Bapak memang jualan buah dari dulu. Ya, kita semua sekolah, makan dari hasil Bapak jualan buah. Bun ga malu kan?”, tanyanya.
“Ga..ga malu. Bun seneng kok. Setidaknya Bapak menafkahi anak – anak dan istri nya dengan cara yang halal”, jawabku.
“Ya, makanya…Ayah ga berat kalau harus bantu Bapak, karena Ayah bisa kayak sekarang juga karena buah – buah itu”, ujarnya.
“Hmmmm..yang semangat ya jualannya Chayank!!”, jawabku.
“Pasti! Maaf ya chayank, kalo Ayah kayak gini…”, ujarnya.
“Kenapa? Bun terima Ayah apa adanya. Bun ga liat itu semua. Pokoknya Bapak hebat. Ntar Bun boleh kan bantu – bantu di warung?”, tanyaku.
“Banget, boleh banget sayang….makasih ya Chayank”, jawabnya.
“Sama – sama, kembali kasih”, jawabku disambut suara tawanya yang khas.
Aku memang tidak mengharapkan someone yang punya babat, bebet, bobot. Menurutku itu tidak terlalu penting. Yang penting Cuma isi hati seseorang aja.
Aku ga terlalu memikirkan semuanya sekarang.
Kalau ingat dulu, waktu SMU, kadang kita hanya berpatokan pada fisik seseorang saja untuk menentukan pantas atau tidaknya orang tersebut jadi orang paling special dihati. Tapi, makin lama, tampaknya, cara pikir tersebut terlalu picik.
Bho….A Man with a Good Persona…..tapi kurang punya pendirian. Entah pengaruh sifat, zodiac, atau memang trauma masa lalu, tapi aku bersyukur…dia bukan jodohku. Tak terpikirkan olehku jika memang dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku tetapi masih tetap stuck di rutinitas yang sama, aku pasti sudah berubah jadi zombie. Tapi aku yakin, dia akan berubah jadi ayah yang baik untuk anak – anaknya nanti dengan seseorang, bukan anak – anakku.
Wonk, sudah lebih dari cukup untukku. Dia ayah yang baik untuk anak – anakku. Menerima Rhama dan Dewa – ku layaknya darah dagingnya sendiri. Kala melihatnya bermain dengan anak – anak, memanggil mereka dengan sebutan ‘anak ayah’, membuatku merasa aku tak perlu mencari atau pun berharap ‘ayah kandung’ dari anak – anakku mencariku untuk mempertanggung jawabkan semua.
Seperti suatu ketika, Wonk sedang menenangkan Dewa ketika menunggu giliran untuk mandi…aku merasa, Wonk lebih dari segalanya..
“Kenapa anak Ayah nangis??? Sabar sayang, Bunda Cuma punya 2 tangan. Abis ini giliran Dd ya ( panggilan sayang Wonk untuk si kecil Dewa ). Masa anak Ayah nangis”, ujar Wonk pada Dewa yang masih menangis di pelukannya.
Aku melihat dari jauh…merasa….merasakan perasaan yang sulit kuungkapkan.
Akhirnya Dewa pun tenang di pelukan Wonk.
Ketika Rhama suda selesai mandi, aku mengambil Dewa dari dekapan Wonk. Seketika Dewa pun menangis. Akhirnya, Wonk lah yang memandikan Dewa. Lama kelamaan, Rhama dan Dewa sulit terpisahkan dari seorang laki – laki bernama Wonk.
Melihatnya bercanda, memberikan makan, bahkan menidurkan mereka..membuatku berpikir, aku terlalu bodoh jika melepaskan Wonk.
Aku sudah memilih jalanku sendiri dan ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku menyayangi dan mencintai Wonk sepenuh hati. Memikirkan bahwa jodoh kita sebenarnya selalu ada di depan mata membuatku bersyukur, Tuhan menyadarkanku ketika aku bertemu Wonk, nobody else.
Rasa ini tumbuh atas namanya, bukan orang lain.
He’s My Savior….He’s The One….My Only One….
