Sabtu, 31 Oktober 2009

Love of my life - you've hurt me
You've broken my heart and now you leave me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me

Love of my life - don't leave me
You've stolen my love and now desert me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me

You will remember -
When this is blown over
And everything's all by the way -
When I grow older
I will be there at your side to remind you
How I still love you - I still love you

Ooooo
Hurry back - hurry back
Dont take it away from me
Because you don't know
What it means to me

Love of my life
Love of my life ...


( Queen – Love Of My Life )

Lagu ini mengantarkanku keluar untuk kedua kalinya dari rumah yang selama ini menaungiku. Melihatnya dari luar untuk kesekian kalinya sudah membuatku hancur berantakan.

Reaksi kakak – kakakku ketika aku turun untuk pergi kesekian kalinya beragam. Ada yang memandang marah padaku, Ada yang menangis dan pergi meninggalkanku, ada yang diam aja.

Itu memang yang kuharapkan, tidak ada caci maki dan amarah – amarah yang tidak sepantasnya. Mereka sadar bahwa itu semua resiko yang memang harus aku tanggung sendiri. Aku ingat kata – kata kakakku yang terakhir kudengar sebelum aku keluar rumah untuk kedua kalinya.

“Han, kenapa kamu harus pergi lagi dengan keadaan seperti itu?”…

Aku tidak menjawabnya dan langsung pergi keluar rumah. Untuk sementara, aku kembali ke Depok, ada tempat kosong untukku tinggal disana.

Tempat itu adalah sebuah kontrakan dengan 3 sekat didalamnya. Lantainya terbuat dari semen saja, atapnya genting tanpa langit – langit. Tidak ada tempat tidur, lemari ataupun meja, wajar jika aku menyewanya Rp. 250.000 / bulan. Belum lagi kalau hujan datang, kontrakanku biasa terendam air setinggi paha. Dengan beralaskan selimut yang kupinjam dari Bho lah setiap malam aku tidur. Makan pun dah ga nafsu lagi karena aku gak tau apa yang harus kulakukan berikutnya.

Uang dollar pemberian orangtuaku, kusimpan, hanya kusimpan. Aku pun rasanya tak mampu mencairkannya di money changer. Ini dana yang harus kusimpan untuk anakku nanti.

Terkadang, kalau rasa bosan menderaku, aku mulai mencari game centre dan bermain RF, bertukar cerita dengan teman – teman walaupun setiap mereka menanyakan kabarku, aku selalu membohongi mereka dengan alasan tidak mau merepotkan mereka lagi. Padahal, kondisiku saat itu mungkin sedang benar – benar drop.

Untuk makan, terkadang tak ada makanan apapun yang masuk ke tubuhku. Pertama karena “Morning Sickness” ku yang semakin menjadi – jadi. Kedua, mungkin karena aku tidur hanya beralaskan selimut itu, kondisi badanku jadi berantakan. Aku sulit membedakan antara “Morning Sickness” dan “Masuk Angin”, karena aku hampir merasakan mual yang hebat sepanjang hari. Tapi karena aku tak bisa sendiri, aku selalu menyempatkan diri OL RF demi teman – temanku sampai suatu saat…ketika aku sedang berada di markas karena janjian mau beli elemental dengan temanku, tiba – tiba datang menghampiri char RFku sesosok Accretia yang tak kukenal..

“Hai Cewek”, sapanya.

‘Kok dia tau ya kalo aku cewe??’, hati kecilku bertanya.

“Ya, kok lo tau gwe cewek?”, tanyaku spontan.

“Tau dong”, jawabnya.

“Tau dari mana?”, tanyaku pada char bernama ‘godtohell’ itu.

“Tau, karena gwe kenal banget lo, Beb”, jawabnya yang membuatku kaget setengah mati.

“Bho?? Sasa??”, tanyaku kaget.

“Ya..Pa kabar??”, tanyanya.

“Baik…..lo gimana kabarnya?”, tanyaku.

“Baik….”, jawabnya.

“Bikin char baru ya Sa?”, tanyaku.

“Ya….lo tumben OL?”, tanyanya.

“Iyah, lagi kangen aja. Lagian belum tau kapan bisa OL lagi”, jawabku.

“Kenapa? Mau kemana?”, tanyanya.

“Ke Aceh kali…”, jawabku sekenanya, karena aku dah ga sanggup lagi berbincang – bincang dengannya.

“NGAPAIN ???!!!!!”, tanyanya yang kelihatan hmm..entah bingung…entah heran…

“Ada deh…kenapa mangnya?”, tanyaku.

“Kamu dimana siy? Kamu ga balik ke Samarinda ya?”, tanyanya.

“Aku di atas bumi di bawah langit. Ke Samarinda lagi kok tapi entah kapan”, jawabku.

“Bener???”, tanyanya.

“Mang kenapa Sa?”, tanyaku.

“Kan dulu kamu janji bakal balik ke Samarinda lagi. Kamu boong ya?”, tanyanya.

“Boong apa?”, tanyaku kembali…

“Kamu boong kan? Kamu pasti ga akan balik ke Samarinda. Ya kan?”, tanyanya

“Apa untungnya aku balik ke Samarinda Sa?”, tanyaku

“Ada…Banyak. Tolong jangan panggil aku ‘Sasa’..”, jawabnya.

“Sorry….tapi gwe ga tau kapan kesana Ji”, jawabku.

‘entah lah Saaaa……Entah aku bisa kesana lagi apa ga. Kenanganmu, semua tentangmu membuatku semakin lemah dan lemah, Sa’, jeritku dalam hati

“Hoy..kok diem? Bener ya kamu boong kalo bakal balik ke Samarinda lagi?”, tanyanya lagi

“Bukan gitu, gwe lagi sibuk chat ma anak – anak guild”, alibiku

“Ooo…..Kamu Kok beda siy Beb?”, tanyanya.

Aku langsung keluar dari RF dan masuk lagi dengan charku yang lain, yang ga diketahui Bho. Yang tau char itu hanya gerombolan siberatku a.k.a guildku. Kala itu Bho bukan lagi anggota S.C.O.R.P.I.ON. Nama VieANKaCHu dah terlalu lama terjun di dunia per-Rfan. Begitu namaku muncul di layar chat, sudah ada yang whisp aku.

“Ras, kemana tadi?”, tanyanya dan itu ternyata Kazuya009

“Relogin, mau mainin char ini. Kenapa?”, tanyaku.

“Tadi dicariin Om KoalaDewa tuh”, jawabnya.

“Siap, nanti gwe whisp dya”, jawabku.

Aku segera membuka daftar buddyku dan meng klik kanan nama KoalaDewa dan memilih untuk ‘chat 1:1’

“Mas Yud, cari aku tadi?”, tanyaku

“Kenapa ganti char?”, tanyanya.

“Oia, mau tanya. Bho bikin char baru ya namanya ‘godtohell’??”, tanyaku.

“Ya..kenapa?”, jawab Yudha.

Aku menceritakan apapun yang tadi terjadi padaku. Pada akhirnya, aku me-non aktifkan char VieANKaCHu ku dan menggunakan char kecilku. Rasanya aku ga sanggup untuk liat Bho lagi dalam hidupku tapi entahlah. Aku juga tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bho.

Akhirnya aku menghentikan chatku dengan Yudha. Aku lebih sering chat dengan Kazuya009 atau astra46. Aku ga mau terlalu dekat dengan Yudha.

Hari – hariku kulalui dengan kegiatan yang sama. Terkadang, anak2 guild menelponku, menanyakan keadaanku. Dan akhirnya, aku harus berbohong agar mereka tidak tau tentang apa yang sedang kujalani.

28 April….

Hari itu, Hari ulang tahun ku yang entah sudah keberapa aku tak tahu. Yang kupikirkan hanya, aku ingin merasakan kebahagiaan saat itu. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari dengan begadang sampai pagi.

Aku pergi ke net yang jauh dari kontrakanku.

Menghabiskan uang dan waktu seharian disana tanpa mencari pekerjaan membuatku berpikir, untuk memulainya sekarang.

Aku menemukan sebuah kantor yang membutuhkan pegawai. Dengan pengalaman yang aku punya, aku yakin 80% mereka akan mempertimbangkan aku. Mungkin yang akan jadi masalah adalah apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak perduli, tidak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali.

Aku segera mengirimkan CV dan semua Referensi yang kupunya ke alamat email yang tertera disana. Attach semuanya dan..

‘Done!!’, jeritku dalam hati.

Tinggal waktuku berdoa, Aku ga mau manggantungkan hidupku dengan semua pemberian orangtuaku. Biar itu jadi hak anakku.

Aku bermain RF seharian hari itu. Sampai tiba – tiba aku bertemu dengan teman lamaku di RF, si BandarGanZa.

“Raaaaaaaaaaaassssssssssss!!!!!!!!!”, serunya di chat all.

“iyah, Rick”, jawabku.

“Kemana aja? Lagi dimana?”, tanyanya.

“Kan kemaren di Samarinda. Sekarang di Jakarta”, jawabku.

“Weq. Kenapa? Ada apa? Masih sama Bho kan?”, tanyanya.

Aku pun menceritakan semuanya dan Erick a.k.a Bandarganza pun marah bukan main. Dia memaki – maki Bho ga jelas di chat RF.

“Ras, lo harus bilang sama dia”, ujarnya.

“Ga bisa…gwe ga sanggup”, jawabku.

“Ga sanggup apa? Lo kudu bilang…kudu bilang sama dia”, suruhnya.

“Gwe dah tau jawabannya Rick, dan gwe kayaknya ga sanggup denger kata – kata itu eluar dari mulut dya lagi”, jawabku.

“Lo ga usah telpon dia. Sms aja atau tinggalin pesen di YM kek. Pokoknya harus bilang Ras”, suruh Erick.

Akhirnya, setelah perdebatan panjang dengan Erick, aku mulai memberanikan diri mengirimkan sms pada Bho tentang keadaanku, tapi tak ada balasan. Akhirnya sebelum aku mengakhiri hariku, aku mengirimkan sebuah offline messege via YM ke YMnya Bho, yang berisi :

Sa, maaf kalo aku harus ngomong ini sama kamu. Ya, aku hamil Sa. Tapi kamu ga usah takut, aku dah tau jawaban kamu seperti apa. Jadi, aku dah mengambil keputusan ini dari awal. Aku tetap mempertahankan semuanya tanpa ada kamu. Kamu ga perlu bertanggung jawab atas ini, aku pasti akan baik – baik aja walaupun kamu tahu resikonya besar. Kirim doa aja ya Sa. Aku juga ga akan pernah benci sama kamu dan aku juga ga akan pernah buat si kecil benci sama kamu. Seburuk – buruknya kamu tetap ayahnya dan aku ga mau dia jadi ga hormat sama kamu kalau suatu saat kalian ketemu secara ga sengaja. Kejar kebahagiaanmu Sa.

Aku mengirimkan 2 offline msg padanya…karena ga cukup kalo 1 offline msg.

Aku mengakhiri petualanganku hari itu dengan perasaan tak menentu. Aku pulang ke kontrakan dengan perasaan yang….haaahh…sedih, karena aku akan benar benar kehilangan Bho.

Entahlah…mungkin memang perasaan ini yang harus kurasakan di hari Ulang Tahunku.

Dulu Aku mengharapkan bisa menghabiskan hari ulang tahunku dengan Bho…tapi sudahlah….

Tinggal saat ini aku menunggu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya……entahlahh….

Aku..pasrah…..

Rabu, 21 Oktober 2009

'Han....Han..'...

Sebuah tangan membelai – belai rambutku. Aku terbangun dan kulihat kakak perempuanku di hadapanku. Wajahnya mengingatkan aku pada wajah ibuku. Wajah yang teduh, keras tapi lembut sebenarnya.

“Ngapain tidur disini? Dari kapan tidur disini?”, tanya kakakku.

“Ga...Ga papa”, jawabku dengan setengah mengantuk.

“Dah, cuci muka sana. Ada Nasi Goreng tuh di meja makan, makan!”, ujar kakakku.

Aku segera terduduk dan merapikan pakaianku. Tak sadar, aku masih pakai baju yang sama ketika aku datang. Aku segera menghampiri meja makan itu, meja yang hampir beberapa tahun tak pernah kulihat.

“Masih suka 'Toto Dahar' ya mba?”, tanyaku.

“Masih”, jawab Kakakku.

Toto Dahar ( Menyiapkan Makanan ) di meja makan memang sudah jadi tradisi. Setiap pagi, siang jam 12 dan sore jam 5. Dulu selalu bagianku yang Toto Dahar, karena memang aku yang masak semua makanan ditemani pembantuku, Mba Iyem.

Aku membuka tudung saji itu, tudung saji yang sudah berada dirumahku sejak aku kecil mungkin. Terbuat dari rotan yang kuat dan tampak kokoh, banyak kenanganku dengan benda yang satu ini.

Aku melihat makanan yang tersedia disitu..

“Han, mang nasi gorengnya ga seenak buatan Hanna dulu. Mba ga bisa bikin yang kayak gitu”, ujar kakakku.

“Mang yang kayak gimana? Sama aja kok”, jawabku.

“Beda. Coba sekarang kamu bikin sendiri di dapur, pasti beda”, suruh kakakku.

“Masa”, jawabku.

Aku diajak kakakku ke dapur dan aku meracik beberapa bumbu untuk buat nasi goreng yang katanya kakakku cuma bisa aku yg buat. Setelah selesai, beserta pelengkapnya yaitu telor dadar gulung yang dipotong – potong, kakakku maksa nyobain.

“Hmmm..beda kan....”, ujar kakakku.

“Sama Mba....”, jawabku.

“Beda Hanna, buatan Hanna buat Mba aja. Hanna makan yg di meja makan ya!”, suruh Kakakku.

“Waduh....ya deh, ga papa”, jawabku sambil senyum – senyum.

Aku melihat kakakku yang lahap menyantap nasi goreng buatanku dengan perasaan terharu, sedikit. Udah lama ga liat wajahnya, mukanya agak sedikit tirus, kurus.

“Han, tau ga?”, ujar kakakku.

“Apaan Mba”, jawabku.

“Mba kangen sama kamu, masakan kamu kayak masakan Ibu. Mba ga bisa bikin yang kayak gini”, jawab kakakku.

“Biasa aja Mba, semuanya sama kok”, jawabku.

“Beda. Kamu jangan kemana – mana lagi ya Han. Pliss”, jawab kakakku.

