Kamis, 05 November 2009

Sejak hari itu, aku menjalani semuanya sendiri. Cinta pria dan wanita buatku tak begitu penting lagi. Aku hanya mementingkan si kecil di perutku yang mungkin sedang berkembang tanpa tahu seberapa besar kehidupan yang akan dia terima nanti, tanpa ayah.

Aku sudah memutuskan menutup seluruh hatiku untuk manusia bernama Aji atau Bho.

Sampai dibulan kedua, aku mendapatkan sesuatu yang benar – benar menakjubkan sekaligus menyedihkan. Hari itu, aku datang ke rumah sakit untuk cek semuanya. Sejak kepulanganku dari Samarinda, aku belum tahu lagi bagaimana perkembangannya. Akhirnya kuputuskan mengambil selembar uang pemberian orangtuaku dan menukarkannya.

Siang itu aku datang dengan hati yang galau……dan akhirnya ketakutanku terbukti juga.

“Siang Mba, saya mau periksa kandungan. Ada dokternya ga ya?”, tanyaku.

“Ada Bu. Bisa isi data disini dulu?”, ujar Suster itu.

“Ya, Bisa”, jawabku.

“Dengan Ibu siapa?”, tanyanya.

“Vie”, jawabku singkat.

“Baik Bu Vie, saya siapkan kartu periksanya sambil Ibu isi form ini. Untuk data – data pasien apabila nanti dibutuhkan. Silahkan diisi, ini penanya. Silahkan duduk sampai saya panggil nanti”, jelas si Suster.

“Terima kasih”, jawabku sambil memberikan senyum ke Suster itu.

Dia memberiku selembar form berisikan data – data yang harus aku isi. Aku mencari tempat yang nyaman untuk mengisinya. Aku mengisinya dengan teliti dan tibalah di data yang enggan aku isi.

‘Nama Suami :…’, bisikku dalam hati.

Aku bingung. Aku enggan menuliskan nama Bho disitu. Tiba – tiba HPku berbunyi…

‘No nya ga ada di daftarku. Siapa ya’
, tanyaku dlm hati. Aku pun mengangkatnya.

“Halo”, ujarku.

“Halo Na. Ini Hanna kan?”, tanyanya.

“Iyah, ini siapa ya?”, tanyaku.

“Ini Wonk”, jawabnya.

“Ya ampun, kumaha damang Wonk?”, tanyaku.

Wonk itu sahabatku. Aku kenal dia dari Idol street. Memang dari Game Online juga, tapi Wonk beda. Dia maen Game Online hanya untuk pengisi waktu senggang kalau libur kerja. Wonk juga maen RF, tapi ga begitu sering. Game for him is just for fun…ga lebih. Makanya, dia jarang OL, kalo OL pun paling Cuma 1 jam aja.

Hanya Wonk yang tahu kalau namaku bukan Laras. Laras hanya cerminan aja, Cuma bayang – bayang. Cuma Wonk yang tahu namaku Hanna. Karena Wonk jarang OL, jadi teman – temanku tetap memanggilku Ras, ga ada temen OLku yang manggil aku Hanna selain Wonk.

“Baik..Baik…tapi gwe denger kabar ga enak Na”, jawabnya.

“kabar apa?”, tanyaku.

“Hmm….kamu hamil Na?”, tanyanya.

“Hmmm…Ya. Maaf Wonk”, jawabku.

“Cowok lo?”, tanyanya.

“Siapa? Yang hamilin gwe?..hmm…di Samarinda. Udah bukan cowok gwe lagi”, jawabku.

“Haahhh??? Dia, dia ga mau tanggung jawab Na?”, tanyanya.

“Iyah, udah lah Wonk, jangan dibahas lagi. Udah, gwe cukup bias lewatin semuanya”, jawabku.

“Lo gila kali ya??? Dimana lo ??”, tanyanya.

“Di RS ***** di depok. Kenapa?”, tanyaku.