Mudah – mudahan, buat semua yang dah baca thread saya, cepet bisa ketemu sama soulmate nya ya…
Coz it’s so….Wonderfull……
Masa itu kini sudah terlewati. Kakakku bercerita tentang semuanya begitu aku dapat kembali melihat orang – orang yang kusayangi.
Aku tersadar dari tidurku dengan wajah orang yang paling kusayangi sedang memandangiku tersenyum, namun ada airmata disudut mata itu. Dia adalah Wonk. Kata yang keluar dari bibirnya saat itu hanya,..
‘Plizzz….jangan pernah tinggalin ayah lagi’….
Aku hanya bisa terdiam, tersenyum namun dilubuk hatiku yang paling dalam, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan.
‘Apa benar dia betul – betul menyayangiku seperti ini?? Apa benar ini terjadi padaku?’
Ditengah suasana yang mulai terasa haru, semua bayangan terasa blur. Sepertinya aku hanya terfokus pada Wonk. Dia begitu baik menerima semuanya. Tersadar oleh pandanganku, dia pun menghampiriku.
“Kenapa dari tadi ngeliatin terus? Ga kenal sama Ayah?”, tanyanya.
“Kenal”, jawabku.
“Trus kenapa diliatin terus Ayahnya? Kangen?”, tanyanya.
“Kangen….kayaknya dah lama ga liat Ayah, ga denger suara Ayah”, jawabku.
Wonk hanya tersenyum. Dia menceritakan padaku tentang hari itu. Setelah aku melahirkan anak – anakku, terjadi perdarahan yang hebat. Didukung dengan kondisi fisikku yang lemah dan ada masalah juga dengan kehamilanku, aku kehilangan kesadaranku. Wonk berkata, aku tak sadar selama 3 hari.
“Ayah, ngapain selama 3 hari? Disini?”, tanyaku.
“Nungguin Bun”, jawabnya.
“Nungguin apa? Mang kalo nungguin Bun dapet hadiah apa?”, tanyaku
“Nungguin Bun sadar. Bun lama banget bangunnya. Ayah smpe ga sabaran. Hadiah buat Ayah dah ada, manis – manis kayak Bundanya Ayah. Tapi kalo Bundanya ga bisa sama – sama Ayah, Ga akan sama rasanya”, jawabnya.
“Kenapa?”, tanyaku.
Kemudian wajah Wonk menghampiri wajahku, dan dia membisikkan sesuatu di telingaku.
“Bun tuh segalanya buat Ayah. Ga ada Bun, rasanya ga akan sama. Bun cuma satu – satunya yang Ayah punya selain anak – anak. Ayah ga akan pernah mau kehilangan Bun karena Ayah sayang banget sama Bun”, ujarnya di telingaku.
Aku hanya bisa menangis mendengar semuanya. Menangis dan entah mengapa, bayangan Bho dihatiku mulai menjauh dan menjauh. Melihatku menangis, Wonk mengusap wajahku dan berusaha menenangkanku.
“Dah ahh..jangan nangis, Jelek. Bun Ayah nanti jelek kalo nangis”, ujarnya.
“Mang Bun jelek…”, jawabku ditengah tangisku.
“Jangan gitu ah...Bun Ayah tuh cantik banget. Perduli amat orang bilang Bun kayak gimana. Buat Ayah, Bun segalanya, ga bisa dituker sama apapun. Kalo tiba2 si Aji datang minta Bun, minta anak2, ga akan Ayah ijinin”, ujarnya.
Mendengar segala penuturannya, mengetahui dia begitu menerima semuanya, aku rasanya sudah menemukan tujuan hidupku.
Aku, hari itu benar – benar bisa melihat buah hatiku yang entah bagaimana, begitu tampak mengenalku. Matanya yang mungil, yang belum bisa mengenali keadaan disekitarnya, seakan – akan berkata padaku,
‘Bunda, Aku sayang banget sama Bunda’….
Mereka mungil, Aku melihatnya dari luar ruangan itu. Mereka berada di dalam inkubator. Entah apa perasaan mereka saat itu, tapi aku merasa bahwa aku menang. Menang melawan semua rasa cemasku, menang melawan rasa sakitku, sakit yang entah berapa lama kurasakan.