Aku tersedak. Mendengarnya memohon padaku seakan – akan aku benar – benar diharapkan dirumahku tapi kalau mereka tau keadaanku, apa mereka akan menerimaku?

“Hmmm..Mba, Hanna nanti mau ngomong sesuatu. Mas – Mas kapan dtg kesini?”, tanyaku.

“Mau ngomong apa?”, tanya kakakku.

“Sesuatu yang perlu diselesaikan dan aku butuh solusi”, jawabku.

“Penting banget Han?”, tanya Kakakku.

“Buat Hanna penting tapi entah buat kalian”, jawabku.

“Bentar lagi kok dateng, ada apa siy Han?”, tanya kakakku.

“Pokoknya, kalo nanti Mba dah tau, Mba mungkin mikir 2 kali buat nyuruh aku tinggal lagi dirumah”, jawabku.

“Kenapa?? Kamu terlibat utang? Dicari orang?”, tanya kakakku.

“Ga, bukan itu. Ini menyangkut nyawa sebenernya”, jawabku.

“Kamu bunuh orang???!!!”, tanya kakakku panik.

“Enggak...ampun. Ntar juga Mba tau deh”, jawabku sambil bangun membawa piring ke dapur.

Kakakku kubuat bingung setengah mati. Aku pun mulai mempersiapkan diri menghadapi kakak – kakakku. Aku mandi untuk menyegarkan diriku. Aku kembali ke kamar dan tiba saatku membuka Bunker Rahasiaku.

Aku membukanya perlahan agar suaranya tak terdengar. Perasaanku campur aduk ketika aku melihat tumpukan benda itu di depanku.

Sebuah amplop coklat dan sebuah kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” masih berada ditempatnya. Surat – surat rumah dan dokumen – dokumen penting juga masih tersimpan rapi disana.

Aku membuka kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” terlebih dahulu. Perlahan aku membukanya dan aku terpaku setelah melihat apa isinya.

Kotak perhiasan ibuku.

Aku membukanya dan munculah seorang balerina yang menari diiringi suara musik yang sudah lama tak kudengar, dulu kupikir ini lagu apa. Tapi kini kutau, kotak perhiasan itu memainkan lagu 'Unchained Melody'...terdengar terbata – bata tapi aku masih mampu menyanyikannya..

Lonely rivers flow to the sea, to the sea
To the waiting arms of the sea
Lonely rivers cry, wait for me, wait for me
To the open arms, wait for me

Oh, my love, my darling
I've hungered for your touch, a long lonely time
And time goes by, so slowly and time can do so much
Are you, still mine?
I need your love, I need your love
God speed your love to me


Tak terasa, airmataku mengalir, mendengar, menyanyikan lagu itu sambil melihat si balerina berputar diatas tempatnya.

Aku meraih sesuatu didalamnya. Sebuah kantong kertas kopi mungil dan aku membuka isinya..

'Anting – antingku waktu SD', ujarku dalam hati kegirangan.

Aku mengembalikan isinya ke dalam kantong itu. Membuka bungkusan yang lainnya...


'Gelang giok hadiah ulang tahun ke 6 dari ayah'
, ujarku dalam hati tak kalah girangnya.

Aku mengembalikannya....membuka semuanya. Isinya ada batu – batu ruby, intan yang ibu beli di Martapura dulu, 1 set batu kecubung punyaku, semuanya. Termasuk cincin – cincin Ibuku yang waktu kecil pernah aku komplain karena Ibuku kok kayak 'Toko Mas Berjalan', sejak itu, ibu tak pernah memakainya lagi.

Aku tak mengerti tentang semua ini.

Aku kemudian membuka amplop coklat itu. Berdebu. Kusobek ujungnya sedikit dan kubuka perlahan ujungnya. Aku mendapatkan beberapa helai kertas dengan tulisan khas ibuku. Tulisan sambung miring besar – besar khas Ibuku. Belum aku membacanya, melihat tulisannya sudah membuatku merindukannya. Aku membacanya perlahan.

Hanna,

Mungkin berat buat ibu untuk tulis ini buat Hanna karena ibu tau kalau Hanna sayang sama ibu. Ibu juga sayang Hanna. Satu yang Ibu minta dari Hanna, Jangan pernah sekali – kali tinggalin kakak – kakak Hanna. Mereka tidak akan pernah bisa bertahan tanpa Hanna. Hanna sudah seharusnya jadi penengah, sayang. Ibu tahu Hanna bisa.

Untuk masalah cinta, Ibu kira, Hanna pasti bisa belajar dari pengalaman.

Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur, ketika kita menangis, ketika kita membayangkan, ketika kita berciuman?

Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT.

Jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamu benar - benar mencintai MELAINKAN… BERJUANGLAH demi cintamu.

Itulah CINTA SEJATI

Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan DARIPADA berjalan bersama orang ‘yang tersedia’.
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai DARIPADA orang yang berada di sekelilingmu.
Lebih baik menunggu orang yang tepat karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang dengan hanya dengan ’seseorang’.

Kadang kala, orang yang kamu cintai adalah orang yang PALING menyakiti hatimu dan kadang kala, teman yang membawamu ke dalam pelukannya dan menangis bersamamu adalah cinta yang tidak kamu sadari.

Kenapa ibu tulis ini semua, karena ibu sadar kalau ibu tidak akan pernah bisa berbagi semuanya dengan Hanna, Hanna harus belajar sendiri.

Jika saja kehadiran cinta sekedar untuk mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir. Tapi itu tidak boleh Hanna ikuti ya. Percaya semua pasti ada jalannya. Ibu tau anak Ibu pasti bisa.

Hanna, Ibu minta maaf karena ibu ga bisa dampingi Hanna seperti janji Ibu dulu. Allah siapkan jalan lain buat Ibu dan itu pasti yang terbaik, sayang. Ibu tau Hanna mampu lewati segalanya. Cobaan itu adalah bukti kalau kita masih diperhatikan dan diberi kesempatan untuk belajar, sayang. Jangan takut ya, Anak Ibu pasti bisa.

Jangan lupa doain Ibu sama Ayah, Sayang. Simpan kotak perhiasan itu untuk kado pernikahan dari Ayah sama Ibu. Ambil amplop putih di dasar kotaknya. Cuma itu yang Ayah sama Ibu bisa sisihkan untuk Hanna sebagai permintaan maaf Ibu sama Ayah.

Peluk Cium sayang buat Hanna dari Ibu..



Aku....aku hanya bisa menangis sejadinya. Aku membaca suratnya, dengan tulisan tangannya, membuatku merasakan kehadirannya dihatiku, disampingku saat itu sambil memelukku.

Aku rindu pelukannya yang dapat menenangkanku kalau APS ku kambuh, Tangannya yang cekatan ketika darah sudah membasahin bajuku. Rasanya aku hanya bisa merepotkan beliau dulu. Aku belum sempat membalas apa yang sudah mereka perjuangkan untukku, tapi mengapa mereka sudah memberikan sesuatu lagi untukku.

Aku segera mencari dimana amplop putih yang ibuku maksud. Sesudah mengeluarkan semua isi kotak perhiasan ibuku, terlihatlah amplop itu. Kuambil, kubuka perlahan...

Aku terperangah dan tangisku meledak....apa yang mereka pikirkan waktu itu.

Aku menemukan berlembar – lembar uang dollar pecahan $100 di dalam amplop itu, entah berapa lama dan dari mana mereka mendapatkannya, yang jelas, aku shock.

Perutku mendadak kencang, entah kenapa. Terasa sakit yang luar biasa. Aku memegangi perutku sambil menyandarkan punggungku ke dinding.

'duuhhhh', hatiku mengaduh.

Aku berusaha berjalan berjalan perlahan ke kasurku. Merebahkan diriku diatasnya dan berusaha tenang. Yang aku pikirkan hanya, aku ingin sesuatu yang ada dalam perutku aman. Aku tak sanggup jika harus kehilangan dia setelah kehilangan ayahnya.

Setelah lama ku berpikir dan menimbang, aku memutuskan akan mengatakan segalanya kepada keluargaku, agar mereka tau kalau aku sedang hamil dan bukan ingin meminta perlindungan, hanya meminta nasihat. Walaupun mungkin, belum tentu nasihat itu akan aku terapkan.

Aku berusaha meredakan rasa tegang di perutku.

Aku keluar kamar dan berharap semuanya sudah datang. Ternyata feelingku benar, Kakak – kakakku sudah mulai berdatangan dengan berbagai macam tujuan. Ada yang memang mau praktek, ada juga yang Cuma mau transit aja di rumah. Mayoritas kakak – kakakku dan kakak iparku berprofesi sebagai dokter. Kebetulan ayahku seorang dokter dan mereka sekarang yang meneruskan.

“Han, dah makan?”, tanya Kakakku.

“Hmmm..udah tadi pagi, Hmm..Hanna mau bicara sebentar, boleh?”, tanyaku.

“Ada apa?”, tanya kakak – kakakku hampir bersamaan.

“Ini masalah Hanna sebenarnya. Hanna Cuma ingin Mas – Mas sama Mba tau. Tapi Hanna ga mau minta belas kasihan atau ada yang marah – marah disini, karena Hanna dah terima semuanya dengan ikhlas se-ikhlas – ikhlas nya”, jelasku.

“Ada apa siy Han????”, tanya Kakakku yang kedua.

Aku mulai menceritakan semuanya. Awal pertemuanku dengan Bho sampai aku bisa berangkat ke Samarinda. Aku tak melewatkan sedikit pun cerita itu, tidak melebih – lebihkan dan tidak menguranginya. Semuanya jelas. Tanggapan mereka beragam, ada yang biasa aja ada juga yang antusias mendengarnya.

Ketika aku mulai menjelaskan ada apa denganku dan inti dari pertemuan itu, mereka mulai curiga kalau ada yang tidak beres denganku.

“Han, To The Point aja deh, ada apa?”, tanya kakakku yang ketiga.

“Ok, setelah Hanna kasih tau sebenernya ada apa, Hanna mohon, Hanna minta maaf. Hanna langsung pergi dari sini”, jelasku.

“Eh, kenapa??”, tanya kakak perempuanku panik.

“Hmmm….maaf semuanya. Hanna….Hamil!”, jawabku.

Serentak, semuanya terdiam….

“Ini, dulu Ibu titipkan ini ke Hanna. Trus ini ada kotak perhiasan ibu juga yang ibu titip ke Hanna”, jelasku.

Aku tak mendapat tanggapan apapun dari kakak – kakakku, mereka hanya duduk terdiam, ada juga yang menutup wajahnya, bingung.

“Ini di suratnya ibu sebenernya buat Kado Pernikahan Hanna, tapi kayaknya sekarang ga perlu lagi. Lebih baik kalian aja yang pegang, Hanna ga perlu. Ini surat rumah dan dokumen – dokumen lain. Hanna pamit”, jelasku lagi.

Aku pun bangkit dari dudukku, menahan tangisku. Aku langsung bergegas menuju kamarku untuk membereskan semua yang tersisa. Setelah menutup pintunya, aku tidak dapat menahannya lagi...


'Bu, Yah, Maafin Hanna...'
, bisikku pada keduanya.

Aku tau kalau akhirnya akan begini….Aku tau…

Selasa, 20 Oktober 2009

Aku merasakan perasaan yang tidak dapat bisa kukatakan dengan bahasa apapun. Andai terjadi sesuatu yang membuatku kehilangan nyawaku di dalam pesawat itu, aku pun mungkin tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa diam didalam pesawat, gak mikir apapun.

Mp3 Playerku kembali kunyalakan setelah lampu peringatan untuk boleh menyalakan alat – alat elektronik kecuali HP mati.

All alone.. somewhere far away from home
In a lonely place where no one knows your name
Lost inside a corner of your mind
Looking for a place to hide and none to find

Back in the days when you were just a child
The sun rays dance eternally
And when you least expect it
You hear a voice inside
Telling you to begin the life of your dream

You have the power to believe
Take a look inside your heart
A road is waiting for you
The truth is written in the stars
No matter who you are

You feel the force of love

Like a wind, blowing high above the cloud
You were moving fast but couldn’t touch the ground
Think of the days when you were just a child
You felt a joy so tenderly

And if you stop to listen to what you feel inside
You can be everything you wanted to be

You have the power to achieve
If you reach inside your heart
Your wish is waiting for you

The truth is written in the stars
No matter where you are

All the pain and tears and broken dreams,
Flowing like a river
It’s never easy to see

Trust what you feel
And just keep your spirit free
You can be all the things you wanted to be
In your dreams

You have the power to believe
Make a promise in your heart
Your future’s waiting for you

The secret in the sky above
Like a shooting star

It’s written in the stars


( LIA – The Force of Love )

Lagu ini kuputar berulang – ulang sampai tak terasa kalau pesawat yang kunaiki akan segera Landing di Bandara Soekarno – Hatta. Lagu ini mengingatkan semuanya, Masa Kecilku, Keluargaku, Aji, Teman – temanku dan sesosok makhluk yang skrg berdiam di rahimku.

Pesawatku Landing dengan mulus. Aku segera bersiap – siap untuk turun. Memakai kacamata hitamku, menyembunyikan raut wajahku yang dapat kupastikan pasti dah kaya mayat idup a.k.a zombie.

Kuambil Helm VOG hitamku dan kubawa menyusuri lorong keluar dari pesawat itu.

Huuffttt…akhirnya…JAKARTA…

Aku melihat pemandangan yang waktu itu aku lihat sebelum aku pergi ke Samarinda. Pada saat itu, hatiku masih berwarna. MEJIKUHIBINIU…Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu. Tapi sekarang yang ada Cuma hitam pekat bercampur dengan coklat sebahai bentuk kerisauanku.

Aku mengikuti arus manusia di depanku karena I have no clue, jalannya kemana. Ini pertama dan terakhir ( I hope…. ) aku pergi kemana – mana sendiri. Aku berjalan seakan – akan aku sudah tau aku akan menuju kemana, walaupun sebenarnya aku hanya mengikuti arus yang ada.

Akhirnya aku tau kemana arus manusia ini berjalan, ke area bagasi. Aku lalu mencari telpon genggamku, menyalakannya dan memberitahu teman – teman Scorpie ku kalau aku sudah sampai Jakarta.

‘Delivered’, hatiku membaca tulisan dilayar telpon genggamku.

Aku menunggu bagasiku keluar, berharap – harap cemas tapi tetap tak bisa berpikir apapun. Tiba – tiba ada sms masuk ke HPku. Aini.

‘Kak, sudah sampai kah? Aini minta maaf karena ceritakan semuanya ke Abang – abang Aini. Mereka nggak mau Kakak pergi ke Jakarta. Kakak jangan marah sama Aini ya..’