“Tunggu disitu, gwe kesana”, jawabnya.

“Tapi sebentar lagi gwe masuk ke ruang periksa Wonk”, jawabku.

“Sekarang lo lagi apa?”, tanyanya.

“Isi data, Cuma lagi stuck aja. Di kolom ‘Nama Suami’, gwe mau tulis nama Aji tapi…”, jawabku terputus.

“Tulis nama gwe”, jawabnya.

“Hah, nama siapa?”, tanyaku.

“Nama gwe. Masih inget kan nama lengkap gwe?”, tanyanya.

“Masih tapi…”, jawabku terputus.

“Dah tulis aja. Trus tunggu aja disitu sampe gwe datang. Oke?”, jawabnya.

“Kalo gwe dah masuk, trus selesai tapi lo belum datang, harus tunggu juga?”, tanyaku.

“Sebelum lo selesai, gwe pasti dah sampe. Dah, gwe jalan dulu. Inget, tulis nama gwe, Na”, jawabnya.

“Ga papa Wonk?”, tanyaku.

“Tulis. Titik. Gwe berangkat. Tunggu disitu”, jawabnya.

“Ya”, jawabku.

Wonk memutuskan sambungan telponnya dan aku hanya bias terdiam, membisu.

“Ibu Vie, Form nya sudah bisa diambil?”, Tanya Suster itu menghampiriku.

“Sebentar dikit lagi”, jawabku.

Aku segera mengisi data ‘Nama Suami’ dengan nama Wonk.

‘Ridwan N’, tulisku di kolom itu.

Aku segera menandatangani form tersebut dan segera menyerahkan form tersebut ke Suster itu.

“Terima kasih, silahkan duduk lagi ya. Sebentar lagi dipanggil”, jelasnya.

Tak berapa lama, memang aku dipanggil oleh suster itu untuk masuk ke ruang periksa. Aku segera memasuki ruangan bernuansa hijau itu, menyenangkan.

“Siang Bu, Dengan Ibu Vie ya?”, sapa wanita berjilbab di depanku.

“Iyah”, jawabku diiringi senyumanku untuk wanita itu.

“Kok sendiri, suaminya ga anter?”, tanyanya.

Aku hanya tersenyum. Ia menanyakan perihal kehamilanku. Aku menjawabnya seadanya. Kondisiku yang baru saja pulang dari Samarinda, naik pesawat dan sebagainya. Aku juga menjelaskan kalau aku punya Anti – Phospholipid Syndrom. Beliau agak kaget mendengarnya. Tak berapa lama, terdengar ketukan.

“Silahkan masuk”, jawab wanita itu.

Ketika pintunya terbuka, yang kulihat bukannya Suster tapi Wonk.

“Maaf Dokter, saya suaminya”, sambil melirik padaku.

“Ooo…silahkan..silahkan masuk Pak”, jawab wanita itu.

Beliau lalu melihat buku periksaku dan kemudian bicara..

“Pak Ridwan…”, ujarnya.

“Ya….”, jawab Wonk.

“Oke…sekarang istrinya saya pinjem dulu ya, mau USG. Kalau Bapak mau ikut, silahkan. Biar bisa liat si cantik atau si jagoan”, ujarnya.

“Boleh”, jawab Wonk sambil senyum.

Aku hanya melihat perbincangan ini dengan perasaan tak menentu.

‘Suami, siapa suami siapa? Siapa istri siapa?’
, tanyaku dalam hati.

Aku langsung disuruh tiduran. Perutku langsung diolesi oleh gel khusus, dan…

‘Wieee…geli’, pekikku ketika alat itu digesek – gesekkan ke perutku.

“Waahh…Pak, Bu, kayaknya isinya ga satu ini”, ujar si dokter.

“Maksudnya?”, Tanya Wonk.

“Ini ada dua, kembar. Dari gambar yang saya liat, sepertinya kembar identik karena berasal satu telur. Tapi baru benar – benar terlihat kalo sudah masuk minggu ke 16 nanti”, jelasnya.