Tapi kini, melihat Wonk disampingku, melihat anak – anak yang kuperjuangkan dihadapanku, aku merasa menang terhadap Bho. Aku ga akan rela dia ambil apapun dariku, termasuk anak – anakku.
Aku akan berjuang dengan sekuat tenagaku menjaga apa yang sudah Tuhan berikan untukku, sejak hari itu, aku merasakan ada semangat yang baru, dan aku tahu…
“Yah…..”, panggilku kepada Wonk ketika melihat mereka.
“Iya sayang….”, jawab Wonk sambil memelukku dari belakang kursi rodaku.
“Bun jadi Ibu ya Yah?”, tanyaku.
“Iyah…Itu anak – anak kita Bun. Bun dah jadi Bunda, Ayah dah jadi Ayah dari jagoan – jagoan Ayah. Kenapa?”, tanyanya.
“Bun seneng. Jangan tinggalin Bun lagi”, jawabku.
“Ga akan…Ayah bodoh kalo Ayah tinggalin Bun. Bun Nyawa Ayah”, jawabnya sambil mencium pipiku.
Hari itu, aku menjadi manusia paling bahagia, mungkin Wanita paling bahagia….
Hari itu, aku dan Wonk sepakat menamakan mereka Rhama Putra Auliansyah Hakim dan Dewa Putra Auliansyah Hakim. Ada nama Bho di dalam nama anak – anakku dan Wonk menyadari itu. Dia merasa cukup berbesar hati awalnya, tapi lambat laun, aku merasa bahwa Wonk tidak menginginkan nama itu dan ia mengatakannya padaku.
“Bun, Ayah mau ngomong sesuatu”, ujarnya.
“Ya..mau ngomong apa?”, tanyaku.
“Bun, kalau suatu saat nanti Bun dah bias terima Ayah, Ayah mau nama anak – anak diganti. Jangan ada Bho lagi dalam hidup kita, Bun. Maaf kalo Ayah egois, tapi Ayah sama sekali ga mau ada kenangan Bho lagi”, ujarnya.
“Iyah..Bun Paham…Ayah yang sabar ya. Maafin Bun”, jawabku
Wonk hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti.
Hari berganti hari….Minggu berganti minggu dan entah kenapa, semua tampak sempurna buatku.
Sampai Wonk harus pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk menjalankann tugasnya. Tapi aku tidak merasa kesepian. Dia tetap selalu ada untukku. Aku pun mulai menyibukkan diri dengan melakukan apapun untuk mengisi hariku agar ketiadaan Wonk tak begitu terasa, tapi dia selalu ada dihatiku.
Sampai suatu ketika, Wonk menelponku mengatakan hal yang dulu dia tanyakan padaku.
“Bun, kali ini, Ayah bener – bener mau Tanya yang waktu itu pernah Ayah Tanya sama Bun”, ujarnya.
“Tanya apa?”, tanyaku.
“Bun mau kan jadi istri ayah? Jadi pendamping Ayah? Temenin Ayah seumur hidup Ayah? Ayah butuh Bun”, tanyanya.
Aku terdiam dan aku hanya bisa menangis. Rasanya, Aku akan merasa sebagai wanita tolol kalau aku menolak Wonk. Mengetahui apa yang sudah dia lakukan untukku, anak – anakku..dan akhirnya aku berani menjawabnya dengan segala resikonya.
“Ya…Bun mau!”, jawabku.
Jawabanku disambut dengan ucapan yang tak kumengerti. Mulai detik itu, Aku jauh lebih bahagia dari hari – hari kemarin.
Hari ini….
Hari ini, semua ketakutanku mulai sirna. Ketakutan akan hadirnya Bho kembali dalam hidupku dan anak2ku mulai benar – benar hilang. Wonk akan segera kembali ke Indonesia dengan perasaan yang ‘luar biasa bahagia’ katanya.
Persiapan tentang hari dimana jadi akhir dari penantianku akan segera tiba. Entah mengapa, aku gelisah. Gelisah namun ‘Bahagia Luar Biasa’…