Sms dari Aini tak kubalas. Aku mulai berpikir, aku mau tinggal dimana. Aku mulai memikirkan untuk pulang kerumah, mengecek semua simpanan di bunkerku. Aku mau mulai membuka diri kepada keluargaku. Aku membuka flip HPku dan mengetik nomor telpon rumahku. Kutekan tombol Call di Hpku..

“Halooo”, sapa suara diujung sana.

“Mas, ini Hanna”, jawabku.

“Hanna??!!!...kamu dimana??!!!”, tanya suara disana yang kutau adalah suara Mas Yuli ku.

“Bandara”, jawabku yang sudah mulai menangis karena rasa kangen.

“Ngapain? Mau kemana??”, tanya kakakku.

“Baru pulang dari Samarinda. Nanti Hanna pulang kerumah. Ya?”, jawabku.

“Bener??? Mas tunggu!!”, jawab kakakku antusias.

“Ya dah, skrg Hanna cari kendaraan dulu kesana”, jawabku.

“Mas jemput…Mas Jemput”, jawab kakakku.

“Ga usah, Hanna naik taksi aja atau bis. Ya?”, jawabku.

“Kamu berubah. Dulu kamu selalu minta dijemput”, ujar kakakku.

“Hanna dah gede Mas. Dah ga pantes minta dijemput kalo bisa pulang sendiri”, jawabku.

Dalam hatiku, aku mau dijemput kakakku, Cuma aku mau tunjukkin kalau aku bukan anak kecil lagi. Lucu memang tapi entah, pengalaman yang baru saja kulewati membuat hatiku seperti beku, seakan – akan aku ingin belajar jadi wanita yang tegar. Aku ga tau kalau kakak – kakakku sudah tau keadaanku yang sebenarnya. Mungkin aku ga akan dianggap adik lagi.

Aku ga perduli. Aku Cuma mau cek amanat dari Ibuku.

Kemudian aku melihat tas hitamku keluar dari bagasi, aku menunggunya berjalan kearahku. Kuambil, lalu kubergegas keluar dari ruangan itu. Aku tak berharap teman- teman Scorpie ku akan benar – benar menjemputku, tapi aku tiba – tiba melihat sebuah kertas besar bertuliskan sesuatu yang membuat airmataku berjatuhan lagi dibalik kacamata hitamku.

“WELCOME ABOARD VIEANKACHU”…..

Aku terpaku. Melihat semua teman – temanku dihadapanku. Mereka menghampiriku yang hanya terpaku dan kemudian memelukku.

“Ras……jangan nangis dunk”, ujar Satria yang memelukku.

“Huuh”, hanya itu yang keluar dari bibirku.

Aku lihat wajah mereka satu persatu, mereka masih sama. Mereka berusaha menenangkanku. Mungkin, orang – orang disana heran melihatku dikerubungi cowok – cowok..hehehe…maklum, aku wanita satu – satunya di Guild ku….

Mungkin buat orang – orang baru di Guild ku, mereka ga tau siapa aku. Tapi buat orang – orang lama, yang pernah berjuang sama – sama, aku bukan orang asing lagi.

“Ras, kamu mau kemana skrg?”, tanya Panca.

“Pulang kerumah trus mau cari kost, Nca”, jawabku.

“Rumah mana?”, tanya Jho.

“Tangerang, pada ikut yuk. Trus temenin cari kost. Tapi nanti Ras mau minta tolong sama Mas Andi aja buat cariin kost di depok”, jawabku.

“Ya, dah…kita temenin. Tapi ada makanan kan drumah lo?”, tanya Satria.

“Ada”, jawabku sambil senyum – senyum.

Semuanya tertawa. Aku senang kembali ke Jakarta. Mereka tau semua kesulitanku, tapi mereka seakan – akan tidak mau memperlihatkannya kepadaku.

Sepanjang perjalanan ke rumahku, mereka mempertanyakan keadaanku dan semua hal yang sudah terjadi di Samarinda. Jho kembali meledak – ledak sementara yang lain berusaha menenangkan.

“Ras, keluarga lo dah tau masalah ini?” tanya Panca.

“Blom. Nanti mau dikasih tau”, jawabku.

“Kenapa lo ga tinggal dirumah aja?”, tanya Satria.

“Kalau mereka tau keadaan gwe, apa mereka masih mau gwe tinggal dirumah?”, tanyaku.

Semua terdiam.

Sesampainya aku dirumah, aku kebingungan. Semua keluarga besarku ada disana. Begitu aku menampakkan diri di depan pintu rumah, Mas Yuliku langsung berteriak..

“Hanna dah sampe tuh…..”, ujarnya.

Sontak semua isi rumah keluar menghampiriku. Teman – temanku sampai terkagum – kagum melihatnya. Selesai mereka memelukku, menciumku, aku segera memperkenalkan teman – temanku. Keluargaku berubah total, entah kenapa.

“Ras, kenapa lo bisa pergi ninggalin keluarga yang kayak gini? Rumah yang kayak gini?”, tanya Satria.

“Maksudnya?”, tanyaku.

“Rumah lo besar, bagus. Keluarga lo ramah. Kenapa?”, tanyanya.

“Everybody changing, Sat. Gwe aja masih bingung”, jawabku.

Melihat keadaan itu, aku belum berani bicara apapun. Aku terpaksa menginap dirumah dan membiarkan teman – temanku pulang. Aku segera naik ke atas, masuk ke kamarku. Kamar yang berisi semua kenangan itu.

Menutup pintunya….Melihat sekeliling….

‘Ahhh…bendera Union Jack ku’, dalam hati…

Semuanya masih sama. Tak terasa, airmataku keluar lagi. Kubuka semua laci kontainerku yang terakhir kuisi dengan komik – komikku…dan ternyata, masih sama..

‘Pank Ponk, Doraemon, serial – serial cantik’, hmmm….

Semuanya masih sama.

Rasanya semua kenangan itu kembali masuk dibenakku. Kenakalan masa kecilku, Main layangan, huufftt..aku jadi kangen kedua orangtuaku. Mereka terlalu banyak memberiku kenangan indah yang dapat membuatku menangis seketika dan sadar bahwa aku tidak akan mendapatkannya lagi. Semuanya ga akan sama lagi.

Hari itu kupuaskan hatiku mengenang semuanya.

Ketika semua sudah tertidur lelap, aku turun kebawah. Menatap foto – foto waktu kami masih lengkap, berjajar rapi disepanjang dinding tangga. Lukisan cat minyakku masih terpajang manis ditangga itu. Meja makan bundar berkursi 6 yang dilengkapi meja putar kecil ditengahnya pun masih sama, walaupun dulu kacanya sering pecah.

Aku menghampiri televisi sharp 21 inch diruang TV. Remotenya dah ilang, alhasil, untuk ganti channel, biar ga capek, kami pun sering menggantinya dengan kaki. Jempol kaki kami sudah lihai mengganti channelnya setiap nonton TV.

Aku menuju ruang tamu. Ada lukisan cat air berukuran besar bergambar Ayah dan Ibuku. Rasanya kangen liat itu. Foto – foto kakakku dari yang pertama sampai aku tergantung disitu. Aku juga melihat sketsa pinsil bergambar wajah ayahku yang digambar Mas Yudi, kakakku no. 4. Aku menyentuhnya dan seakan – akan, aku menyentuh wajahnya.

“Yah, Hanna Kangen!!”, ujarku yang spontan keluar dari mulutku.

Aku terduduk di sofa ruang tamuku. Mengambil album foto keluargaku. Melihatnya. Melihat fotoku ketika masih bayi, membuatku berpikir,

‘Akan seperti apa wajah anakku kelak? Sepertiku atau ayahnya?’, hatiku bertanya.

Melihat foto – fotoku, membuatku menangis. Benar yang dikatakan Ben….

“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”…

Ya, mereka memang berjuang berdua, tapi aku yakin bisa berjuang sendiri. Entah harus mulai dari mana. Tapi aku yakin, aku mampu memperjuangkan apa yang sudah aku dapatkan. Aku juga harus mempertanggung jawabkan apapun yang sudah kulakukan, karena Hanna bukan pengecut..

‘Hanna pasti bisa Bu’, bisikku dalam hati dan berharap Almh. Ibuku mendengarnya.

Malam itu aku tertidur di sofa dan melupakan semuanya. Berada disekeliling kenangan itu, membuatku nyaman dan membuatku merasa bahwa aku bisa melewati semuanya.

Tapi apa keluargaku bisa menerimanya????

Jumat, 16 Oktober 2009

PART 21 – FEEL NUMB….

Ketika aku memutuskan me-non aktifkan HPku, aku melihat di informasi bahwa pesawat tujuan Jakarta dengan maskapai penerbangan yang akan aku naikin sudah bisa ambil Boarding Pass. Aku segera memasuki ruangan Boarding Pass dan mengambil Boading Pass-ku.

‘15C’, bisikku dalam hati.

Huuffttt…oke. Aku segera memasuki Waiting Room, bayar Airport Tax and then, cari kursi buat menyendiri. Merapikan penampilan dan uppzzz..aku teringat kalau aku belum mengabari teman – teman scorpie ku di Jakarta. Mau ga mau, aku segera menyalakan kembali HPku dan berharap Ben atau siapapun tidak menelponku untuk membicarakan ttg Bho.

Aku segera mengirimkan sms kepada Panca..

‘Delivered’….bisikku dalam hati.

Aku kembali berusaha mematikan HPku. Tapi tiba – tiba, hpku berbunyi…Ben!

“Ya Ben?”, jawabku dengan suara sengauku.

“Maaf, gwe terlalu lancang ngomong kayak gitu sama lo, padahal kondisinya lo pasti lagi..hmm..sorry Vie”, jelas Ben.

“Ga papa, Vie juga minta maaf. Vie masih belain Aji, maaf ya Ben”, jawabku.

“Ga papa, wajar kok lo masih belain dia, lo sayang kan ma dia, ya kan?”, Tanya Ben.

“Seumur hidup gwe, gwe sayang sama dia, Ben. Ga ada niat buat musuhin dia. Gwe Cuma…”. Jawabku tertahan tangisku yang sudah mulai meledak.

“Cuma apa?”, Tanya Ben.

“Cuma…..memang dia bukan buat gwe. Dia bilang kalo dia ga mau, ga suka dipaksa seakan – akan harus jadi sama gwe. Itu alasan gwe kenapa gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku.

“Shh***tt, kenapa dia ngomong gitu?? Lo hamil anak dia Vie, dia harus tanggung jawab”, jelas Ben.

“Memang dia seharusnya tanggung jawab, entah apa alasannya. Yang jelas gwe ga mau paksa dia tanggung jawab kalo seandainya dia mau. Gwe ga mau kalo seandainya dia tanggung jawab trus dia kesel sama anak – anak gwe nanti, masalah ini diungkit – ungkit lagi. Gwe ga mau!!”, jawabku.

Tangisku sudah meledak saat itu….aku tak bisa berpikir apa – apa.

“Kenapa jauh amat siy pikiran lo?”, tanyanya.

“Ga ada salahnya mikir jauh kan Ben??”, tanyaku kembali.

“Memang ga salah Vie, Cuma…aduh….kenapa ga bilang sama anak2 disini siy?”, tanyanya.

“Ga..cukup dah ini jadi urusan gwe”, jawabku.

“Huuufffttt…when will I see your smiling face again, Vie? Lo ke Samarinda lagi kan nanti?”, tanyanya.

“Maybe….I don’t know when will u see my smiling face again. Maybe, there’s no smiling face, Ben”, jawabku di tengah tangisku yang makin tak bisa kubendung.

“Jangan…kita, gwe terutama, suka liat lo senyum. Ada lesung pipitnya. Senyumlah Vie. Udah, Aji….Aji…Aji mang manusia terbodoh yang pernah gwe tau”, jawabnya.

Mendengar Ben berkata seperti itu, aku Cuma bisa menangis dan menangis. Rasanya semuanya buyar. Apa yang sudah aku dan Bho bicarakan dulu seakan terbang melayang entah kenapa. Aku sudah tidak bisa menangkapnya, meraihnya pun aku ga sanggup.

Semua kenangan manis itu ternyata benar Cuma manis dibibir saja. Aku sama sekali terlalu terhanyut oleh yang namanya Cinta. Cinta yang awalnya terlihat indah, berubah jadi kelam dan hitam.

“Vie….Vie….”, suara Ben memecahkan lamunanku.

“Iyah Ben, maaf. Gwe jadi inget lagi semuanya”, jawabku terisak.

“Iyah, sekarang lo dah dimana?”, Tanya Ben.

“Waiting Room, kenapa?”, tanyaku.

“Lo bener – bener pergi, Vie?”, Tanya Ben.

“Ya, Vie pamit. Vie pergi. Salam buat Eki, Bang Jo, Bang Ogi, Bang Adam, semuanya”, jawabku.

“Ya, Jo sama Adam ada disini. Eki juga. Anak – anak mau ketemu lo, tadinya kalo memang lo bisa balik ke Samarinda, Jo dah bawa mobil siap berangkat Balikpapan. Aini juga mau datang, tapi Vie pergi ya?”, tanyanya lagi.

“Iyah”, jawabku.

“Aaaaarrgghh…sshhh***tt banget siy. Gwe ma anak – anak disini kayak apa jeleknya coba”, jawab Ben.

“Jelek kenapa?”, tanyaku.

“Jelek gara – gara Aji”, jawabku.

“Kenapa? Kok Bisa gara – gara dia?”, tanyaku heran.

“Dia bikin malu kami – kami disini. Dia laki – laki, kami disini juga laki – laki. Kami pantang tak bertanggung jawab atas apa yang sudah kami lakukan. Kalau kami tak bertanggung jawab, malu kami sama orangtua, muka tuh mau ditaro dimana. Kalau sudah kecemplung berdua, basah ya basah berdua sekalian, paham kan?”, Tanya Ben

“Ya….”, jawabku yang diselingi suara pemberitahuan kalau penumpang pesawat tujuan Jakarta, sudah bisa masuk ke pesawat.

“Ben, Vie bener – bener harus berangkat. Pamit ya”, ujarku.

“Ya, ati2 ya. Kalo ada apa – apa kabari kami disini. Ya?”, jawab Ben.

“Ya…”, jawabku.