Aku dan Wonk hanya lihat – lihatan. Dia lalu membelai rambutku sambil tersenyum. Aku hanya merasa, aneh.

‘Seandainya Bho yang melakukan itu’, bisikku dalam hati.

Ketika prose situ selesai, aku hanya bisa terdiam. Wonk yang lebih banyak bertanya. Setelah selesai, aku diberikan buku periksa beserta hasil foto USG tadi. Ada rasa senang yang tak terkira, bingung yang berlebihan.

Ketika aku dan Wonk keluar dari ruang periksa, aku langsung membicarakan semuanya.

“Kok lo bisa masuk siy?”, tanyaku.

“Bisa lah, tanya dunk sama Mba nya di depan situ”, jawabnya sambil memberikan senyum padaku

“Bilang apa?”, tanyaku.

“Ya tanya, ‘Mba, Istri saya dah masuk ya?’, gitu”, jawabnya sambil nyengir.

“Jaaahhh….pantesan. Trs tadi kenapa bilang kalo lo suami gwe?”, tanyaku

“Kenapa siy? Biarin aja. Lagian kalo tuh dokter tahu lo belum nikah, ntar nanya – nanya yang aneh – aneh atau mikir yang ga – ga lagi dia. Jangan sampe deh”, jawabnya.

“Tapi….”, jawabku.

“Udah, seneng ga mau punya anak kembar?”, tanyanya.

“Iyah. Tapi….”, jawabku.

“Udah ga usah mikirin dia lagi ya. Pikirin si kecil – kecil ini aja”, jawabnya.

Setelah kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan pemikiran Wonk. Dia bilang padaku suatu saat kalau dia ingin menjadikanku istrinya dan menerima anak – anakku sebagai anakku. Alasannya karena dia sudah terlanjur sayang padaku.

Memang, apa yang sudah dilakukannya membuatku merasa tidak menjalani semuanya sendiri.

Sejak aku mendapat pekerjaan di daerah Grogol, aku selalu naik kereta api ekonomi Depok – Cawang – Depok setiap hari dan dari cawang naik bis ke grogol. Walaupun sedang hamil muda, aku ga perduli. Aku butuh sesuatu untuk kukerjakan dan kumakan.

Tapi ketika Wonk tau hal itu, dia memaksa aku untuk menerima jasa antar jemputnya setiap hari sebelum aku mendapatkan tempat tinggal baru di dekat kantorku. Sampai suatu saat, kakak laki – lakiku menelponku.

“Han…halo”, terdengar suara disana.

“Halo Mas, kenapa?”, tanyaku

“Kamu dimana?”, tanya kakakku.

“Di kantor, kenapa Mas?”, tanyaku.

“Tinggal dimana?”, tanyanya.

“Di Depok”, jawabku seadanya.

“Kerja dimana kamu?”, tanya kakakku.

“Di Grogol, ada apa siy Mas?”, tanyaku.

“Mas mau ngomong. Kita semua mau ngomong. Kamu dimana? Mas kesana”, jawab kakakku.

“Ga usah, Hanna pulang aja ke rumah. Besok”, jawabku.

“Oke, Mas tunggu”, jawabnya.

“Oke, Hanna sampe sana sore kali ya”, jawabku.

“Ya dah, ga papa”, jawab kakakku.

Dari nada suaranya, tak terdengar kemarahan, hanya ada ke khawatiran. Aku segera bilang pada Wonk melalui sms kalau besok siang, sepulang kerja, aku akan ke rumah. Dia membalasnya.

‘Oke…aku anter, jangan nolak. Oke?’

Aku segera membalasnya. Aku ga mau menyusahkan seseorang yang sudah terlampau baik padaku. Menyisakan semua waktunya untukku yang jelas – jelas belum bisa memberikan apa yang dia mau. Bagiku, memutuskan menikah atau menjadi seorang istri dari seseorang pada saat keadaan hamil membuatku merasa bersalah. Mungkin akan sangat merasa bersalah.