Aku segera mengemasi semuanya, termasuk Helm VOGku. Aku berjalan menuju pintu keluar setelah Boarding Pass – ku diperiksa dan aku kembali ke lapangan dimana pertama kali aku mendaratkan kakiku di Balikpapan. Kupasang kacamata hitamku karena airmataku sudah tak dapat kubendung lagi. Masih kuingat suara itu…

"Hallo beb, dah dimana?", tanyanya.

"Masih di Jakarta", jawabku.

"Hah?????", jawabnya.

"Boong denk...dah di Sepinggan", jawabku sambil terkekeh.

"Pantes, suaranya jernih, deket", jawabnya.


Airmataku membuyarkan pandanganku. Aku berhenti sejenak sambil melihat Pesawat McDonnell Douglas Maskapai Penerbangan itu didepanku.

‘Apa aku benar – benar akan meninggalkan dia?’, tanyaku dalam hati.

Aku melangkahkan kakiku dengan pasti walaupun rasa sakit ini menusuk – nusuk hatiku. Aku menaiki tangga pesawat dengan perlahan, menenangkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik – baik saja.

Aku menemukan kursiku, 15C. Dipinggir lagi.

Aku menaruh Helm VOG ku di tempat penyimpanan barang lalu duduk manis sambil sesekali menyeka airmata yang masih dengan semangatnya keluar dari mataku. Kupasang Earpiece MP3ku dan kunyalakan playernya…

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu

Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa… Begini…

Oh Mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada disini menemaniku
Oh Mungkinkah kau yang jadi
Kekasih sejatiku
semoga tak sekedar harapku
Bila
Kau menjadi milikku
Aku takkan menyesal
Telah jatuh hati

Semoga tak sekedar harapku..


( Monita – Kekasih Sejati )

Pesawat pun segera berjalan, diiringi lagu itu, aku menggantungkan semuanya, melupakan semuanya. Melupakan dia…..Aku mematikan MP3 Playerku.

Seandainya dia memang Kekasih Sejatiku…..Ternyata hanya harapku…

Could I Keep you in My heart??? ….Feel like NUMB….

Rabu, 14 Oktober 2009

Tak terasa aku sudah meninggalkan Samarinda, sekarang Bis ini membawaku ke Balikpapan, meninggalkan semua kisah itu dibelakang dan sepertinya aku enggan mengingatnya lagi.

Aku langsung mengirimkan sms kepada Eki untuk membatalkan PSPnya. Eki sempat menanyakan semuanya padaku. Dia menelponku tak lama setelah aku mengkonfirmasi semuanya. Aku sudah menjelaskan semuanya dan dia cukup kaget mengetahui aku sudah di bis menuju Balikpapan untuk segera kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalananku, Eki tetap menghubungiku, menanyakan segalanya dan aku gak bias menutupi semuanya. Tangisku pecah saat itu dan Eki hanya bias terdiam. Awalnya dia ingin pergi ke tempat Bho biasa main, menanyakan semuanya, tapi aku menahannya.

“Aini tau Vie soal ini?”, tanyanya.

“Ya tau”, jawabku.

“Kenapa ga bicara sama kami disini semuanya. Pasti kita bisa bantu, ga gini caranya”, jawabnya.

“Wew, kalo memang Vie cerita, mang Eki sama yang lain mau apa? Paksa dia untuk tanggung jawab? Kayaknya ga ada gunanya”, jawabku.

“Kenapa memangnya?”, tanyanya.

Aku menceritakan semuanya pada Eki, Eki ga bisa bilang apa – apa.

“Kamu ga pernah kenalan sama temen – temennya dia, Vie?”, Tanya Eki.

“Aku hampir kenal semua namanya, tapi aku ga tau yang mana wajahnya”, jawabku ditengah tangisku.

“Shhh****tt….kenapa ga bilang pas kamu disini siy? Kita disini bisa bantu kamu. Lagi Aini kenapa ga bilang lagi”, jawab Eki.

“Ki, udah deh. Ga usah ngomongin dia lagi. Vie bingung”, jawabku yang dibarengi dengan putusnya telpon tersebut karena sinyal drop.

Dalam perjalanan itu, aku sama sekali ga bisa tidur. Airmata ga abis – abisnya turun. Rasanya pengen banget balik ke Samarinda, samperin Bho dan marah – marah sepuasnya. Cuma pasti aku ga bisa.

Tak lama, aku sampai di terminal bis dan melanjutkan perjalananku ke Sepinggan dengan naik Ojek. Lumayan kena Rp. 25.000. Entah itu memang tarif dari terminal ke Sepinggan atau bukan, yang jelas aku merasa nyaman naik ojek karena si Bapak tukang ojek berjuang keras memberikan pelayanan buatku. Bawaanku tidak bisa dibilang ringan ditambah helm hitam VOG ku. Aku sampai di Sepinggan lebih cepat dari seharusnya sehingga belum bisa masuk ke ruang tunggu. Akhirnya aku menunggu diluar. Tiba – tiba Hpku berbunyi dan aku melihat nomor yang asing,

‘Siapa ya??’, tanyaku dalam hati. Kuangkat.

“Haloo..”, sapaku.

“Halo Vie, Ini ben2”, sapa dari suara tersebut.

“oohhh..Ben. Ada apa?”, jawabku.

Ben2 itu sahabat Eki, temannya Aini.

“Kenapa Ben?”, tanyaku.

“Lo dimana?”, tanyanya.

“Sepinggan, kenapa?”, tanyaku.

“Balik Samarinda, sekarang. Lo harus urusin semuanya”, jawabnya.

“Urus apa?”, tanyaku.

“Urus urusan lo sama cowok lo”, jawabnya.

“Siapa cowok gwe? Gwe dah ga punya cowok Ben”, jawabku.

“Aji. Cowok lo kan?”, tanyanya.

“Bukan, gwe dah bubar. Gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku yang mulai menangis lagi.

“Vie, gwe dah tau semuanya dari Eki, balik ke Samarinda lah. Tak usah balik hari ini”, ujarnya.

“Ga bisa. Gwe dah dibeliin tiket Ben. Ga bisa balik lagi ke Samarinda”, jawabku.

“Harus, lo harus samperin dia. Enak banget siy dia. Dulu waktu perlu, dia baik sama lo, sekarang. Lo balik ke Jakarta aja sendirian”, jawabnya.

“Udah ben, ga usah diomongin lagi. Ya?”, pintaku.

“Lo mang gampang ngomong gitu Vie, lo perempuan. Gwe laki – laki. Malu gwe jadi laki – laki ngerti ga lo?”, tanyanya.

“Hmmmm….”, jawabku yang sudah tak mampu membendung airmataku lagi.

“Gwe laki – laki. Gwe ga akan kayak gitu kalo gwe mampu melakukan itu sama cewe gw. Gw akan lindungi dia semampu gwe”, jawabnya.

“Mungkin dia ga bisa anter gwe ke bandara karena dia capek kali Ben..udah”, jawabku.

“Ga mungkin. Laki – laki memang kadang benci sama yang namanya perpisahan, gwe yakin, Aji tuh sayang sama lo Vie, Cuma dia masih belum sanggup kalo harus ada anak. Cuma itu dah rejeki dari Allah kan Vie, dia harus sadar itu, bukan lari dari masalah. Lo juga jangan lari”, jelas Ben

“Ben, bukan lari. Tapi gwe ga mampu hidup di tempat yang semuanya berisi kenangan gwe sama dia”, jawabku.

“Denger, oke…lo ga lari dari masalah, tapi kenapa lo ga temuin dia, bilang semuanya?”, tanyanya.

“Gwe dah tau jawabannya Ben, dia dah sadar kalo kayaknya gwe hamil dan dia minta, klo bener gwe hamil, untuk gugurin kandungan gwe”, jawabku.

“Shhh***tt…alasannya?”, tanyanya.

“Belum siap”, jawabku.

“Trus lo mau berjuang hidup sendirian?? Lo mau besarin anak itu sendirian, Vie?”, tanyanya.

“Seumur hidup gwe, gwe akan berjuang apapun buat dia. Seumur hidup gwe, ga ada yang pernah berjuang untuk gwe selain orangtua gwe. Gwe mau balas apa yang mereka kasih sama gwe dengan gwe berjuang untuk anak gwe”, jawabku.

“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”, ujar Ben.

“Ngerti, ga papa…gwe akan berjuang buat anak gwe walaupun gwe sendiri. Gwe mau dia jauh lebih kuat, lebih punya prinsip dari ayah atau bundanya. Gwe mau dia bisa bertanggung jawab atas apa yang dia ucapkan dan dia perbuat nanti, gwe mau berjuang untuk itu”, jawabku.

“trus kenapa lo harus balik ke Jakarta? Lo punya teman – teman disini. Bukan Cuma di Jakarta”, ujar Ben.

“Gwe ga sanggup Ben…”, jawabku di tengah tangisku.

“Lo pergi karena lo mau lupain Aji?”, tanyanya.

“Gwe pergi bukan untuk lupain Aji. I leave him not because I’m not love him, I love him so much, Ben”, jawabku.

“So why??”, tanyanya.

“Karena gwe ga mampu hidup tanpa dia di tempat yang jelas – jelas dia bisa temuin gwe yang makin hari makin terpuruk karena liat dia. Biar dia kejar kebahagiaan, jalan hidup yang dah dia pilih Ben”, ujarku.

“Game? Jalan hidupnya tuh Game? Rela lepasin cewek yang bisa kasih cinta kayak lo? Setan!! Lo tuh terlalu baik kalo harus terima jalan kayak gini. Dia laki – laki, harusnya punya prinsip. Kalo tuh server modar, mau ngapain dia?”, jawab Ben meluap – luap.

“Ya pasti akan ada game pengganti Ben, udahlah”, jawabku lemas.

“Ya, pasti akan ada game pengganti. Gwe suka game, gwe gamer juga. Penggila mungkin, tapi gwe bisa pisahin, mana realita mana maya. Kesenangan sementara, sama kesenangan yang memang harus gwe kejar untuk masa depan gwe. Gwe mampu abisin duit berapa pun buat game, tapi gwe juga mau abisin berapapun untuk masa depan gwe. Ngerti lo?”, tanyanya.

“ya..setiap orang punya jalan sendiri – sendiri, jangan paksa dia harus jadi seperti lo Ben”, jelasku.

“Ya Tapi…..”, jawabnya yang terus kupotong dengan menutup Hpku. Aku me-non aktifkan Hpku.

Aku tenggelam dalam tangisku, semakin tenggelam dalam sekali.

Aku memutuskan tetap pergi daripada harus tinggal tapi hati tersayat setiap hari. Membayangkan dia bisa melakukan apa pun yang dia suka, sementara aku harus berjuang hidup dan mati untuk sesuatu yang tidak ia inginkan tapi aku terlanjur mencintainya, mencintainya seperti aku mencintai Aji.

Kupasang Earpiece MP3 playerku, kunyalakan MP3ku….

dimatamu aku tak bermakna
tak punyai arti apa-apa
kau hanya inginkanku saat kau perlu
tak pernah berubah..

kadang ingin kutinggalkan semua
letih hati menahan dusta
diatas pedih ini aku sendiri
selalu sendiri...

serpihan hati ini kupeluk erat
akan kubawa sampai kumati
memendam rasa ini sendirian
ku tak tau mengapa
aku tak bisa melupakanmu...

kupercaya suatu hari nanti
aku akan merebut hatimu
walau harus menunggu sampai ku takmampu
menunggumu lagi........


( Utopia – Serpihan Hati )

Aku Pergi, entah akan kembali ke Samarinda atau enggak…..

I Leave You Love….Leave you My Beloved Striker with all the memories….see ya until..I Don't know when but…I’ll be missing you…

Can I live without You???.....Hiks….hiks…

Jumat, 09 Oktober 2009

Ketika si pacar sudah pergi, Beliau mulai berusaha mencari keberadaan si Wanita idaman. Ketemu katanya, tapi si wanita sama sekali tidak meresponnya.

“Padahal, dulu, waktu sakit, saya yang nemenin. Waktu dia minta apa, saya cariin.”

Begitu ceritanya. Beliau menyesal menelantarkan anak dan pacarnya yang kini entah dimana. Waktu sudah memakan semuanya. Si Bapak sampai ga ingat lagi sudah berapa lama tak berjumpa. Sampai dia dengar kabar dari kerabatnya tentang mantan pacarnya itu yang ternyata sudah tiada, meninggal ketika melahirkan buah cinta yang dulu pernah ditolak kehadirannya oleh si bapak.

Sekarang, anak dari mantan pacarnya itu pun menolak kehadiran si Bapak yang notabene ayah kandungnya dan si bapak tidak pernah menikah lagi sampai sekarang.

“Saya bukan tidak mau menikah lagi. Tapi sejak peristiwa itu, saya tau kalau dia meninggal, saya jadi merasa bener – bener berdosa neng. Kayaknya dengan tidak menikah pun belum bisa menebus semuanya. Apa yang dia berikan ke saya waktu itu tulus, kenapa saya begitu bodohnya sampai bisa menelantarkan dia demi mengejar wanita yang jelas – jelas ga menghargai saya sama sekali”, jelasnya.

“Trus apa yang bapak lakukan selama bapak ga mencari mantan bapak?”, tanyaku.

“Ya biasa, kayak ndak ada beban apa – apa, masih suka nongkrong – nongkrong sama temen – temen dulu”, jawabnya.

“Pas dah tau keadaan si ….itu, gimana pak?”, tanyaku.

“Hmmm..bapak ga bisa tidur, dari pas pacar saya pergi juga kayak ada yang ilang gitu. Hanya bapak pikir, Bapak bisa dapat gantinya, Cuma ternyata salah. Dia tak tergantikan Neng”, jawabnya.

“Hmmm….iyh. Sekarang Bapak tinggal dimana?”, tanyaku.

“Di Samarinda, Cuma ada urusan di Balikpapan”, jawabnya.

“Ga pengen nikah aja pak?”, tanyaku

“Saya bisa nikah lagi Cuma saya ga mampu kalau ingat semuanya. Biarlah, ini memang harga yang harus saya bayar karena mengecewakan wanita itu dulu, Namanya Siti”, jelasnya.

“Ya, semoga dia mendapat tempat yang layak ya Pak”, jawabku.

“Pasti Pasti…..saya selalu mendoakannya. Kenangan tentang dia masih hidup di hati saya walaupun anak saya dan dia tidak menerima kehadiran saya, tapi Ibunya telah memberikan pelajaran berharga buat saya. Tidak ada yang abadi di dunia ini Neng, jadi jangan sia – siakan yang ada dipelukanmu sekarang”, ujarnya.

“Iyh….”, jawabku.

“Sudah punya pacar kah?”, tanyanya.

“Sudah, tapi baru bubar”, jawabku.

“Kenapa? Ini gara – garanya kamu pulang?”, tanyanya.

“Bukan…”, jawabku alibi.

“Ya, semoga dia mendapatkan pencerahan ya nanti”, jawabnya.

Aku Cuma bisa diam, semua memori tentang Bho masih terekam jelas diotakku. Tak sadar, Bis itu pun bergerak melaju dan aku sedang memikirkan apa ini jalan yang terbaik untukku.

“Ya sudah, saya pindah, mungkin kamu ingin sendiri melihat – lihat pemandangan”, ujar Bapak itu.

“Makasih Pak”, jawabku sambil tersenyum.

“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, terlihat manis tapi sebenarnya menyimpan kesedihan yang luar biasa. Saya mendekati kamu Karena kamu mirip dia, cantik, manis namun kehilangan senyuman dan sepertinya kamu sedang merasakan kesedihan yang entah bagaimana dahsyatnya”, jelasnya.

“Ah, bapak….ga kok. Makasih”, jawabku sambil tersenyum kembali dan memalingkan wajahku kembali ke arah jendela. Kupakai kacamata hitamku, menyembunyikan mataku yang mulai berair karena ucapan Bapak itu. Bi situ sudah melewati Jembatan Sungai Mahakam…

"Ya, dulu teman saya pernah bilang, "Jika kamu dihadapkan dengan 2 pilihan, carilah seseorang yang mencintaimu bukan orang yang kamu cintai. Karena orang yang tulus mencintaimu pasti mengerti kamu, bukan ingin dimengerti"..ingat baik - baik ya", ujarnya

"Ya...", jawabku.

“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, manis tapi menyimpan kesedihan yang luar biasa”

Huuffttt….apa yang sudah terjadi, mengingatkan ku kembali kepada sosok wanita dimasa lalu Bho.

Namanya Zie, entah nama aslinya siapa. Bho kenal Zie di sebuah situs social bernama Tagged. Entah bagaimana ceritanya, Bho pun ketemuan sama Zie. Tapi Zie tampaknya hanya setengah hati pada Bho. Bho mengenalkan Zie pada sahabat wanitanya bernama Vina yang mungkin sampai detik ini, Vina pun masih berteman dengan Zie juga Bho.

Zie sudah dianggap Bho seperti adiknya, aku tak tau seperti apa arti “adik” buat Bho tapi buatku, itu ga masalah. Tapi Zie jelas mungkin jenis “adik” yang berbeda karena aku pernah menemukan BHo mengirimkan sms ke Zie..

“Adiiiiiikkkkkkkk……Kakak kangeeeeeeeeeeeeeennnnnnn”

Dan ketika aku membacanya, rasanya, campur aduk. Aku jadi merasa seperti orang lain buat Bho saat itu.

Tak sadar, airmataku mengalir. Aku mulai merasakan benar – benar hilang seluruh hatiku saat itu. Tak sadar, ada sms masuk ke HPku.

Vie, Eki niy, PSPnya jadi ga? Lo dah DP seharga 1 PSP, gimana?”, tanyanya

Aku membalasnya dengan menyuruhnya mengirimkannya ke GEIM atas nama Aji, tapi tunggu konfirmasiku. Aku langsung mengirimkan sms ke Bho.

“Sa, itu ada PSP di temenku, Eki. Buat kamu, kan waktu itu aku janji bakal beli PSP buat hadiah dari gaji pertamaku. Kusuruh kirim ke GEIM ya, atas nama Aji”

Terkirim….dan tak lama, balasannya pun kuterima…

“Ga usah, jangan kirim ke GEIM, simpen aja dulu sama dia. Nanti kita ambil sama – sama trus kita mainin bareng – bareng pas kamu balik ke Samarinda, ya?”

Aku tidak membalasnya…..aku Cuma bisa terdiam, menangis…….

‘Aku belum tentu kembali, Sa’……

Air mataku mengalir deras, membuyarkan pandangan mataku akan keindahan kota yang selama ini memberiku semangat yang akan segera kutinggalkan bersama semua ketulusan cintaku untuk seorang manusia berpangkat dewa bernama Bho….

FAREWELL LOVE…..this is a farewell ????

03 April….

Aku terbangun oleh sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarku. Tiba – tiba hpku berbunyi, Aini.

“Ya….da pa neng?”, tanyaku.

“Kak Vie jadi pulang hari ini?”, tanyanya.

“Iyah, kenapa? Dah sampai Muara Kaman Kah?”, tanyaku.

“Udah, kangen Kak Vie, Aini. Kak, barusan Eki sms Aini, PSP nya dah ada”, ujarnya.

“Ya dah, nanti Kak Vie kabarin lagi ya”, jawabku.

Aku sengaja pengen beli PSP waktu itu untuk Bho supaya dia gak terlalu sering keluar rumahnya. Tapi sekarang ga perlu lagi kayaknya ya…

Aku langsung membereskan semua barang2ku, mengecek agar semuanya tak tertinggal. Ketika kupastikan semuanya beres, aku melihat sebuah tas yang harusnya semalam sudah raib, tapi ternyata belum. Ingin rasanya aku menitipkan semuanya ke GEIM, tempat Bho biasa main, Cuma, hati bilang ‘ga usah’.

Akhirnya aku memikirkan lagi semuanya, gimana caranya semua barang2 itu bisa masuk. Lama berpikir, akhirnya semuanya masuk. Hanya tertinggal Helm VOG.

Terkadang, Aku masih bisa membayangkan helm itu terpakai di kepala Bho. Kenapa dia harus beli helm dengan warna dan merk yang sama, VOG Super Sonic Hitam. Sampai sekarang, helm itu masih tersimpan di sudut lemari pakaianku. Kalau helm itu tak berarti buatku, mungkin sudah kuberikan kepada orang lain.

Rasanya, hari ini aku benar – benar harus merelakan semuanya. Merelakan Bho, Merelakan kondisi badanku dan merelakan kalau aku harus kenapa – kenapa dijalan. Hari ini aku pergi tanpa Bho yang mengantarkanku ke Balikpapan. Aku sendirian. Sama seperti ketika aku datang kesini, aku datang sendiri dan aku pun pulang sendiri.

Aku segera membereskan sisa – sisanya, pergi mandi.

Selesai mandi, aku segera siap – siap, jam masih menunjukkan pukul 8 hari itu. Aku membawa keluar semua barang bawaanku, hanya 1 buah tas pakaian dan 1 buah helm ditangan ( dah kayak pembalap aja bawa helm ya?)..
Semua teman – temanku masih terlelap, Cuma Aini yang menyapaku, itu juga karena dia ada di Muara Kaman, lagi bantuin Ibunya bikin krupuk kali ya???

Aku membawa semua bawaanku sendirian. Aku jalan motong lewat Masjid depan kost-an, trus naik angkot Hijau buat ke Terminal Bis. Angkot itu lewat GEIM dan ketika angkot itu melewatinya, Aku melihat motor Bho disana. Aku inisiatif mengirimkan sms perpisahan padanya…

“Sa, pagi – pagi dah nongkrong di GEIM”

Hanya itu kata – kata yang mampu aku tulis untuknya. Aku hanya bisa terdiam sepanjang jalan. Mengabadikan semuanya melalui cam digital ku. Kota yang sudah menyemangatiku untuk tetap bertahan selama ini harus kutinggalkan. Everybody doesn’t know me at all, doesn’t know my name, who am i?, Aku Cuma tau beberapa nama tapi tak tahu bagaimana bentuk rupanya. Hanya cerita.

Sesampainya di Terminal Bus, Aku langsung menaiki satu bis yang sudah siap berangkat ke Balikpapan. Kutaruh semua bawaanku di bagasi kecuali helm VOG ku. Aku memeluknya sepanjang jalan seakan – akan kalau helm itu hilang, maka hilanglah seluruh nyawaku.

Aku terpaku melihat pemandangan di sepanjang jalan. Aku banyak melewatkan pemandangan indah ini. Bi situ berhenti sejenak di dekat Jembatan Sungai Mahakam. Aku terpaku, sampai aku tersadar oleh teguran dari seseorang.

“Mau kemana Neng Cantik?”, tanyanya.

Seorang Bapak Tua duduk disebelahku.

“Ooo..ke Jakarta. Kenapa ya Pak?”, tanyaku.

“Sedang pandangi apa kah?”, tanyanya.

“Enggak. Hanya liat – liat diluar. Pemandangan bagus”, jawabku.

“Liburan kah atau tinggal disini memang keluarga?”, tanyanya.

“Liburan”, jawabku.

“Sendiri??”, tanyanya.

“Ga pak, sama teman tadinya”, jawabku alibi.

“Temannya mana?”, tanyanya.

“Saya pulang duluan”, jawabku.

“Kenapa? Marahan kah?”, tanyanya.

“Ga, dia masih ada urusan”, jawabku sambil masih memandangi Sungai Mahakam.

“Hmmm…Sungai Mahakam. Kamu tau tentang Sungai Mahakam?”, tanyanya.

“Kenapa Pak?”, tanyaku.

“Sungai Mahakam punya cerita pahit untuk saya”, jawabnya.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Dulu ada pepatah bilang, ‘Sekali Kamu Minum Air Dari Sungai Mahakam, Kamu Pasti Akan Kembali Ke Samarinda’…”, ujarnya.

“hmmm….”, jawabku.

“Dulu saya punya pacar waktu muda, baik, saya sayang banget sama dia sampai saya bikin salah sama dia”, jelasnya.

“Salah??”, tanyaku.

“Iyah..Saya secara gak langsung masih mengharapkan wanita yang dulu saya suka, suka sama saya”, jelasnya.

“Maksudnya?”, tanyaku heran.

“Iyah, dulu sebelum saya pacaran sama cewek saya, saya pernah mengharapkan seorang wanita. Anggaplah namanya A…”, jelasnya.

Si Bapak bercerita sepanjang bis itu berhenti.

Beliau menceritakan tentang mantan pacarnya dulu yang di sia – siakan karena ternyata dia masih mengharapkan seorang wanita yang dulu dia suka, menyukainya. Mantan pacarnya datang jauh dari Surabaya dengan hasil gajinya yang ia kumpulkan. Sampai di Samarinda, ternyata si Bapak masih belum bisa melupakan wanita yang diidam-idamkannya sampai suatu saat, pacar si Bapak memutuskan pulang ke Surabaya dengan calon anak yang ada diperutnya. Si bapak mengetahui itu, Cuma beliau masih belum bisa menerimanya dan masih memimpikan wanita idaman itu. Akhirnya pacar si bapak pulang dengan sukarela.

Keesokan pagi, Aku tak langsung menyalakan HP. Aku bangun karena sinar matahari dah teraaaanggg banget..menyapaku hari itu. Tampaknya sisi kelam dari apa yang kurasakan semalam sirna. Aku langsung membuka lemari pakaianku, kurapikan semua isinya. Kupilah – pilah karena ada beberapa barang yang pernah dipinjamkan Bho padaku.

Aku melihat selimut kuning bunga – bunga biru ungu yang dipinjamkan Bho dulu, kupisahkan dari baju – bajuku. Setelah semuanya rapi, aku pindah ke atas lemari tempatku menyimpan gelas dan piring, semuanya kurapikan, kujadikan 1 tas besar.

‘Beres’, ujarku dalam hati.

Kuperhatikan tas besar itu, ada gulungan kabel sambungan, hanger, selimut, 1 gelas, 1 mug, 1 piring, 2 sendok, sendal, peralatan tulis, sampai Helm VOG Super Sonic Hitam kesayanganku ada di dalam tas itu. Selesai semuanya, aku mengaktifkan Hpku. Begitu aktif, ada sms datang bertubi – tubi. Ada sms dari Panca, Satria, Kakakku, Lina….

Aku buka sms dr Panca, isinya :

“Ras, dah dapet tiketnya naik Lion Tgl. 3 April ya jam 13.15 dari Balikpapan ya. Ntar dijemput anak2. Ambil di Lion cabang sana aja. Welcome Home, Buuu”

Aku senang membacanya. Aku langsung membalasnya. Sementara dari Satria, isinya menanyakan kebenaran ttg Bho dan aku. Aku membalas smsnya sekenanya aja, karena agak berat juga ngomonginnya. Kalau kakakku, biasa…..tanya keadaanku dan gimana ttg Bho again. Sama kayak sms dari Lina, semaksud….

Aku ga mau pusing mikirin masalah itu.

Hari berganti hari…..kepulanganku semakin dekat. Sampai tiba dimana hati yang kunantikan segera datang.

02 April…..

“Kak, nanti jadi ke Lembuswana?”, tanya Wati kepadaku di depan kamarku.

“Ya, anterin ya Wat, naik taxi ( angkot dibilang taxi di Samarinda ) aja, ya?”, tanyaku.

“Ga usah Kak, naik motor aja. Pelan2, Wati yang bawa nanti”, jawabnya.

Aku hanya mengangguk setuju sambil bersiap – siap. Tak berapa lama, kepikiran juga buat sms Bho, mau mulangin barang2nya. Akhirnya aku mengambil Hpku.

“Sa, nanti malem bisa minta tolong ga anterin ke tempat yang bs baca memory card? Mau ambil data di digicam”, smsku pada Bho.

Tak berapa lama….

“Ya, tapi maleman aja. Gpp kan?”, tanyanya di sms

Aku membalasnya….

“Ya, kabarin aja”, jawabku….

“Sms siapa kah?”, tanya Wati yang tiba – tiba dah nongol di depan kamarku.

“Aji, kenapa?”, tanyaku.

“Ngapain Kakak sms dia?”, tanya Wati dengan nada sedikit bete.

“Ini, mau pulangin barang – barang yang pernah dipinjemin dia ke Kakak”, jawabku.

Semua anak – anak di kost dah tau kalau aku bubar dengan Bho. Makanya mereka agak gimana gitu kalo denger namanya keluar dari mulutku.

Pagi itu aku diantar ke Mall Lembuswana, di ruko sekitar situ, ada cabangnya Lion Air. Aku dengan mudahnya mendapatkan Tiket, dah dibayar pulang, bener – bener deh.

Aku langsung sms Panca, konfirm kalau tiket sudah di tangan. Setelah itu kami jalan – jalan dulu, sekedar melepas lelah dan plesir2 terakhir kali buatku.

Jam 7 kami sampai kost, naik sebentar, melepas lelah. Hehehehe…ngobrol sana…ngobrol sini…tiba2 Hpku berbunyi….dering itu, Bho!