Keesokkan harinya, Wonk seperti biasa, menjemputku pagi hari. Kami berangkat kerja sama – sama. Dia selalu mengantarkanku terlebih dahulu. Dia bisa sampai Depok jam 5 pagi hanya untuk menjemputku dan sampai jam 4 di kantorku untuk menjemputku. Tak bisa terbayangkan olehku. Dia tetap ingin aku jadi pendampingnya, tak perduli keadaanku yang dah hancur berkeping – keping.

Sore itu, dia mengantarkanku ke rumah, untuk membicarakan semuanya dengan kakakku ttg apa yang terjadi.

Ternyata setelah dibicarakan, kakak – kakakku ga mau kalau aku tinggal diluar rumah dengan keadaanku yang seperti itu. Pada saat itu pun, Wonk mengutarakan sesuatu yang membuatku mendadak kalut.

“Hmm..maaf semuanya, saya juga mau bicara disini”, ujarnya.

Aku langsung melihatnya. Keheranan.

‘Ada apa lagi niy?’, tanyaku dalam hati.

“Ada apa Wan?”, tanya kakak perempuanku.

“Sebenernya saya kesini bukan Cuma mau nganterin Hanna aja tapi ada yg lainnya juga”, jelasnya

“Ada apa?”, tanyaku.

“Begini, saya mengutarakan kalau saya…ingin Hanna jadi istri saya”, jelasnya.

Aku langsung merubah posisi dudukku dan terdiam seribu bahasa.

“Bener Wan? Kenapa kamu punya keinginan seperti itu?”, tanya kakakku.

“Saya sudah lama sayang sama Hanna. Dia terlalu baik untuk disakitin kayak gini. Dia wanita yang benar – benar saya kagumi. Terlepas dari apa yang sudah terjadi, sudah jadi resiko saya. Saya sayang dia berarti saya juga harus sayang sama anak – anaknya. Pada kenyataannya, saya ga sayang sama mereka, tapi saya sudah terlanjur cinta sama mereka dan bundanya”, jelasnya panjang lebar.

“Oke..saya sama keluarga siy ga masalah. Cuma kembali lagi ke Hanna. Gimana Han?”, Tanya kakakku.

Aku Cuma bisa terdiam….terdiam….

‘Ada apa lagi sssiyyy???’, jeritku dalam hati…gundah

Minggu, 01 November 2009

Aku pulang dengan langkah gontai. Kupasang Ear Piece MP3 Playerku dan tampaknya itu tak membantuku.

Begitu indahnya untuk dikenang
Saat kamu masih mengejar cintaku
Begitu manisnya tangismu untuk
Memohon hadirku kedalam hidupmu

Katamu kau tak akan tinggalkan aku
Sakiti aku lukai aku
Tapi kau ternyata tinggalkan aku
Sendiri
Katamu kau tak akan pernah duakan
Hatimu cintamu

Kemana perginya kamu yang dulu
Yang maunya selalu dekat dengan aku
Kemana perginya cinta yang dulu
Yang pernah kau tikam ke dalam jantungku


( Mulan Jameela – Lagu Sedih )

Lagu itu membuatku mataku mengeluarkan airmata untuk kesekian kalinya. Posisiku yang saat itu sedang di halte pun tak kuhiraukan.

Sesampainya aku di kontrakan, aku langsung membuka selimut kuning bermotif bunga – bunga ungu yang dulu dipinjamkan Bho padaku. Kuhamparkan di lantai sebagai alas tidurku dan menumpuk – numpuk lipatan baju ku untuk kujadikan bantal. Aku tak ingin bermimpi hari ini. Ga mau…

29 April….

Sayup – sayup ku dengar HPku berbunyi….

Lagu Chocobo terdengar pelan namun pasti. Aku melihat jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Aku terduduk, terpaku, terdiam masih berusaha menyadarkan diri.