“Ya?”, jawabku.

“Aku dibawah, turun”, jawabnya.

Aku ga langsung turun, aku liat dia dr teras atas. Ternyata dia liat aku.

“Sini, turun”, ujarnya.

“Ya”, jawabku.

Aku turun dengan baju seadanya dan membawa perlengkapan yang kubutuhkan. Flashdisk, digicam, dompet, semuanya. Aku berjalan ke arah parkiran motor, aku melihatnya duduk diatas motornya, pakai kaos hitam. Dia tidak membuka helmnya.

“Haloo”, sapaku.

Dia agak bengong liat aku datang dan aku ga tau apa yang dia bengongin. Dia terpaku duduk di motor Satrianya menatapku.

“Hei, ngapain bengong?”, tanyaku sambil menghentakan pundaknya.

“Ehhh….”, jawabnya tergagap.

“Ayo….berangkat. Jangan kelamaan, lo ke GEIM kan?”, tanyaku.

“Iyah”, jawabnya.

“Oke..berangkat Bang!”, ujarku.

Aku menaiki motor Satrianya, ini terakhir kali aku menaikinya. Aku menaikinya perlahan dan dia mengendarai dengan perlahan pula. Aku ga memeluk pinggangnya lagi, aku memegang handle dibelakangku. Ada perasaan aneh malam itu. Dia mengantarku ke Konika terlebih dahulu di daerah Jl. A. Yani, dekat TripleX. Aku turun dan langsung melepas helmku, langsung masuk ke dalam tanpa memperdulikan Bho yang masih berusaha memarkir motornya, biasanya, aku tunggu dia, skrg ga.

Aku langsung masuk dan menaruh helmku ditangan sebelah kiri. Aku melihat Bho membuka helmnya dan duduk di kursi tunggu. Melalui ujung mataku, aku bisa tau kalau Bho mengamatiku dari jauh. Matanya tak pernah lepas menatapku, tapi begitu aku menatapnya, dia langsung nunduk. Aku menghampirinya sambil menunggu giliranku dilayani si customer service.

“Sa, titip tas yaa”, ujarku padanya

“Iya..eehhmmm….”, jawabnya sambil menatapku.

Aku berdiri didepannya dan dia duduk menghadap padaku.

“Kenapa Sa?”,tanyaku.

“Kok panggilnya ‘Sasa’ ?”, tanyanya.

“Hmmm..sorry sorry Ji. Sorry ya, mulai sekarang gwe manggil lo Aji deh”, jawabku ga enak.

“Bukan….bukan gitu….ada yang aneh, kan biasa panggil..”, ujarnya kupotong..

“Mm,..titip ya tasnya”, ujarku padanya sambil membenarkan tatanan rambutnya. Kebiasaan..uuhhh…

Aku langsung pergi kearah customer servicenya. Aku masih melihatnya mengikuti kemana diriku berjalan, dia, Bho masih mengamatiku. Mengamati diriku dari kejauhan, aku ga ngerti ada apa dengannya.

Begitu selesai, aku langsung mengambil Helm ku, mengambil tasku di Bho.

“Udah, yuk, cari makan. Laper”, ajakku.

“Iyah”, jawabnya.

Aku melihat Bho ingin merangkul pinggangku Cuma aku keburu ngacir pergi ke arah sepeda motornya. Aku liat dia terdiam ditempatnya berdiri saat aku membalikkan badanku.

“Ji, ngapain disitu. Ayo..ntar lo kemaleman”, teriakku.

Aku melihatnya menghampiriku perlahan..ada raut muka aneh tersirat disana. Seperti sedih atau bingung, atau salah langkah.

“Jangan panggil ‘Aji’!”, ujarnya saat berdiri disampingku.

“Trus panggil apa?”, tanyaku.

“Yang kayak biasa aja”, jawabnya.

“Ya dah Sa”, jawabku sambil mundur ke belakang.

“Bukan itu”, jawabnya sambil memundurkan motornya.

Aku mulai sibuk pegang sana sini buat pasang helm. Tiba – tiba ada suara laki – laki dibelakangku.

“Sini Neng Cantik, saya bantuin”, ujarnya.

“Eh, ga papa. Makasih Pak”, jawabku.

Tiba – tiba Bho turun dari motornya dan menghampiriku.


“Sini Beb, aku pegangin tasnya”, ujarnya.

Aku gantian yang terpaku sekarang. Kok??? Kok dia panggil aku ‘Beb’?

‘Manusia Aneh’, ujarku dalam hati.

Ketika sedang menuju tempat makan malam itu, ditengah perjalanan, aku memberitahukan Bho mengenai kepergianku. Walaupun sebenarnya aku berbohong padanya. Tapi itu cukup membuat dia agak aneh.

“Sa, mau ngasih tau sesuatu”, ujarku.

Dia memelankan laju motornya sedikit lagi supaya suaraku lebih terdengar.

“Dibilang jangan panggil ‘Sasa’, ngerti ga siy? Kenapa?”, tanyanya.

“Besok aku berangkat, pindah dari Samarinda”, jawabku.

Aku langsung merasakan hentakan keras dari motor Bho yang otomatis membuatku berpegangan memeluk pinggangnya.

“Kemana?”, tanyanya.

“Palangkaraya, masih Kalimantan kok trus ke Jakarta”, jawabku.

“Balik lagi ga ke Samarinda?”, tanyanya.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Hmmm…….ga papa. Tanya aja”, jawabnya.

“Oke…..”, jawabku.

Tanpa sadar, tanganku masih berada dipinggangnya, memeluknya. Merasa ga enak, aku melepaskan kaitan tanganku, tapi tiba – tiba…

“Jangan…..dah, disitu aja tangannya”, ujar Bho.

Aku kaget….

“Ga ah, ga enak diliat orang”, jawabku.

“Semua orang juga kalo dibonceng meluk pinggang, Beb”, jawabnya.

“Ya tapi kan itu meluk pacarnya, bapaknya, kakaknya, adiknya….gwe kan”, jawabku.

Belum sempat aku meneruskan ucapanku, Bho bersuara lagi..

“Berisik. Biarin aja kenapa siy? Mang ga boleh meluk pacar sendiri?”, jawabnya.

“Sa??? Tapi lo kan bukan……”, ujarku.

Dia menambah laju motornya. Sampai kita sampai di rumah makan itu. Aku yang maksa bayar disana, Last Treat kan. Dia disana menanyakan kembali apa aku balik ke Samarinda lagi atau tidak? Aku mengalihkannya ke topik lain.

Aku memesan Nasi Goreng sementara Bho memesan Nasi Mawut. Sudah jadi kebiasaan kami waktu masih jadian dulu kalau beli nasi goreng, Telur bagian kuningnya serta 3/4 Nasi punyaku, pasti kuberikan kepada Bho. Sementara sayuran yang ada di Nasi Goreng Bho, pasti dia berikan kepadaku. Tanpa perlu aba – aba, kami selalu melakukan hal itu.

Malam itu kami makan tanpa banyak bicara…

Setelah makan….dia langsung mengantarkanku pulang. Begitu sampai di kost, dia singgah sebentar Cuma menanyakan hal yang sama.

“Kamu balik lagi kan ke Samarinda?”, tanyanya.

“Insya Allah. Oia, ini Helm sama barang – barang kamu mau kamu bawa pulang?”,tanyaku.

“Kok gitu? Kamu mau kemana siy?”, tanyanya.

“Ga kemana – mana. Mau ga?”, tanyaku

“Ga usah, kamu simpen aja. Kan kamu balik lagi kesini kan?”, tanyanya kesekian kali.

“Insya Allah, ya dah, pulang sana. Ntar kompi ‘dewa’ nya di GEIM diambil orang lho”, jawabku.

Dia ga manjawab apa – apa. Aku masuk ke kost sambil jalan mundur. Aku Cuma liat dia diam diatas motornya, melihatku yang semakin menjauh. Ada raut yang sulit kujelaskan dengan logikaku. Aku langsung naik ke atas, masuk ke kamarku. Ketika aku ingin menutup tirai kamarku, aku masih melihat Bho dibawah, melihat kearah kamarku.

Aku tak tau apa yang sedang ada di kepalanya. Yang jelas, aku melambaikan tanganku dan segera menutup tirai itu. Berbalik badan dan tangisku pecah disana…

Apa aku sanggup tanpanya???? Huuffttt…

“Dah siap denger apa yang mau gwe omongin?”, Tanya Bho.

“Iyah…kenapa?”, tanyaku.

“Ehmmm..kayaknya lebih baik kita Bubar aja”, ujarnya.

“Hmm…oke”, jawabku datar.

“Gwe ngerasa, lo ternyata lebih asik dijadiin temen aja”, jawabnya.

“Hmmm…oke”, jawabku datar.

“Gwe ngerasa, sayang gwe ke lo ternyata Cuma karena Kasihan aja”, ujar Bho.

“Hmmm….”, jawabku.

“Gwe ngerasa, selama ini, kok gwe yang cerita terus ya? Lo ga pernah cerita apapun sama gwe, ga kayak dulu”, jawabnya.

“hmmm…..”, jawabku.

“Tapi gwe ga mau lo jadi saudara gwe. Gwe mau lo cukup jadi temen gwe aja. Lo juga harus kenalin cowok yang lagi deket sama lo, kalo gwe ga suka, lo ga boleh sama dia”, ujarnya lagi.

“Hmmm…oke”, jawabku lebih datar lagi.

“Trus kenapa lo dari tadi Cuma jawab ‘Hmmm..oke’, gimana jadi keputusannya? Mau ga mau, lo harus terima keputusan gwe buat Bubar”, ujar Bho.

“Ya Oke…as you wish My Lord”, jawabku.

Kami diam sesaat. Aku sama sekali tidak menangis. Rasanya udah ga ada airmata lagi buat dikeluarin. Aku Cuma berpikir, aku harus ambil keputusan apa ttg kandunganku.

“Ehm…..jadi setuju niy?”, Tanya Bho kedua kalinya.

“Ya, kan td lo bilang, ‘mau ga mau, lo harus terima’..ya dah”, jawabku datar.

“Emmm..kok lo berubah siy?”, tanyanya.

“Gwe biasa aja lagi Sa”, jawabku.

“Lo beda, kenapa lo terima aja keputusan gwe?”, tanyanya.

“kan lo yang minta gwe harus setuju Sa, Gwe bakal lakuin apapun asal lo bahagia Sa”, jawabku.

“Ya tapi bukan gituu….”, ujarnya.

Aku mulai geram dengan sikapnya, alhasil, aku keluarkan semua uneg – uneg dihatiku.

“Gini ya Sa ( aku memanggilnya Sasa – nama kecilnya ), yang suruh gwe terima keputusan ini siapa?”, tanyaku.

“Gwe”, jawabnya.

“Yang ngerasa kalo lo terus yang punya cerita sementara gwe diem aja, siapa?”, Tanyaku.

“Gwe”, jawabnya melemah.

“Lo tau kenapa gwe ga pernah bisa cerita apa2 disini?”, tanyaku

“hmmmm….”, jawab Bho.

“Karena gwe ga punya cerita apa2. Apa siy yang mau gwe certain ke lo kalo gwe kemana2 ma lo. Lo tiap datang ke kost gwe Cuma ngomongin RF, ambil posisi pewe buat tidur, minta gwe buat elus2 punggung lo dan lo tertidur. Minta dibangunin jam 11 buat ke GEIM, begitu setiap harinya. Lo bisa kemana2, gwe?”, jawabku datar.

“Iyah…”, jawabnya.

“Kalo masalah jadi saudara atau teman, ga penting Sa, apa bedanya?”, tanyaku.

“Beda, kalo saudara, aku pasti sering keep in touch tapi kalo temen ga”, jawabnya.

“Trus apa bedanya? Jadi kalo gwe jadi saudara lo, lo bakal keep in touch?? Gwe cewek lo aja nunggu kelelep dulu baru boleh kasih kabar”, jawabku.

“Aku ga bisa gitu aja….aku dah…”, jawabnya terbata.

“Apa?? Karena lo dah ambil semua yang gwe punya? Lo dah ambil keperawanan gwe? Gitu?”, tanyaku.

“Ya, itu yang biking aku bingung”, jawabnya.

“Terserah. Lo manusia bebas sekarang, Find your happiness Sa. Taruhan, lo ga akan bisa berenti main game dan lo ngerasa ga enak kan karena lo punya 'adik – adik ketemu gede' lo diluar sana sama gwe?”, tanyaku.

“Ya…..”, jawabnya.

“as you wish…lo bisa bebas atur hidup lo sekarang. Sebenernya gwe juga ga mempermasalahkan 'adik2 ketemu gede' lo itu, gwe wanita dewasa Sa”, jawabku.

“Ya……”, jawabnya dengan nada makin melemah.

“Ya dah…..have a good day ya Sa”, jawabku.

“Tapi, kalo kamu butuh bantuanku, sms aja ya”, ujarnya.

“Tenang aja Bozz”, jawabku.

“Ehhmm….”, ujar BHo.

Tanpa berlama – lama, aku langsung menutup flip HPku tanpa menunggu dia akan menjawab apa. Aku langsung kirim sms ke Panca kalau aku mau pulang ke Jakarta, jadi aku setuju untuk pulang. Panca mengirimkan sms kembali padaku.

“Oke, nanti gwe kabarin Ras dapet pesawat tgl berapa ya. Jaga kesehatan lo disana, jangan stress, gwe kabarin secepatnya”

Aku segera membalasnya dan mengabarkan kalau barusan Bho telpon aku dan memutuskan untuk bubar. Tak lama Panca bukan sms lagi, tapi telpon. Kuangkat telponnya.

“Gilaaaaaaaaaa…”, kata – kata itu yang pertama kudengar ketika kuangkat telp dr Panca.

“Ya udah, semuanya dah selesai. Gwe pulang!”, jawabku.

“Anj**k Ras. Lo kayak kesana buat dihamilin trus diputusin. B**I !!!”, jawab Panca emosi.

“Udah – udah, Udah malem, jangan teriak2. Besok aja diomongin. Kabarin aja dpt pesawat tgl brp jam berapa ke gwe. Gwe mau tidur dulu ya nca..pusing kepala gwe”, jawabku datar.

“Sabar ya. Gwe jadi bingung mau jawab apa kalo anak – anak Tanya kenapa lo mau disuruh balik ke Jakarta”, jawabnya.

“Ya dah, ga usah dipikirin”, jawabku.

“Lo enak banget ngomong ‘ga usah dipikirin’. Lo dah kayak kakak buat Scorpie Ras, lo hamil, cowok lo B***sat mutusin lo dan gilaaaa….”, jawab Panca.

“Udah2….”, jawabku.

“Ya dah, gwe kabarin besok secepatnya”, jawab Panca.

“Oke”, jawabku sambil mematikan HPku.

Aku berdiri, menutup pintu kamarku, mematikan lampu kamar, tapi aku tak menutup jendela serta tirai jendelaku. Aku mau melihat indahnya bulan malam ini sambil memikirkan, bagaimana hidupku selanjutnya.

Malam itu, bulan sangat terang, banyak bintang. Aku jarang liat bintang di Jakarta. Aku teringat Alm. Ibuku. Dia suka sekali dengan bintang, huuffttt….tiba – tiba HPku berbunyi, kulihat, Satria.

Aku malas mengangkatnya. Aku reject. Langsung kumatikan HPku.

Mala mini aku mau merenung….merenungi semuanya..karena aku merasa ada yang aneh…benar – benar aneh…tapi aku ga tau apa???

Huuffttt….aku Cuma mau merenung…….Keputusan apa yang harus aku ambil sekarang? …what must I Do GOD ????

Semua berjalan lancar. Perasaan kehilangan sedikit terobati dengan munculnya banyak kawan baru. Teman – temannya Aini, Pacarnya Wati, Suaminya Aini, Suaminya Nisa, rameee…

Tapi itu hanya kurasakan saat matahari menyapa. Begitu Sang Bulan menyampaikan Selamat Malam padaku, airmata mulai berjatuhan. Teman – temanku di Jakarta mulai menelponku walaupun aku belum jujur tentang semuanya, hanya segelintir saja. Tapi hari itu, semuanya berubah.

24 Maret…..

Pagi itu aku terbangun seperti biasa. Yang tak biasa hanya ketika aku membuka flip HPku. Ada 16 miskol dan 4 sms tertulis dilayar itu. 16 miskol itu dari beberapa orang, Panca, Mas Andi, Yudha, Kakakku dan Satria. 4 sms dari Mas Andi, Yudha, Kakakku dan Aini. Semuanya menanyakan keadaanku sedangkan Aini, mengajakku jalan – jalan. Aku langsung membalas sms dr Aini, tapi yang lain kubiarkan saja.

Tak lama, ada Telpon masuk, dari Panca. Aku mengangkatnya.

“Ras….”, sapa suara panca yang agak berat.

“Iyah, muuv. Baru bangun”, jawabku.

“Kamu mau sampe kapan disana??”, tanyanya.

“Gak tau..kenapa?”, tanyaku.

“Lo mending balik kesini, ke Jakarta. Disini lo ga akan sendiri dan lo harus tau, ga penting kehadiran lo disana kan buat Bho? Mending pulang”, ujar Panca.

“Gwe pikirin dulu, Nca. Lagian kalo mau pulang, Gwe harus tunggu dana gwe cair kan”, jawabku.

“Ga perlu. Anak2 mau lo balik secepatnya. Masalah uang, ga usah dipikirin. Lo mau ga?”, Tanya Panca.

“Gwe pikirin dulu nca!!”, jawabku.

“Apa lagi siy yang lo pikirin? Jangan sampe Jho niy yang ngomong Ras…”, jawabnya.

“Iyah iya…..besok pagi gwe kabarin lo ya”, jawabku

“Iyah”, jawab Panca.

Percakapanku dengan Panca pagi itu membuatku berpikir kalau aku harus menghubungi Bho. Langsung aku menghubungi Bho via sms dengan alibi aku minta diantarkan nge-print dokumen. Dia kali ini membalasnya, dia membalasnya hanya dengan kata – kata “Oke”.

Malam menjelang, waktu yang kutunggu – tunggu akhirnya datang. Bho datang pukul 8 lewat. Dia menelponku ketika sudah sampai, seperti biasa. Aku segera turun perlahan ke bawah untuk menemui dia. Ketika aku melihatnya di bangku panjang itu, aku melihatnya menghela nafas, dalam sekali. Dia pun segera bangkit dari bangku itu menghampiriku.

“Langsung berangkat yuk”, ajaknya.

Aku kaget…..

“Oke”, jawabku sambil memakai Helmku yang sama persis seperti punyanya. VOG Super Sonic Hitam.

Aku langsung naik motor Satria nya. Dia membawaku malam itu dengan kecepatan lambat, seperti sebelumnya. Cuma kami ga banyak bicara. Dia mengantarkanku ke tempat biasa, daerah dekat Universitas Widya Gama, bnyk rental computer disana. Setelah aku mem – print semuanya, kami segera pulang. Di perjalanan pulang, aku memeluk pinggangnya, tapi tiba – tiba dia bilang sesuatu,

“Jangan dipeluk, ga enak”, ujarnya.

Spontan aku langsung melepaskan tanganku dari pinggangnya dan berpegangan pada handle di belakang. It’s a bad sign and I feel it.

Begitu sampai di kostku, dia langsung berangkat lagi setelah menanyakan sesuatu padaku.

“Ehm….nanti malam, HP standby ga?”, tanyanya.

“Iyah, kenapa?”, tanyaku.

“Mau telpon, ya dah. Pulang dulu”, ujarnya.

Aku masih sempat mencium tangan kanannya, sekedar berusaha menenangkan hati. Aku berjalan agak perlahan ke kamarku dan aku kaget karena Kak Ajeng dan Lina sudah ada di depan kamarku.

“Itu Kak Vie orangnya?”, Tanya Lina.

“Iyah”, jawabku.

“Kakak dah kasih tau dia?”, Tanya Lina.

“Blum. Lagipula aku dah tau jawabannya”, jawabku sambil berusaha membuka pintu kamarku.

“Kenapa ga dikasih tau?”, Tanya Kak Ajeng tiba – tiba.

“Aku dah tau jawabannya Kak”, jawabku.

“Apa perlu Kakak yang bilang?”, tanyanya.

“Ga usah, Vie dah tau jawabannya”, jawabku

“Apa mang jawabannya?”, Tanya Lina.

Aku masuk ke kamarku, mereka pun langsung masuk. Aku duduk di kasurku dan langsung menatap mereka.

“Jawabannya, Aku harus gugurin kandunganku”, jawabku.

“Masa??? Tau dari mana Ai?? Parah banget siy”, jawab Kak Ajeng.

“Dia yang bilang Kak. Dia akhir – akhir ini suka ngerasa lapar berlebihan, pokoknya kayak org ngidam”, jawabku.

“Trus, dia ngerasa?”, Tanya Lina.

“Dia Tanya ke aku, aku hamil atau ga?”, jawabku.

“Trus kakak bilang apa?”, Tanya Lina.

“Aku bilang, aku ga hamil”, jawabku.

“Bodoh benar siyyyy!!!”, jawab Kak Ajeng.

Aku terdiam. Mereka asik bicara sendiri. Tiba – Tiba HP berbunyi, Nada dering itu menandakan Bho yang telpon.

“Siapa Kak?”, Tanya Lina.

“Cowokku”, jawabku lemas.

Aku segera mengangkat telp itu……mereka pilih keluar dari kamarku dan ngobrol di ruang tamu.

“Ya…..”, jawabku.

Aini melihat padaku dan memberi aba – aba untuk diam. Tapi aku ga bisa…aku mengacuhkan semuanya.

“Ga mau ngapa2in gwe. Gwe Cuma mau liat keadaan lo. Gwe seneng lo masih idup tapi gwe ga suka liat lo begini, ngerti?”, jawabku.

Tak disangka – sangka, Kak Ajeng membalas ucapanku.

“Ngapain lo care sama gwe? Lo dah bawa cewek kerumah kita. Lo kenapa sakitin gwe?”, tanyanya.

“Gwe ga ada niat nyakitin lo…”. Jawabku.

Aku kehilangan kata – kata, tak terasa airmataku mengalir. Aku teringat Bho. Aku…..

“Kenapa Lo diem Hah? Gwe sayang ma lo, gwe rela kehilangan semuanya demi lo. Gwe rela, kenapa lo begitu?”, tanyanya.

Aku Cuma bisa diam. Tangisku semakin menjadi. Aku merasa, Kak Ajeng sedang merasakan yang aku rasakan. Seolah – olah dia tau isi hatiku.

“Lo mau tau pengorbanan gwe buat lo? Oke….lo liat..liat baik – baik”, ujar Kak Ajeng.

Aku menengadahkan kepalaku, berusaha melihat yang terjadi, Cuma itu terlalu cepat untukku.

Kak Ajeng melemparkan botol kaca ke lantai, mengambil pecahannya dan menggenggamnya erat – erat. Aku Cuma bisa diam, tangisku semakin menjadi. Aini Cuma bs diam, entah apa yang dilakukannya. Sementara yang lain, aku Cuma bisa mendengar Wati terisak – isak di depan kamarnya.

Kak Ajeng membuka genggamannya, Kaca itu dijatuhkannya ke lantai dan aku melihat darah disana. Aku langsung lemas, terduduk ditempatku berdiri.

“Kau liat kan Ai. Ai mampu kan. Gak sakit..tuh liat darahnya Ai, cantik kan Ai?”, tanya Kak Ajeng.

Aku menangis sejadi – jadinya. Aku ingat semuanya. Ingat teman – teman kantorku, ingat teman – teman guildku. Aku terpaku. Aku ga mampu bicara apapun. Yang aku pikirkan hanya sesuatu di perutku. Rapuh dan hanya bisa bergantung padaku. Aku penentu keputusan, akan dibawa kemana hidupku. Sungguh, Aku ga mau seperti Kak Ajeng.

“Duuhhh..sakit niy”, ujar Kak Ajeng membuyarkan lamunanku.

Kak Ajeng terbangun dan tiba – tiba dia terjatuh lemas. Aku segera bangun dan menghampirinya. Aini langsung lari ke kamarnya entah untuk apa. Lina langsung menghampiri Wati yang terduduk lemas di depan kamarnya. Aku….aku mengangkat kepala Kak Ajeng, menepuk2 wajahnya, mengharapkan dia sadar segera.

Aini tiba – tiba datang membawa kotak P3K. Aku tertegun. Tangisku belum reda ketika Aini memberikan sesuatu ke arah hidung Kak Ajeng dan tak lama setelah itu, Kak Ajeng sadar…

“Vie, kenapa nangis??”, tanyanya dengan suara parau.

Aku tak bisa menjawabnya, Aku Cuma bisa menangis. Melihatnya keheranan, membuat tangisku semakin menjadi.

“Vie mau minta maaf. Maaf. Vie ga bisa, Vie ga mau kayak gini. Vie ga mau kayak Kak Ajeng”, ujarku.

Aini heran, Kak Ajeng yang belum sadar betul langsung bangun dan duduk menghadapku.

“Ini kenapa berantakan?? Kakak ngamuk lagi yaa? Duuhh..sakit”, ujar Kak Ajeng.

“Ya, diem dulu Kak. Aini obatin dulu luka Kakak”, jawab Aini.

“Vie kenapa?”, tanya Kak Ajeng.

Aku diam seribu bahasa. Aku bingung. Akhirnya, diputuskan bahwa malam itu kami kumpul di kamarku. Aku menjelaskan dari awal kedatanganku ke Samarinda sampai hal itu terucapkan dari mulutku. Kak Ajeng dan Wati langsung memelukku, Aini menangis sambil memaki – maki aku, yang lainnya terduduk lesu.

Malam itu, semua tidur dikamarku, dempet – dempetan.

Pagi harinya, Kami terbangun karena ibu kost terheran – heran. Pintu kamarku terbuka, sementara kami tidur dah kayak Ikan Peda. Ibu membangunkanku dan yang lainnya, menanyakan ada apa kok bisa tidur dikamarku. Alibi mereka,

‘Nemenin Vie, eh ketiduran’…..

Semuanya kini lebih perhatian padaku. Aku dilarang untuk mengugurkannya. Aku pun tetap pada pendirianku. Aku tetap menjalani semuanya walaupun terasa sesuatu telah hilang dari diriku. Aku tetap belajar naik motor pakai motor Astrea Aini, malah pernah jatuh naik motor Pacarnya Wati di dekat jalan mau ke Lembuswana bawa New Revo. Nekat. Tapi Tuhan memang punya jalan lain. Sesuatu yang ada di perutku tetap pada tempatnya.

Semuanya berjalan biasa….Aku tetap aku…dia, biar dia menjadi sesuatu yang memang dia kehendaki. Aku belum bisa mengatakan apapun pada Bho. Tapi sesuatu terjadi dihari selanjutnya…..

Sesuatu yang sudah aku duga sebelumnya……tapi apa yang sudah kulalui tanpanya, membuatku sadar. Dewa sedang sibuk….aku manusia, Cuma bisa berharap….selebihnya……biar waktu yang jawab…

Andai aku mampu tanpa dia….apakah bisa???

Hari – hari berikutnya, tak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Yang membedakan adalah aku mengenal banyak teman – teman baru. Kebetulan aku berada di Kamar No. 11, Kak Ajeng No. 9 dan Aini No. 5. Aku berkenalan dengan teman – teman yang lain. Ada Nisa di Kamar No. 6, Ada Cici di Kamar No. 7, No. 8 kosong, No. 10 Wulan, No. 12 Lisa, No. 13 Wati, No. 14 Lina dan No. 15 kosong.

Hari – hari berlalu dan aku masih dalam kegundahan yang sama. Aku tidak merasakan sendirian disini sekarang, ada teman – temanku tapi entah kenapa ada bagian didiriku yang hilang. Aku sadar, bagian yang hilang itu adalah Bho. Terkadang aku pengen banget sms dia, tapi takut ga dibales dan akhirnya aku merasa kecewa.

Sifat Bho yang lain adalah dia ga mau balas sms kalau itu ga penting buat dia. Dia juga gak akan angkat telpon yang menurutnya ga penting. Jadi percuma kalau aku sms dia tanya kabar, dia ga akan mungkin balas karena menurut dia, tanya kabar itu ga penting, kecuali aku kabarin kalo aku dah mau tenggelam di Sungai Mahakam atau Kost ku kebanjiran dan aku tinggal 0.5 meter lagi mau tenggelam, itu baru penting buat seorang Bho.