‘Jam 12 siang, siapa yang telpon siang – siang begini?’, tanyaku dalam hati.

Aku segera beranjak dari atas selimutku, pelan – pelan berjalan kearah ruang depan rumah kontrakanku yang kosong melompong. Aku terduduk di lantai, berusaha menenangkan diri dan begitu kuraih HPku, mendadak deringnya berhenti.

‘Hufff…Cuma miskol kali ya?’, tanyaku dalam hati tanpa memperdulikan siapa yg telpon.

Ketika ingin beranjak kembali ke atas selimut itu, HPku berbunyi lagi.

‘Siapa siy?'
, tanyaku dalan hati kesekian kali.

Kuraih HPku, kubuka flip nya dan tertera nama seseorang yang saat itu benar – benar tak ingin kutemui atau bicara sekalipun.

‘BHO’….hati kecilku melonjak kaget.

Aku masih mempertimbangkan, akan menjawab telpon itu atau tidak, tapi akhirnya aku mengangkatnya juga.

“Halloo”, sapa suara diujung sana.

“Ya, Sa. Ada apa?”, jawabku ditengah kantukku..

“Aku mau ngomongin masalah itu, yang kamu omongin di sms sama YM”, jawabnya.

“Ya kenapa? Dah jelas kan. Ngapain ditanya lagi?”, tanyaku.

“Eh, Itu anak gwe kan?”, tanyanya dengan suara yg agak tinggi.

“Iyah. Kenapa?”, tanyaku.

“Gwe belum siap. Mending lo gugurin aja deh”, suruhnya

“Sorry Sa, gwe ga bisa”, jawabku.

“Kenapa?”, tanyanya.

“Gwe dah terlalu sayang Sa”, jawabku.

“Tapi kalo Cuma sayang gimana hidupnya nanti?”, tanyanya.

“Setiap anak punya rezeki sendiri – sendiri. Dah lah Sa, gwe bisa jalanin ini sendiri”, jawabku

“Tapi Gwe belum siap”, jawabnya.

“Kalo lo mang belum siap, gak papa. Gwe udah kok Sa”, jawabku.

“Tapi gwe ayahnya. Itu anak gwe kan?”, tanyanya.

“Ya, lo ayahnya dan ini anak lo”, jawabku ditengah tangisku yang hampir meledak.

“Gwe belum siap. Ngerti ga siy. Lo mending gugurin aja”, suruhnya.

“Sa, gwe dah berusaha ya. Gwe tetep belajar naik motor, gwe tetep jalan kesana kesini, naik pesawat, ngelakuin hal – hal yang ga boleh dilakuin ma orang hamil. Dia tetep ga gugur juga Sa. Lo mau gwe minum obat – obatan biar dia keluar?”, tanyaku.

“Kalau perlu”, jawab Bho.

“Oke…Gwe minum. Tapi kalo dia tetep ga gugur dan dia lahir abnormal, cacad, jangan salahin gwe”, jawabku sambil menahan tangisku.

“Jangan. Jangan lahir cacad. Anak gwe ga boleh cacad. Jangan sampe”, jawabnya.

“Lo tuh gimana sih? Tadi nyuruh gugurin. Sekarang kalo ternyata ga gugur, tapi lahir abnormal, ga mau. Mau lo Apa????”, tanyaku.

“Gwe maunya dia keluar dari rahim lo. Kalaupun dia lahir, gwe ga mau dia cacad. Kalo dia sampe lahir, gwe mau test DNA. Gwe bukan cowok yang kayak gitu”, jawabnya.

“Cowok yang kayak gimana?”, tanyaku sinis.

“Cowok yang lepas tanggung jawab. Gwe bukan cwok yang kayak gitu, gwe Cuma belum siap”, jawabnya.