Buat dia, RF Online terlalu berharga untuk dilewatkan. Buatnya, melewatkan 1 chip war, sama dengan keterbelakangan. Dia ingin lebih dari yang lain soal RF Online. Dia bilang kalau dia pengen jadi Archon tapi itu ga mungkin. Saat itu, ga ada yang bisa mengalahkan CurseAngel ataupun Xmagic. Atau akhir – akhir ini, CurseAngel mengundurkan diri sementara dan digantiin sama Xmagic. Ingin rasanya pergi cari wargame trus coba maen RF lagi, tapi keinginan itu kutahan sampai akhirnya aku ga tahan.

Malam itu aku ke wargame deket kost, waktu menunjukkan pukul 19.00 WITA. Aku berjalan ke Wargame tempat Bho biasa beli Premium ( Voucher Lyto ) namanya Acc-Reload. Aku membayar paket 3 jam. Aku berjalan kaki dari kostku ke sana, agak lumayan tapi dah biasa. Aku langsung memilih pc dekat jendela.

Aku mengaktifkan YMku, rasanya kangen banget sama semua teman – temanku. YM ku aktif, aku langsung bisa melihat daftar teman – temanku,…

‘Mas Andi Online’, pekikku kegirangan.

Belum sempat aku menuliskan sesuatu untuk Mas Andi, dia lebih dulu mengirimkan msg padaku.

“Anak ilang, kemana lo? Ngapain aja lo disana?”, tanyanya.

“Mas Andiiiiii, pengen pulang!!!”, jawabku.

“Kenapa? Mang ada apa??”, tanyanya.

Aku, saat itu, menceritakan semua yang terjadi. Mas Andi shock, dia marah dengan semuanya. Dia mendadak jadi benci dirinya hari itu. Ga sampai beberapa menit, semua YM teman – teman kantorku aktif dan menanyakan kebenaran itu. Aku hanya bisa menatap layar monitorku, menekan tombol – tombol keyboardku dengan perasaan ga tentu. Menangis ga bersuara cukup membuatku tersiksa.

Sejak saat itu, Acc – Reload jadi sahabatku. Setiap saat aku datang kesana untuk sekedar say hai pada teman – temanku.

Hari berganti hari, tak terasa hampir setengah bulan aku ditempat kost baruku dan sadar, ternyata Bho tak pernah ada kabar. Aku semakin dekat dengan teman – teman kostku, jalan ke Mal Lembuswana, Minum Es Campur dekat Kampus WidyaGama, makan Nasi goreng Mawut enak deket kost, tempat – tempat yang mungkin Cuma ada dalam mimpiku kalau aku masih ada di kost ku yang lama. Aku dikenalkan pada teman – temannya Aini, anak2 Pencinta Alam disana. Kami sering ngobrol – ngobrol, tuker pikiran, tapi yang jelas, mrk ga tau aku hamil.

Sampai suatu malam, aku, Aini habis jalan – jalan liat panjat tebing di daerah Tepian. Malam itu kami pulang agak malam, jam 11. Dari depan, semuanya tampak biasa saja, tapi begitu kami buka pintu yang menuju anak tangga ke atas, terdengar suara Kak Ajeng ngamuk. Aini langsung naik keatas, sementara aku mengunci pintu dl. Naik perlahan dan takjub.

Kak Ajeng ngamuk sambil mengeluarkan kata – kata yang unbelievable. Aku memperhatikan dia yang duduk di kursi meja tamu sambil marah – marah ga jelas. Aini berusaha menenangkan. Aku gak takut, aku hanya berpikir kalau aku ga mau seperti Kak Ajeng. Sadar kalau aku hanya memperhatikannya, dia melemparkan asbak kearahku. Asbak itu pecah berkeping – keping lantai depan kakiku…

“Ngapain lo liat – liat hah??? A***NK lo….makan tuh asbak”, hardik Kak Ajeng.

“Kak, itu Vie bukan dia!”, jawab Aini.

“Lo lagi, ngapain siy lo ada disini?? Mau liat M***K gwe…gwe kasih liat. Ai baik sama kamu”, jawab Kak Ajeng.

“Apaan siy??”, jawab Aini.

Aku melihat sekeliling, Lina, Wati, Wulan dan yang lain hanya bisa melihatku dan Aini dengan wajah yang tak bisa kugambarkan, takut, kasihan, entah.

Aku maju selangkah….tiba – tiba tertahan oleh suara kencang Kak Ajeng.

“Mo ngapain siy lo? Ga puas lo dah bikin hidup gwe begini?? Ga puas lo liat gwe masih idup? Ga puas lo liat gwe gilaa?? Hah??”, tanya Kak Ajeng padaku.

“Kak Ajeng, dari mana?”, tanyanya.

“Dari cari mam ini sama anak baru, kenalin Say”, jawab Kak Ajeng.

Sosok itu pun muncul dihadapanku, wanita lebih mungil dari Kak Ajeng, kulitnya agak lebih coklat dari aku. Tersenyum manis menghampiriku.

“Namaku Nur Aini. Panggil Aini aja atau Gadas juga ga papa”, jawabnya.

“Vie, namaku Vie. Kok Nur Aini jadi Gadas??”, tanyaku.

“Panjang ceritanya. Eh, lahir tahun berapa kah?”, tanyanya.

“Hmmm….198*. kenapa mangnya?”, tanyaku.

“Weeehh…berarti Kak Ajeng tetap paling tua ya. Keduanya Kak Vie. Disini semuanya rata – rata 88 – 87 kak”, ujarnya.

“Wedew….Masa?? Kak Ajeng memangnya lahir tahun berapa?”, tanyaku.

“198* Vie. Tua yaaa??”, jawab Kak Ajeng.

Akhirnya kami bertiga terlibat percakapan yang mulai akrab. Tadinya berdiri jadi duduk di ruang tamu sambil ngemil Snack dari kamar Kak Ajeng sama Aini. Pukul 10.00 malam, Kak Ajeng pamit untuk tidur. Dia pun segera berlalu dan kami, aku dan Aini meneruskan percakapan kami lagi. Selang berapa jam, aku teringat dengan yang dibicarakan Istrinya Abah tadi siang.

“Ai, boleh Tanya kah?”, tanyaku sambil sedikit berbisik

“Ya, kenapa Kak?”, jawab Aini.

“Kak Ajeng memang ‘agak agak’ ya Ai?”, tanyaku

“Hmm…dia bukan gila Kak, Cuma depresi”, jawab Aini.

“Depresi kenapa?”, tanyaku.

Aini pun menjelaskan panjang lebar tentang alas an kenapa Kak Ajeng depresi.

Dulu Kak Ajeng punya pacar, waktu SMU kelas 2. Mungkin karena salah pergaulan, Kak Ajeng hamil waktu umur 16 tahun dan akhirnya sang pacar pun menikahi Kak Ajeng. Mereka sama2 masih belia. Ternyata, si suami ( dah jadi suami Kak Ajeng ), terlibat sama Narkoba juga. Kak Ajeng ga bisa apa – apa karena saking cintanya. Suatu malam, pas Kak Ajeng sedang hamil tua, Si Suaminya pulang ke rumah dalam keadaan sadar tapi bawa perempuan. Kak Ajeng marah, Tanya siapa perempuan itu. Suaminya gak jawab. Sang suami pun bermesra – mesraan dengan perempuan itu dihadapan Kak Ajeng.

Kak Ajeng awalnya santai, tapi lama – lama stress juga. Setelah perempuan itu pulang. Dia bicara sama suaminya, maunya apa. Tapi ga digubris sama suaminya. Kak Ajeng terus desak suaminya untuk bilang maunya apa. Akhirnya si suaminya bilang ke Kak Ajeng, maunya apa. Dia mau Kak Ajeng lakuin sesuatu buat dia untuk tunjukkin kalo Kak Ajeng sayang sama dia. Suaminya minta Kak Ajeng buat iris urat nadinya.

Dilatar belakangi perasaan sayang lah, akhirnya Kak Ajeng menuruti apa yang suaminya mau tapi dengan satu kondisi, suaminya juga harus nurutin apa yang Kak Ajeng mau. Suaminya juga mau ngelakuin apa yang Kak Ajeng mau. Kak Ajeng minta suaminya Minum Obat Nyamuk. Deal, akhirnya mereka melakukan apa yang pasangannya masing – masing minta. Kak Ajeng motong urat nadi dan suaminya minum obat nyamuk.

Apa yang mereka lakukan masuk Koran di Samarinda. Dua – duanya berhasil diselamatkan. Tapi anak yang dikandung Kak Ajeng harus lahir premature.

Sejak saat itu, Kak Ajeng jadi depresi. Dia sering minum obat2 penenang sampai dia ga sanggup hidup tanpa obat – obat itu. Sampai lahir anak keduanya. Anaknya 2, Yang pertama perempuan, namanya Bella. Yang kedua laki – laki namanya Vio. Setelah lahir anaknya yang kedua, ternyata suaminya ga berubah – berubah, padahal Kak Ajeng sudah berkorban banyak sekali, sampai dia jadi begini.

Sekarang, anak – anaknya diasuh sama ibunya Kak Ajeng, sementara Bapaknya ga nerima Kak Ajeng lagi dirumahnya. Itu alasan kenapa Kak Ajeng kost. Dia gak diterima sama keluarganya lagi.

Dia memang suka ngamuk, tapi itu jarang terjadi lagi sejak anak – anak kost mulai sering mengajak Kak Ajeng komunikasi dan Kak Ajeng mulai membuka diri.


Malam itu, sambil tiduran, lampu mati, aku berpikir. Aku gak mau sampai depresi seperti Kak Ajeng. Cukup buatku melihat jalan cerita Kak Ajeng. Dia cantik, sempurna dimataku tapi dibalik itu, dia menyimpan suatu perasaan yang tak ingin aku miliki. Aku ingin bertahan, mempertahankan sesuatu yang sekarang hidup ditubuhku.

Aku mungkin punya hubungan yang sangat indah dengan seorang Dewa yang entah sedang apa sekarang. Dia tak memberiku kabar sama sekali hari ini. Mungkin sekarang dia sedang sibuk untuk repel – repel di Sette dan mencoba menjadi pahlawan untuk rakyat – rakyat Accretia di Comet. Dia memang Dewa, tapi aku manusia. Manusia yang masih punya hati, perasaan dan keinginan. Bukan berarti Dewa ga punya perasaan, tapi Dewa ga bisa jadi milikku seutuhnya.

Bho, Dewa di RF Online. Rasanya dia sudah jadi milik semua Acc disana, bukan milik VieaNKaChu yang biasa – biasa aja. Aku Manusia, bukan jalanku untuk jadi pendamping seorang Dewa seperti Bho.

Aku ga mau depresi karena itu…..aku cukup bahagia pernah merasakan cinta sesosok Dewa bernama Bho di hidupku dan sekarang aku ingin memperjuangkan apa yang sudah terjadi.

Aku, harus bisa berdiri tanpa Bho…..

Aku menangis malam itu mengingat semuanya….Apa aku bisa tanpa Bho?

Aku tertegun bingung. Wanita secantik, seanggun itu GILA??? No way….masa siy? Aku langsung melihat ke arah ibu sambil masih terbingung – bingung.

“Vie, jadi pergi car mam kah??”, teriak seseorang dibelakangku.

Aku menoleh. Kak Ajeng. Aku langsung membalas teriakan itu.

“Jadi….sebentar”, teriakku.

Aku langsung berpaling ke Istrinya Abah, Pamitan. Langsung aku menghampiri Kak Ajeng dengan perasaan campur aduk. Bingung, pusing, kasian dan ingin tahu campur jadi satu.

“Cari mam kemana kita Kak?”, tanyaku.

“Kita ke rumah makan padang depan sana aja yuk”, ajaknya.

“Aduh Kak, rumah makan padang?? Mahal kah?? Uang Vie ga cukup Kak”, jawabku.

“Ya dah, ikut Kakak aja”, jawabnya.

Aku mengikuti Kak Ajeng, berjalan meriringan dengannya. Sambil masih berpikir dalam hati, benar atau tidak yang dibicarakan si Ibu tadi. Bagiku, Kak Ajeng sosok yang sempurna. Cantik, langsing, pokoknya gambaran Laras banget. Tapi kenapa si Ibu bilang Kak Ajeng gila??

Begitu sampai di rumah Makan itu, Kak Ajeng langsung memesan Nasi pakai Ayam Gulai, Paru dan Ikan Gulai. Aku tertegun melihat porsi makan Kak Ajeng.

“Kak, banyak amat?”, tanyaku.

“Kakak laper Vie. Lapar banar Ai”, jawabnya dengan logat Melayu Bugis yang kental.

“Ooo…abis tuh Kak?”, tanyaku.

“Habis. Ayo kamu mam apa?”, Tanya Kak Ajeng.

“Duuhh..Vie minum aja Kak”, jawabku. Melihat porsi Kak Ajeng langsung kenyang perutku.

“Da, pesan nasi pakai ayam bakar 1 lah. Dada ya, buat adikku Vie ini”, ujarnya ke Uda penjual Nasi Padang itu.

“Kak, ga cukup uangku”, jawabku.

“Diam lah Ai. Kakak traktir hari ini, makan! Pucat sudah muka kamu masih tak mau makan?”, tanyanya.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Kak Ajeng. Aku langsung tertunduk malu sambil penasaran bener ga mukaku tuh pucet. Aku langsung mengikuti kemana Kak Ajeng pergi. Dia memilih meja yang agak pojok. Kami pun duduk. Aku duduk menghadap ke Kak Ajeng supaya bisa lebih enak bicaranya.

“Kamu dari mana Vie asalnya?”, Tanya Kak Ajeng.

“Jakarta”, jawabku.

“Ai Ai…jauhnya. Sama siapa disini? Kerja kah?”, tanyanya.

“Sendiri. Sedang cari kerja”, jawabku.

“Sendiri?? Beraninya kau niy. Punya pacar kah?”, tanyanya.

“Punya tapi tau deh, pusing”, jawabku.

“Kenapa?”,tanyanya sambil mengambil makanan yang baru saja diantarkan si pelayan rumah makan tersebut.

“Ga papa”, jawabku.

“Ga papa, cerita aja Vie. Ga papa kok. Siapa tau kakak bisa kasih solusi”, ujarnya.

“Ya, nanti Vie cerita. Nanti Kak…..ya?”, jawabku.

“Ya…”, jawab Kak Ajeng.

Hari itu aku cukup bahagia, mendapat rejeki nomplok, makan nasi padang di Kalimantan. Norak banget kayaknya tapi tetep seneng karena ya akhirnya bisa makan nasi sampe kenyang.

Aku dan Kak Ajeng pulang ke kost sambil bercanda – canda. Ketika kami sampai di depan kamar kami masing – masing, terdengar suara yang berasal dari kamar di koridor depan.

;;