“Kalo emang setelah test DNA, dia anak lo. Lo mau tanggung jawab gimana? Ngasih makan dia? Nikahin gwe? Hah…?? Sorry Sa, ga perlu”, jawabku dengan nada yang tinggi

Aku langsung menutup flip HPku. Emosiku mempengaruhi ku. Tak berapa lama, HPku berbunyi lagi. Aku mengangkatnya. Bho.

“Apa lagi siy Sa?”, tanyaku.

“Jadi gimana?”, tanyanya.

“Gimana apanya? Kan dah jelas. Aku ga mau kamu tanggung jawab atas apapun, My Lord. Kamu tuh Dewa, aku manusia biasa yang punya banyak dosa. Aku ga mau nambahin dosa lagi dengan menggugurkan apa yang sudah menjadi resiko ku. Kalau kamu ga mau tanggung jawab, gak papa. Aku lewatin sendiri. Ini tanggung jawabku”, jawabku meluap – luap.

“Tapi dia anak gwe. Gwe bukan laki – laki yang lepas tanggung jawab. Saat ini gwe belum siap. Jadi lebih baik digugurin aja”, jawabku.

“Ga, Sa. Makasih. Kamu tau, resiko aku melahirkan kan??”, tanyaku.

“Ya, kita pernah omongin dulu. Gwe takut. Gwe…”, jawabnya

Belum sempat dia meneruskan semuanya, aku langsung memotong ucapannya.

“Gwe ambil semua resiko termasuk kehilangan nyawa gwe Sa !!!! PAHAM??”, jawabku.

“Jangan….Jangan…Gwe ga mau. Gwe ga bisa….duuhh..gwe ga sanggup..Pliss apa susahnya gugurin siy?”, tanyanya.

“Sorry, susah buat gwe yang masih punya HATI, My Lord. Gwe pertaruhkan nyawa gwe buat dia”, jawabku.

“Jangan..Pliss..Gwe mau dimutasiin niy ke Sangata. Jangan bikin gwe kepikiran”, jawbanya.

“Kenapa lo harus kepikiran?”, tanyaku.

“Asal lo tau ya? Lo tuh ganggu gwe banget. Kenapa siy lo harus ada kabarnya? Kenapa siy kabar lo selalu bisa gwe tau? Kenapa siy? Diotak gwe tuh jadi Cuma ada lo…lo…lo…dan lo. Sampe semuanya tuh berubah. Bikin gwe ga bisa konsen maen, bikin semua temen – temen gwe Tanya kenapa gwe. Gwe tuh ga abis pikir, Kenapa siy lo nge ganggu banget?”, tanyanya.

“Sorry, kalo gwe ganggu lo. Yang bikin gwe selalu ada dipikiran lo bukan gwe, tapi ya diri lo sendiri. Otak Otak lo, kok jadi Tanya masalah itu ke gwe?”, tanyaku kembali.

“Udah, pokoknya gwe mau lo GUGURIN dia. Kalau pun dia lahir, gwe mau test DNA. Titik”, jawabnya.

“Oke. Termasuk kalo dia abnormal ya Sa”, jawabku ketus.

“Ga, ga boleh cacad. Terserah lo mau gugurinnya gimana. Yang jelas, kalau harus lahir, ga boleh cacad!”, jawabnya.

“As YOU WISH MY LORD !!”, jawabku meluap – luap.

“Ya dah, sekarang gwe mau tidur”, jawabnya.

“Oke…”, jawabku.

“Ya dah, jangan ganggu gwe…biar gwe yang cari lo”, ujarnya.

“As YOU WISH MY LORD”, jawabku dengan suara yang datar, berusaha tegar.

‘I wish u never found me, Sasa’, pintaku dalam hati.

“Ya dah….”, jawabnya sambil kemudian menutup Hpnya.

Aku menangis sejadi – jadinya…..

Kata – katanya seolah sedang membunuhku secara perlahan tapi pasti. Membunuhku perlahan dengan semua kenangan itu dan……

Aku mati perlahan – lahan…..

;;